COVIDIOT CONSPIRATIONIST
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Anggota Dewan Penasehat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)
Keberhasilan kita mengatasi pandemi ternyata tak hanya ditentukan kemampuan kita mengisolasi virus Corona (melalui serangkaian testing, tracking, dan penerapan protokol kesehatan), tetapi juga oleh seberapa luas virus kedunguan (covidiotism) telah mewabah.
Covidiotism ini pun macam-macam. Mereka yang tidak mau berpartisipasi dalam mengisolasi virus dengan alasan bisnis terganggu, disebut “Covidiot Capitalist”. Mereka yang menolak membatasi aktivitas dengan alasan hak asasi manusia, disebut “Covidiot Hedonist”. Mereka yang menolak protokol kesehatan karena menganggap penyakit dan kematian sudah ada takdirnya masing-masing, disebut “Covidiot Spiritualist”.
Kelompok keempat adalah “Covidiot Conspirationist” yang menganggap semua kehebohan covid-19 ini hanya tipu-tipu penguasa, seperti dengan membuat Perppu 1/2020 tentang Stabilitas Ekonomi untuk Penanganan Covid-19, yang sudah disahkan DPR. Di dalamnya ada pasal pemerintah boleh melampaui target defisit 3%, dan kebijakan ekonomi selama menghadapi pandemi ini bukan objek pidana. Intinya, ini peluang merampok negara secara legal atas nama covid-19. Nah, karena itu kelompok ke-4 ini menolak semua berita covid-19. Menurut mereka semuanya konspirasi (WHO – rezim korup – kapitalis rumah sakit – dokter mata duitan).
Sayangnya, akhir-akhir ini, Covidiot Conspirationist ini makin banyak pengikutnya, seiring dengan penanganan pandemi yang plintat-plintut. Mereka juga telah berbaur dengan jenis covidiot lainnya. Tak heran kalau korban covid-19 naik lagi. Beberapa daerah sudah tidak zona merah lagi, naik kelas menjadi zona hitam.
Dalam berbagai perisitiwa politik atau hukum, kita sering menghadapi kenyataan bahwa data tidak dibuka untuk umum atau medianya tidak lagi dipercaya oleh mereka. Akhirnya orang mencoba menjelaskan perisitwa itu tanpa data yang cukup. Perisitwa itu hanya masuk akal ketika dimunculkan kemungkinan adanya konspirasi, atau persengkongkolan orang-orang yang berkuasa, bahkan elit global, meski tidak tampak di publik.
Tidak perlu jauh-jauh. Kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan saja, yang sebelumnya memeriksa korupsi petinggi Polri, tentu sangat berbau konspirasi. Maka muncul pertanyaan, kenapa untuk kasus politik dan hukum kita percaya ada konspirasi, tetapi untuk kasus lain (semisal covid-19) kita tak percaya ada konspirasi?
Jawabannya: konspirasi atau tidak, itu tergantung apakah fakta yang dikumpulkan memadai atau tidak? Bisa dijelaskan tanpa teori konspirasi atau tidak? Teori Konspirasi bisa benar, bila didukung data akurat, hanya mensisakan sedikit asumsi, dan tidak sedikitpun mensisakan kejanggalan.
Setiap orang yang gagal di kehidupannya, gagal menjelaskan sebab kegagalannya, memang cenderung menuduh ada "konspirasi". Konspirasi-lah yang membuat dirinya gagal, membuat calonnya tidak jadi, membuat umat Islam atau rakyat Indonesia terpuruk. Sebaliknya, hanya orang sukses yang paham makna ayat "Sesungguhnya Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka" (QS 13:11). Jadi kalau ada kegagalan, mereka yang sukses ini fokus introspeksi apa yang dapat dia ubah, dan tak mudah menuduh bahwa ada konspirasi, yang pasti di luar kendalinya untuk mengubahnya.
Dalam bidang politik, mungkin benar ada konspirasi untuk menggiring opini massa. Mungkin juga itu didanai atau dirancang asing. Namun, kalau rakyat ini cerdas, tentu konspirasi seperti itu sulit berhasil. Maka mari kita fokus mencerdaskan rakyat. Dengan memberikan informasi yang benar pada mereka. Bukan informasi emosional, yang sulit dicari buktinya, atau sulit dianalisis secara ilmiah atau rasional, dan yang jelas: sulit kita ubah.
Berbeda dengan sains, terlebih fisika atau kedokteran. Sains itu objektif. Orang bisa saja atheis ataupun religius. Tetapi perilaku alam tidak tunduk pada keyakinan manusia. Karena itulah sains, di manapun hasilnya sama. Orang boleh memakai bahasa yang berbeda, atau notasi matematis yang berbeda, tetapi prediksi gerak peluru akan sama, prediksi jangkauan gelombang radio akan sama, prediksi gerhana juga sama dan prediksi pandemi juga kurang lebih sama. Kalaupun ada sedikit perbedaan, itu akibat rumus lama yang kurang akurat, dan membuat prediksi meleset. Namun para ilmuwan akan cepat memperbaikinya dengan data baru, dan rumus lama yang kurang akurat itu akan otomatis disempurnakan.
(KR, 25 Juni 2020)
Post a Comment