Sekolah Dibuka di Zona Hijau, Orang Tua Galau
Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
(Praktisi Pendidikan Konawe, Sulawesi Tenggara)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah mengumumkan bolehnya sekolah yang berada di zona hijau (sejumlah 92 kabupaten/kota atau 6% dari keseluruhan sekolah di Indonesia) untuk melakukan belajar tatap muka bersyarat. Adapun syarat yang dimaksud adalah pengisian daftar periksa kesiapan sesuai protokol kesehatan, zona kota/kabupaten mesti berada di zona hijau, mendapatkan izin dari pemerintah daerah, dan mendapatkan izin dari orangtua siswa (Kontan.co.id, 15/06/2020).
Di Sulawesi Tenggara sendiri, hanya ada satu daerah yang masuk kategori zona hijau. Daerah tersebut adalah Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) yang hingga saat ini (berdasarkan informasi gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 Sultra) pada 21 Juni 2020 pukul 15.00 WITA, tidak terdapat kasus positif Covid-19.
Meski di Sulawesi Tenggara proses pendidikan masih dalam tahap sosialisasi pendaftaran peserta didik baru (PPDB), namun Plt. Dikbud Sultra, Asrun Lio, sudah mengimbau agar sekolah bersiap menghadapi new normal khususnya di daerah zona hijau (Kendaripos.co.id, 22/06/2020).
Khawatir Jadi Klaster Baru
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengadakan survei terhadap 61.913 orang tua siswa, 19.296 guru, dan 64.386 peserta didik di 514 kabupaten/kita di 34 provinsi di Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, 85,5% orang tua khawatir jika sekolah dibuka kembali.
Mayoritas orang tua siswa tersebut menyarankan agar pembelajaran tahun ajaran 2020/2021 di zona hijau tetap dilakukan secara daring di tengah pandemi Covid-19. Alasannya, masih ada kemungkinan risiko penularan Covid-19 bisa datang dari murid yang berasal dari zona lainnya (Republika.co.id, 17/06/2020).
Bambang, salah satu wali murid asal Jakarta Selatan, mengaku khawatir. Ia mengatakan bahwa ketentuan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang memungkinkan siswa bersekolah di luar zona tempat tinggalnya dengan melalui jalur prestasi memungkinkan risiko penularan jika suatu zona yang dianggap telah aman dari Covid-19 akan melanjutkan pembelajaran secara tatap muka.
Senada, wali murid asal Bekasi, Jawa Barat, Prihartono, juga sepakat agar proses belajar mengajar secara tatap muka sebaiknya dilakukan ketika wabah Covid-19 sudah dapat dikendalikan. Pasalnya, saat anak-anak kemungkinan tertular virus SARS-CoV-2, mereka cenderung tidak menunjukkan gejala. Sehingga, guru menganggap proses belajar mengajar dapat dilanjutkan, sementara penularan terus berlangsung selama proses tersebut.
Ia khawatir jika pembelajaran secara tatap muka tetap dilakukan, hal itu akan memicu terbentuknya klaster penularan baru di lingkungan yang sebelumnya dianggap aman.
Kritik Konstruktif
Menyikapi kebijakan ini, dipandang perlu untuk melakukan kritik konstruktif melalui beberapa poin. Pertama, pemerintah tidak boleh menganulir kecemasan yang dirasakan oleh orang tua. Sebaliknya, mewadahi kecemasan tadi agar menemukan solusi terbaik. Sebab, mayoritas survei menunjukkan hasil yang sama. Orang tua galau anaknya kembali ke sekolah meski berada di zona hijau.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui survei yang dilakukan pada 6-8 Juni ini, mayoritas responden keberatan sekolah dibuka kembali. Sebanyak 55,1% responden mengatakan sekolah belum memenuhi kebutuhan pokok dalam menghadapi kenormalan baru. Salah satu kendala terberatnya ialah pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan. Mereka tidak yakin dapat memenuhi segala kebutuhan tersebut dalam sebulan (Mediaindonesia.com, 21/06/2020).
Survei FSGI ini mendapati bahwa para orang tua resah, khawatir, dan cemas. Sebab, data terakhir menunjukkan masih tingginya angka penambahan kasus baru pasien Covid-19, khususnya di usia anak. Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 18 Mei 2020, terdapat 3.324 anak yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP); sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal dunia; sementara jumlah anak yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 berjumlah 584 anak; kemudian 14 anak diantaranya meninggal dunia dengan status positif virus corona.
Kedua, pedoman yang dikeluarkan oleh Mendikbud berfokus pada pembukaan sekolah di zona hijau yang persentasenya hanya 6 persen. Padahal, 94 persen sekolah di Indonesia masih harus menjalankan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang masih menyimpan banyak masalah.
Berdasarkan survei FSGI, keberlangsungan PJJ masih menemui berbagai macam kendala, seperti tidak adanya internet hingga konten pembelajaran yang tidak mendukung PJJ. Terkait hal ini, FSGI mendorong agar dibuat pendampingan atau pelatihan khusus terkait PJJ daring. Hal ini penting karena pada tahun ajaran baru sebagian besar sekolah akan menjalankan PJJ, sehingga harus dibuat sistem yang berkualitas.
Ketiga, kegiatan belajar mengajar saat ini memang sebaiknya masih dilakukan secara daring atau tidak tatap muka. Mengingat, 80 persen wilayah Indonesia masih berada di zona kuning, oranye dan merah (KOM). Mayoritas wilayah Nusantara yang berada di zona KOM juga memiliki resiko bagi zona hijau. Artinya, pembelajaran dengan metode daring masih menjadi alternatif terbaik di tengah pandemi saat ini.
Edukasi Sistemik
Menerapkan kebijakan belajar tatap muka di zona hijau tentu tetap berisiko. Dalam konstelasi sistem kapitalisme, ia ibarat buah simalakama. Tak belajar di sekolah mereka tak mendapat pendidikan. Sedangkan jika memperhitungkan keselamatan, mereka terdampak tak mendapatkan pendidikan yang layak.
Berbeda dengan sistem pendidikan yang digagas oleh Islam. Dimana di masa pandemi, diutamakan pembelajaran jarak jauh, proses belajar dan mengajar tetaplah akan dilakukan dengan senang hati. Guru akan berusaha kreatif menyajikan kurikulum secara baik. Siswa pun siap menerima ilmu. Inilah yang membedakan dengan proses pembelajaran selama ini. Kurikulum yang sangat padat serta nihil dari aspek ruhiyah tentu dirasakan sebagai beban.
Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai instrumen untuk menghasilkan pemikir. Ya, pendidikan dipandang sebagai upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis. Upaya tersebut tertuang ke dalam beberapa poin. Pertama, pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran (tsaqofah) Islam kepada para siswa.
Kedua, kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Pun, sarana dan prasarana pendidikan diselenggarakan secara memadai.
Ketiga, ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi, kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh bukan dengan tujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan cacat-celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Terpenting, dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan memperhatikan aspek kesehatan dan keamanan. Termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi.
Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sehingga, fokus pemerintah yang lebih memperhatikan aspek kesehatan dan keamanan tadi tidak akan mengakibatkan orang tua siswa galau berkepanjangan.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment