Menakar Kesiapan "New Normal Life"
Oleh: Ibnu Rizky
(Entrepreneur Muslim Baubau)
Sejak mewabahnya pandemi Covid-19, gerakan diam di rumah dilakukan. Semua aktivitas seperti bekerja, sekolah, hingga beribadah dilakukan dari rumah. Kecuali bagi orang-orang yang diharuskan melakukan aktivitas di luar rumah.
Akibatnya banyak aktivitas perekonomian terhenti. Berimbas pada melemahnya pertumbuhan ekonomi. Dengan alasan penyelamatan ekonomi, banyak negara akan mulai menerapkan "New Normal Life". Termasuk Indonesia, presiden Joko Widodo mengajak masyarakat untuk berdamai dengan Covid-19.
Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Yaitu dengan menjaga jarak, sosial dan mengurangi interaksi dengan orang lain. ( Kompas, 26/5/20).
Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Masyarakat harus kembali produktif, namun tetap aman dari virus dengan disiplin mengikuti protokol kesehatan yang sudah disiapkan sebelum memasuki pola hidup new normal.
New normal life akan diberlakukan selama menunggu vaksin Covid-19 dikembangkan. Vaksin kemungkinan besar akan selesai dikembangkan pada 2021 mendatang.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, new normal dapat diterapkan bila suatu daerah atau negara telah memenuhi beberapa kriteria. Dia mengatakan bahwa kriteria yang paling disoroti adalah adalah pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap upaya pencegahan Covid-19.
Kontribusi perubahan perilaku masyarakat dalam pengendalian Covid-19 adalah sebesar 80 persen. Selain itu, harus ada aturan pola baru di setiap instansi yang akan menerapkan new normal life untuk menunjang keberhasilan pelaksanaannya. dan pola baru ini juga harus didukung ketersediaan sarana prasana yang memadai. Misalnya ketersediaan westafel di sekolah, masker dan handsanitiser di tempat-tempat umum dan sebagainya.
Selanjutnya, harus ada penurunan test rate pada tujuh hari terakhir sebelum new normal dan tidak adanya angka kematian dalam tiga hari terakhir.
Jika kita melihat berapa poin di atas, maka ada beberapa hal yang menunjukkan ketidaksiapan pemberlakuan new normal life di negeri ini:
Pertama, untuk menerapkan new normal dibutuhkan dukungan dari masyarakat. Namun upaya edukasi selama ini belum berjalan optimal. Bahkan, masih sangat kurang.
Sebagian besar masyarakat tidak memiliki pemahaman yang benar terkait pandemi dan protokol kesehatan. Pemberian informasi kadang masih menggunakan bahasa-bahasa yang tidak dipahami oleh masyarakat.
Selain itu, kebijakan yang tidak konsisten membuat masyarakat makin sulit untuk disiplin. Saat mereka dilarang keluar rumah namun mall-mall dan pasar-pasar di buka. Saat ada larangan mudik, tapi bandara dan transportasi masih beroperasi.
Akhirnya, menimbulkan kebingungan dan berakhir pada pelanggaran aturan. Masyarakat menjadi semakin cuek dengan berbagai himbauan dari pemerintah.
Kedua, penerapan pola baru disetiap instansi juga sulit untuk diwujudkan. Misalnya pola aturan di sekolah mengharuskan setiap anak diberi jarak 1 meter sementara jumlah murid dalam satu kelas kadang lebih dari 30 orang. Bisa juga melarang anak-anak untuk tidak berkumpul dengan teman-teman mereka di sekolah itu juga akan sangat sulit.
Ditambah lagi, sarana prasana yang tidak memadai. Tidak semua sekolah memiliki westafel dan kelengkapan lainnya.
Ketiga, new normal life harusnya diberlakukan ketika pergerakan kurva kasus baru menurun atau melandai. Namun kurva Covid-19 di negeri ini justru sedang menanjak. Hingga risiko jatuhnya banyak korban menjadi lebih besar.
Prof. Ridwan Amiruddun, S. KM., PhD, Pakar Epidemiolog FKM Unhas dalam diskusi publik online, Kamis, (28/5/2020). Pemberlakuan New normal life di Indonesia adalah kebijakan yang prematur.
Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah kembali mengkaji kebijakan new normal ini. Karena beresiko mendatangkan gelombang wabah kedua yang kemungkinan lebih banyak memakan korban jiwa.
Jika tetap memaksakan, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah berlepas tangan dari tanggung jawab dan lebih memilih kepentingan para kapitalis yang menginginkan new normal agar usaha mereka kembali bisa bangkit.
Dalam pandangan kapitalisme global "New normal" adalah menjadikan manusia kembali produktif meski berisiko mati. Agar pundi-pundi kekayaan para kapitalis tetap terjaga. Itulah mengapa di tengah ancaman badai krisis ekonomi akibat corona, dunia gencar mempropagandakan program new normal, tak terkecuali negeri ini. Seolah itu adalah pilihan terbaik.
Dalam sistem kapitalisme, berjalannya ekonomi adalah hal yang paling diagungkan karena merupakan napas bagi peradaban kapitalisme. Itulah mengapa undang-undang karantina wilayah tak pernah bisa diberlakukan karena dianggap akan mematikan produktivitas perekonomian.
Bagi para kapitalis tak masalah nyawa manusia dikorbankan asal kekayaan mereka tak berkurang. Sementara rakyat dipaksa menerima kebijakan dan berjuang sendirian melawan wabah. Bahkan rakyat dipalak bergotong-royong membiayai kesehatan sendiri melalui BPJS.
Berbeda dengan Kapitalisme, Islam sebagai agama yang rahmat, tidak hanya mengatur perkara ibadah saja tapi juga seluruh aspek kehidupan. Saat wabah melanda yang utama bagi Islam adalah upaya penyelamatan manusianya.
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al- Albani
Atas dasar inilah, para khalifah bekerja menyelesaikan wabah. Khalifah akan melakukan lockdown pada wilayah yang terkena dampak wabah dan menanggung seluruh kebutuhan hidup mereka selama lockdown. Negara juga menjamin ketersediaan tenaga kesehatan dan sarana prasarana kesehatan. Khaifah akan berfokus pada penyelesaian wabah terlebih dahulu.
Sementara wilayah yang tidak terdampak waba, tetap berjalan produktif karena wabah sudah diputus oenyebarnannya sejak awal. Begitulah Islam menyelesaikan masalah dengan efisien karana berfokus pada akar masalahnya, bukan malah sibuk memikirkan kepentingan para pengusaha.
Sejarawan Will Durant secara jelas dan lugas dalam bukunya mengatakan pandangannya terhadap pengurusan para khalifah terhadap rakyatnya:
“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.
Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).
Ia juga memuji jaminan kesehatan Islam, Ia menuliskan:
“Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah al-Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.” (Will Durant – The Story of Civilization).
Maka sudah seharusnya, wabah ini menjadikan umat islam. Menyadari bahwa ketiadaan sistem Islam telah menjadikan umat hidup dalam penderitaan tak berkesudahan. Sudah saatnya umat segera mengarhkan pandangan dan pikiran untuk berjuang mengembalikan sistem. Islam sebagai nafas peradaban dunia.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment