Keadilan Sulit Didapat, Masihkah Ada Harapan?
Oleh:
Rosmiati
Belum lama ini,
publik dihebohkan sekaligus dibuat tercengang, dengan putusan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) terhadap pelaku penyiraman air keras yang menimpa mantan penyidik
senior KPK, Novel Baswedan. Bagaimana tidak, pelaku yang telah berhasil membuat
Novel kehilangan sebelah penglihatannya itu, divonis satu tahun penjara, dengan
alasan karena keduanya tak sengaja menyiram bagian wajah korban, sebab niat
awalnya ialah ingin menyiramkan air keras ke bagian badan korban. Namun
mengenai kepala korban (m.detik.com,
11/06/2020).
Inilah yang
membuat publik tak habis pikir. Dalih ‘tidak sengaja’ dijadikan alasan, sedang
bukti kerusakannya jelas terlihat. Menurut Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum
DPR RI, Ahmad Sahroni, unsur ‘tidak sengaja’ dalam kasus Novel Baswedan justru
menunjukan adanya kekeliruan logika tuntutan. Bahkan menurut peneliti Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), materi tuntutan JPU terindikasi
keliru secara hukum pidana (tirto.id, 13/06/2020).
Mencelakai pejabat
negara tentu tak dapat dipandang sebelah mata. Hukum tentu harus tegas
menyikapinya. Demi mencegah agar hal yang sama tak terulang. Terlebih, sang Korban adalah orang penting dalam lembaga
pemberantasan kasus raswah di tanah air.
Ketegasan hukum amat dibutuhkan dalam hal efek jera bagi pelaku.
Belum lagi bila
kita flashback ke belakang, kita
tentu ingat dengan kisah pilu nenek tua yang mengambil singkong di ladang demi
mengganjal perut yang lapar. Dan beberapa kisah pilu lainnya. Tidakah pada
mereka yang penuh belas kasih ini, hukum begitu amat tajam menindaki. Kenapa kepada
para pelaku raswah misalnya, keringanan hukuman diberikan. Bahkan tinggal di
lapas dengan penuh kemewahan. Tidakah pemandangan ini melukai rasa keadilan
rakyat?
Agaknya wajar bila
kepercayaan rakyat terhadap jalannya sistem hukum di negeri ini mulai susut.
Sebagaimana diketahui pada 2019 silam kepuasaan masyarakat terhadap penegakan
hukum hanya 49,1 persen saja (m.detik.com, 19/10/2019). Capaian yang tentu tak
begitu mengenakan.
Namun, kalau wajah hukum ini tak berubah, maka
jangan salahkan, bila kelak rakyat tak lagi menaruh rasa percaya. Karena toh akhirnya, mereka akan melihat, hukum
di Negerinya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Ya, kepada kalangan kecil nan papah hukum kian
mengganas, tapi pada kalangan berjouis, hukum seolah kehilangan tajinya.
---
Itulah mengapa, bila
meminjam kalimat dari Haris Azhar, pengadilan kita hari ini tak dapat menjalankan
tujuan dan fungsi hukum itu sendiri. Sehingga jadilah pengadilan ini dipakai
sebagai sarana balas dendam, dipakai untuk kepentingan bisnis. Bahkan sebagai
persembunyian kejahatan, menurut pengamat politik Rocky Gerung (RealitaTv,
20/06/2020).
Buah
dari Sistem yang Diterapkan
Harus diakui bahwa
sistem yang diterapkan akan berpengaruh besar terhadap pancaran kebijakan yang
lahir di atasnya. Dan kondisi demi kondisi pilu yang hari ini terus dipanen
publik sejatinya buah dari penerapan sistem hari ini yang berbasis
materialistik. Jalannya kekuasaan sudah kadung dililit oleh kepentingan oligark.
Hukum pun kadang berjalan sesuai dengan kehendak segelintir elit.
Lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang semula berjanji akan berpihak pada
rakyat, nyatanya dalam situasi ini mereka seolah tak berdaya. Jadilah ketidakadilan
ini bak bola yang menggelinding bebas tak berpenghalang. Alhasil, tinggalah rakyat sendiri menangis di pojok
pilunya kehidupan. Meraung meminta keadilan tapi tak satupun yang kunjung
terselesaikan, bahkan kian hari luka di jantung keadilan makin bertambah parah.
Lantas,
Masihkah Ada Harapan?
Secara naluriah, yang
diinginkan rakyat dari hukum ialah rasa keadilannya. Juga ketangkasannya dalam
memutus mata rantai kejahatan/kriminalitas yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
Dari sanalah satu sisi kepuasan publik terpenuhi.
Meski hukum ini
bukan produk yang mengenyangkan, tapi bila fungsinya benar-benar dijalankan, ia
bak energi bagi rakyat dalam
menjalani kehidupan. Dalam Islam perkara keadilan adalah hal yang amat
diperhatikan. Allah Swt bahkan telah memerintahkan ini dalam banyak surah di
Alquran. Diantaranya dalam surah an-Nisa ayat 58, dimana Allah Swt
memerintahkan agar menetapkan hukum di antara manusia dengan adil.
Dalam
surah an-Nahl ayat 90, Allah Swt juga memerintahkan agar berlaku adil dan
berbuat kebaikan. Rasulullah Saw juga telah mengingatkan para Hakim selaku
pemutus setiap perkara, bahwa mereka (baca: para hakim) itu ada tiga macam, tapi
hanya satu yang masuk surga sementara dua diantaranya masuk neraka. Karena
kelalaian mereka dalam memutuskan hukum. Maka berhati-hatilah dalam menimbang
perkara. Betapa keadilan itu besar ganjarannya bila abai dalam pelaksanaannya.
Begitupula dengan perkara sanksi hukum, Islam benar-benar
membahasnya dengan totalitas. Sedikitpun tak menyelisih fitrah manusia, karena
datangnya dari Zat yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Maka
sudah barang tentu, apa yang dikandungnya akan selaras dengan apa yang
diinginkan hambanya.
Terkait Sanksi, di
dalam Islam dikenal dengan istilah Uqubat atau sistem perhukuman, yang terbagi
ke dalam empat bagian. Pertama, hudud,
yakni sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang telah ditetapkan
kadarnya oleh Allah Swt. Lalu Ta’zir,
ialah sanksi bagi pelaku kemaksiatan yang didalamnya tidak ada had atau
kafarat. Ketiga Mukhalafat, yakni
uqubat yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah
penguasa. Baik kepada khalifah, para wali, muawwin/wazir dan lainnya. Sedang Jinayat adalah hukuman yang diberikan
kepada mereka yang telah melakukan tindak penganiayaan.
Kasus Novel hari
ini bila di takar dengan neraca Islam masuk dalam kategori Jinayat. Yang diyatnya ialah sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw
berikut ini:
“Barangsiapa
terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka ia dikenai qawad (qihash),
kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang terbunuh. Diyat dalam jiwa 100 ekor
unta. Pada hidung yang terpotong dikenakan diyat, pada lidah ada diyat, pada
dua bibir ada diyat, pada dua pelir dikenakan diyat, pada penis dikenai diyat,
pada tulang punggung dikenakan diyat, pada dua biji mata ada diyat, pada satu
kaki ½ diyat, pada ma’mumah (luka yang sampai selaput batok kepala) 1/3 diyat,
pada munaqqilah (luka sampai ke tulang dan mematahkannya) 15 ekor unta, pada setiap
jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, pada muwadldlihah
(luka yang sampai ke tulang hingga kelihatan) 5 ekor unta, dan seorang
laki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang perempuan, dan bagi pemilik
ema, 1000 dinar”. (HR. an-Nasa’iy)
Dalam hadis lain Nabi
Saw juga bersabda, “pada satu biji mata,
diyatnya 50 eker unta”. (HR. Imam Malik).
Sungguh luar biasa Islam mengatur semua. Kita tentu tak bisa
mendapatkannya selain dari Deen mulia ini. Maka harapan untuk menyemai keadilan hakiki bisa dirasakan bila Islam
dijadikan tumpuan dalam kehidupan. Semoga kita dimampukan untuk memahaminya. Wallahu’alam bi showab
Post a Comment