Perppu Corona: Imunitas Pejabat Negara?
Oleh:
Lina Revolt
(Aktivis
Muslimah Baubau)
Perppu
Covid-19 baru saja disahkan menjadi Undang-Undang. Perppu No 1 tahun 2020
tersebut mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan COVID-19. Dalam Perppu ini, pemerintah menambah alokasi belanja dan
pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp
405,1 triliun.
Baru
saja disahkan, Perppu langsung mengundang kekhawatiran banyak pihak. Perppu ini
ditenggarai akan membuka peluang diselewengkan karena memiliki kelemahan hukum
baik pidana maupun perdata.
Mengurai
Masalah
Dalam
merespon kondisi darurat, mengeluarkan Perppu memang adalah kewenangan
pemerintah. Namun, hadirnya Perppu justru menimbulkan banyak kritik. Pakar
hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, Rafly Harun berpendapat, bahwa tidak
ada dasar penerbitan Perppu karena masih ada DPR yang masih mampu menjalankan
fungsinya.
Kritikan
juga datang dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menilai salah satu pasal dalam Perppu
tersebut bisa memberikan kekebalan hukum bagi para aparat negara dalam
menggunakan uang negara, bahkan membuka celah terbebas dari hukum jika
melanggar aturan.
Jika
kita telusuri, ada beberapa poin dalam Perppu Covid-19 yang menjadi kontroversi:
1. Pasal
27 ayat 1 menjadikan setiap kebijakan aparat negara terkait anggaran
Covid-19 tidak bisa disangkakan sebagai
perbuatan merugikan negara. Pasal ini membuka celah terjadinya kecurangan dan
penyalahgunaan wewenang.
2.
Pasal 27 ayat 2, bahwa aparat negara
tidak bisa dituntut baik pidana maupun perdata. Terlepas dari merugikan
negara atau tidak. Pasal ini telah
memberikan kekebalan hukum pada pejabat pemerintah dan juga membuka celah
terjadinya penyalahgunaan wewenang. Hal
ini jelas akan menimbulkan pengistimewaan dihadapan hukum, yang jelas
bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kesamaan orang di mata hukum.
3.
Pasal 27 ayat 3 tidak memberikan perlindungan dan upaya hukum bagi masyarakat
terhadap kebijakan yang merugikan negara.
Padahal dalam keadaan darurat peluang terjadinya penyelewengan anggaran
rawan terjadi.
4.
Perppu tidak memasukan unsur pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan. Maka, wajar jika banyak pihak yang pesimis
bahwa anggaran Rp 405,1 triliun tidak berpeluang diselewengkan.
5.
Alokasi anggaran lebih fokus pada perbaikan ekonomi dibanding alokasi untuk
kesehatan, yaitu senilai Rp 150 Trililun. Maka wajar jika perppu ini dinilai
lebih menguntungkan pengusaha dari pada rakyat.
6.
Dengan pengesahan Perppu Covid-19, DPR telah mengebiri sendiri kewenangannya dalam hal budgeting,
dan diserahkan kepada eksekutif. Melalui Perppu Covid-19 penyusunan APBN cukup
melalui Perpres. Perppu ini jelas telah mengebiri kewenangan yudikatif.
Sarat
Kepentingan
Jika
kita melihat pengesahan Perppu yang terkesan dipaksakan, karena tidak memenuhi
syarat kegentingan yang memaksa. Wajar jika banyak yang berspekulasi jika
Perppu diterbitkan karena kepentingan pada kapitalis. Dengan alasan
penyelamatan ekonomi padahal sejatinya penyelamatan usahanya para pengusaha
kelas kakap. Lihat saja besarnya kucuran
dana yang dikeluarkan untuk perbaikan ekonomi senilai Rp 150 triliun, sementara untuk kesehatan hanya
Rp 75 triliun saja.
Sejatinya
untuk siapakah penguasa negeri ini bekerja.
Saat amanat undang-undang karantina wilayah tak pernah terlaksana. Wabah
belum jelas kapan berakhir, negara malah mengucurkan dana besar demi perbaikan
ekonomi. Sementara di luar sana rakyat berjuang sendirian menghadapi wabah yang
siap mengancam nyawa kapan saja. Terutama para medis dan Nakes yang setiap
harinya satu persatu mulai berguguran.
Perppu
corona tidak menyentuh esensi masalah penanganan wabah. Justru membuka peluang
perampokan harta negara. Sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang perppu ini
dan lebih berfokus menyelesaikan penyebaran virus dan mendukung tenaga
kesehatan terlebih dahulu. Apalah artinya perbaikan ekonomi jika nyawa manusia
terus berguguran setiap harinya.
Efisiensi
Kebijakan Penanganan Wabah dalam Islam.
Lain
lubuk lain ikannya. Berbeda dengan
penguasa ala demokrasi kapitalisme. Di dalam Islam Penguasa adalah raa'in
(pelayan) sekaligus junnah (Perisai)bagi
rakyatnya. Menjalankan tugas semata-mata
karena amanah Allah.
Dalam
pemerintahan Islam, Kebijakan penangan
wabah dan anggaran penanganan wabah sudah diadobsi oleh negara sejak awal
berlandaskan syariat Islam, bahkan sebelum terjadinya wabah. Didalam Islam ada
Seksi ( dewan ) khusus yang mengurusi kondisi darurat yang menimpa negara,
seperti bencana alam dan wabah. Seksi (Dewan) ini disebut seksi Urusan Darurat/
bencana alam (ath-Tawaari).
Seksi
(Dewan) ini bertugas mengatur anggaran penanganan wabah dan memberi bantuan
kepada masyarakat atas kondisi darurat/bencana mendadak yang menimpa
mereka.
Pos
anggaran penanganan wabah sudah jelas pos-pos pemasukan dan
pengeluarannya. karena sudah ditentukan
oleh hukum suara'.
Sehingga
khalifah hanya tinggal menganggarkannya saja dari baitul mal. Tanpa perlu
membuat undang-undang khusus yang menjadikan anggaran penanganan wabah menjadi
ruwet dan alot, hingga terlambat sampai kepada masyarakat.
Setiap
seksi yang bertugas dan anggaran yang dikeluarkan dibawah pengawasan khalifah
secara langsung. Maka tidak ada celah untuk melakukan penyelewengan
anggaran.
Sudah
seharusnya pemerintah mengkaji ulang setiap kebijakan dan berhenti bergantung
dan bekerja pada kepentingan kapitalis. Karena setiap jabatan adalah amanah dan
akan diminta pertanggungjawaban jawaban.
Wallahualam
bisshawab.(*)
Post a Comment