Ramadan di Tengah Wabah Covid-19
Syahril Siddik, ST Pemerhati Kebijakan Publik |
Tidak terasa bulan Ramadan beberapa hari lagi menghampiri kita. Namun kondisinya berbeda dari bulan pada tahun-tahun sebelumnya.
Betapa tidak, di tengah wabah pandemi Covid-19 bertepatan itu pula bulan mulia itu hadir. Hal ini adalah kondisi yang tidak lazim, mengingat bulan ramadan intensitas pertemuan lebih masif dibandingkan dengan bulan-bulan di luar bulan Ramadan.
Dalam bulan Ramadan, intensitas pertemuan sangatlah masif. Mulai dari menjalankan ibadah salat lima waktu di masjid sampai ramainya aktivitas pengajian umum (majelis ilmu), belum lagi aktivitas buka puasa bersama.
Buka puasa bersama biasa dilakukan hampir semua kalangan, mulai dari anak sekolahan, mahasiswa sampai instansi-instansi pemerintah dan swasta. Bahkan sampai level presiden dan para pejabat negara beserta jajarannya.
Semua hal itu telah menjadikan masifnya intensitas pertemuan di bulan Ramadan. Disatu sisi berbagai kalangan biasa membagi-bagikan takjil (makanan untuk buka puasa), baik di masjid maupun di jalan-jalan secara umum.
Disisi yang lain, jual beli dan dunia bisnis juga meningkat. Mulai dari pedagang kali lima sampai semua pengusaha ditingkat atas, khususnya fashion dan travel.
Pasalnya tahun lalu, travel adalah industri yang sangat meningkat di bulan Ramadan. Tapi tahun ini travel sangat dibatasi, tentu akan sangat berdampak (liputan6.com).
Yang menarik bahkan ada penjual atau pebisnis yang muncul hanya ketika bulan Ramadan. Diantaranya mereka menjual aneka macam menu buka puasa di pinggir jalan. Hampir dipastikan semua industri perdagangan meningkat pada bulan Ramadan.
Semua fonemena itu hanya terjadi pada bulan Ramadan. Itulah diantara hal yang menjadikan bulan Ramadan memunculkan intensitas pertemuan-pertemuan secara masif, dan hal ini pasti dinikmati dan dirasakan atmosfirnya oleh para pedagang dan para pengusaha hanya pada bulan Ramadan.
Inilah diantara magnet yang begitu luar biasa pada bulan Ramadan. Bisa dikatakan secara umum semua mendapatkan kebaikan dan keberkahan pada bulan Ramadan.
Namun kondisi Ramadan kali ini, tidaklah seperti biasanya. Karena kita diperhadapkan dengan kondisi wabah Covid-19 yang realitasnya memutus dan membatasi tingkat intensitas pertemuan orang per-orang. Hal itulah yang akan membuat ekonomi lesu bahkan mengalami penurunan.
Bahkan dalam hal mudik lebaran, pemerintah telah menyatakan ‘Larangan Mudik 2020’ untuk seluruh masyarakat Indonesia secara resmi dikonfirmasi langsung oleh Presiden Joko Widodo melalui rapat terbatas yang diadakan, Selasa (21/04/20).
Tetapi walaupun demikian, hal optimis yang pasti adalah fashion masih mungkin menjadi industri yang baik. Sebab meski di rumah, orang-orang tentu masih memiliki semangat Idul Fitri. Begitu pula produk kesehatan.
Trennya tentu belanja via online menjadi salah satu alternatif pada bulan Ramadan sekalipun dalam kondisi wabah. Baik makanan, fashion, produk kesehatan maupun kebutuhan rumah tangga.
Namun demikian, Center of Reform on Economics (CORE) mempredikisi wabah Covid-19 tetap akan membuat perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan negatif dalam posisi optimistis sekalipun.
Prediksi itu diperoleh usai mempertimbangkan beberapa faktor. Salah satunya langkah pemerintah dalam menekan penyebaran Corona.
“Dengan skenario paling optimis, CORE memprediksi ekonomi Indonesia secara kumulatif tumbuh di kisaran (minus) -2 persen hingga 2 persen," ucap Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dalam keterangan tertulis, Senin (30/3/2020).
Di tengah perlambatan ekonomi ini, Faisal mengatakan ada kondisi masih bisa lebih buruk lagi.
Pasalnya ada potensi penyebaran Corona di Indonesia berlangsung lebih dari dua kuartal. Kalau pun Indonesia bisa lebih cepat membereskannya, negara lain yang menjadi mitra ekspor Indonesia mungkin masih akan mengalami hal serupa.
“Dalam kondisi tersebut tekanan permintaan domestik dan global menjadi lebih lama, sangat kecil peluang ekonomi tumbuh positif," imbuh Faisal.
Jika pemerintah mampu mengambil langkah setegas pemerintah Cina, maka skenario optimis bisa dicapai dan puncak tekanan ekonomi hanya akan sampai kuartal III-IV. Selebihnya, Indonesia bisa langsung masuk masa pemulihan.
Di sisi lain, ia juga memperhatikan pandemi Covid-19 memiliki peluang besar membawa resesi global.
Pasalnya belum lama ini investor global mengalami ketidakpastian tinggi. Per 26 Maret 2020 saja, bursa saham utama terkoreksi 20 persen year to date (ytd). Untuk harga komoditas juga ikut mengalami pelemahan terimbas perlambatan permintaan global.
Sementara itu, resesi di tingkat global ini masih akan tertransmisi pada ekonomi domestik.
Konsumsi swasta yang menyumbang 60 persen pergerakan ekonomi nasional dipastikan akan mengalai kontraksi terutama Mei 2020 dan bulan berikutnya.
Di tengah harga komoditas dunia anjlok, maka ekspor Indonesia juga akan menghadapi tekanan.
Di sisi lain, minta investasi dikhawatirkan akan turun dilihat dari pergerakan indikator impor barang modal melalui Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) pada Januari dan Februari 2020 sudah mengalami kontraksi 10,6 persen (yoy).
Melihat situasi ini, Faisal menyarankan pemerintah untuk benar-benar mempercepat penanganan Corona.
Ia menyarankan pemerintah untuk memperluas kebijakan relaksasi pajak, menjaga kelancaran pasokan barang, memastikan penerima BLT tepat sasaran, merealisasikan relaksasi kredit sesuai aturan OJK, dan memperluas defisit anggaran meski melebihi batas yang diatur UU.
Prediksi CORE ini relatif lebih rendah dari perkiraan Bank Indonesia. Hasil rapat dewan gubernur BI, Kamis (19/3/2020) kemarin menyatakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 4,2 hingga 4,6 persen meski sudah dikoreksi dari prediksi sebelumnya dikisaran 5-5,4 persen.
Meraih Keberkahan dan Kemuliaan Bulan Ramadan
Terlepas dari semua itu, poin yang harus menjadi prioritas bagi umat Islam adalah intensitas ibadah harus tetap normal sebagaimana biasanya, walaupun dilakukan di rumah.
Sebab kemuliaan dan keberkahan bulan Ramadan tidak akan pernah hilang walaupun dalam kondisi ada wabah sekalipun.
Disinilah perkara yang secara optimal harus diusahakan oleh setiap muslim. Ibadah harus tetap menjadi prioritas utama, bahkan intensitasnya harus terus meningkat sampai dipenghujung bulan Ramadan.
Sekalipun memang ibadah dibulan ramadan selalu kita dapatkan setiap tahunnya. Namun semangat kita harus tetap membara dan jangan sampai kendor. Oleh karena itu para ulama membuat suatu kaidah dalam hal ini.
كثرة المساس تميت الإحساس
"Seringnya berinteraksi akan mematikan sensitifitas"
Begitulah alamiahnya, jika kita selalu melakukan rutinitas dan itu selalu dilakukan tanpa ruh, maka sensitifitas dari nilai ibadah itu akan hilang.
Maka kaidah di atas sangat berbahaya jika dikiaskan dalam bentuk ibadah. Sehingga kita hanya menjalani ibadah sekedar mengugurkan kewajiban namun tanpa nilai ruhiyah.
Disitulah akhirnya diakhir bulan Ramadan bukannya intensitas ibadah semakin meningkat, tetapi justru ruh ibadah kita hilang, sehingga kita berguguran satu demi satu.
Sementara Allah SWT telah menjadikan bulan Ramadan sebagai "syaidus syuhur" (pemimpin dari segala bulan), bahkan Alquran diturunkan bulan Ramadan. Siapa yang beribadah di dalamnya Allah lipat gandakan pahalanya.
Dengan demikian, keutamaan bulan Ramadan sungguh luar biasa. Sungguh sangatlah rugi jika kita tidak memanfaatkan dengan baik ketika bulan ramadan itu datang.
Harus dipahami bahwa bulan Ramadan adalah momentum setiap kita, untuk kembali kepada Allah SWT. Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita dalam hadisnya.
وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
"Amat merugi/hina seseorang yang Ramadan masuk padanya kemudian Ramadan pergi, sementara belum diampuni dosanya." (HR. al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, al-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jaami', no. 3510)
Maknanya adalah betapa banyak dosa kita sebagai manusia, namun Allah perkenankan kepada kita untuk bertobat dan kembali pada bulan ramadan. Momentum yang sangat baik, karena setiap orang dikondisikan dengan nuansa dan atmosfir ibadah.
Mau sampai kapan kita bermaksiat kepada Allah SWT? Mau sampai kapan kita jahil (bodoh) dengan agama ini? Mau sampai kapan kita menolak syariah-Nya?
Oleh karena itu, inilah momentum kita kembali kepada Allah SWT.
Ya, orang yang merugi adalah mereka yang dosanya belum terampuni setelah Ramadan berlalu.
Mereka itu yang boleh jadi berpuasa dan qiyamnya, namun di saat yang sama tak mampu meninggalkan berkata dusta, berbuat nista, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan serta yang semisalnya.
Apalagi menjadi buzzer, dengan terus menjadi pioner dalam membela kezaliman penguasa saat ini. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
"Siapa yang tak meninggalkan berkata dan berbuat dusta serta perbuatan bodoh, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya." (HR. al-Bukhari dan Abu Dawud dengan lafadz miliknya)
Ini merupakan kinayah/kiasan bahwa Allah tiak menerima puasa semacam itu, sebagaimana yang diutarakan Ibnu Bathal dalam kitabnya "Subulus Salam".
Disinilah pentingnya mempersiapkan diri dengan ilmu yang memadai dan fisik yang sehat dalam menyambut bulan suci ramadan. Karena kita tidak tahu kapan kita dipanggil oleh Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (ال عمران : ١٠٢).
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". (Ali-imran : 102).
Karena itu, sebelum ajal menghampiri kita, kembalilah kepada Allah SWT. Pahamilah Islam, dan bertakwalah dengan sebenar-benarnya takwa, yakni dengan menjalankan syariah-Nya secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan.
Semua itu akan terwujud secara real, jika Khilafah Islam hadir ditengah-tengah kehidupan kaum muslimin.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment