Karut Marut Bantuan Sosial di Tengah Pandemi
Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)
Semakin sesak dan berat derita yang dialami oleh rakyat negeri ini. Di tengah kondisi ekonomi yang memprihatinkan, masih saja ditemui modus mengambil keuntungan di balik penderitaan rakyat.
Satu di antaranya terlihat dari DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menyatakan bahwa masih ada warga terdampak pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum menerima bantuan sosial. Sebagaimana digelontorkan baik Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota maupun pihak swasta. Hal itu diketahui setelah Pansus Covid-19 DPRD Sultra melakukan uji petik terhadap penyaluran bantuan sosial Pemprov Sultra disejumlah kelurahan di Kota Baubau, Sultra.
“Baru-baru ini kami turun untuk memastikan bahwa jangan sampai masih ada warga yang belum menerima bantuan yang tidak terdaftar di data manapun, dan itu ternyata terbukti,” ungkap Sekretaris Pansus Covid-19 DPRD Sultra, Fajar Ishak Daeng Jaya di Kendari, Senin.
Menurut Politikus Partai Hanura itu, di Kelurahan Tomba masih ditemukan 236 KK terdampak yang belum pernah menerima bantuan, sementara di Kelurahan Palabusa relatif lebih sedikit di bawah 20 KK. (sultra.antaranews.com, 6/7).
Ironi Kesejahteraan di Tengah Pandemi Covid-19
Bantuan Sosial (Bansos) di tengah wabah Covid-19 sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh semua kalangan masyarakat, baik kalangan kelas bawah, tengah maupun kelas atas, sebab dampak dari lesunya ekonomi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat luas. Sayangnya, seperti biasa dalam penyaluran bantuan tersebut bertolak belakang dengan yang dirasakan masyarakat disebabkan banyak yang tidak tepat sasaran.
Seperti yang terjadi di Kota Baubaau sebagaimana Aktifis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusat Advokasi Hukum dan HAM, Kota Baubau, Lukaman menyatakan setiap harinya ia mendengar bahkan menyaksikan secara langsung serta dihubungi melalui telepon, whatsapp, facebook bahkan messenger oleh berbagai keluhan-keluhan masyarakat. Berbagai keluhan tersebut di antaranya, kata Lukaman banyak warga yang belum menerima bantuan berupa Bansos di masa pandemi saat ini, adanya penerimaan ganda dan bantuan dari unsur ASN.
“Keterlambatan jumlah bantuan sembako, sampai penerimaan bansos bagi warga yang sudah meninggal. Ditambah dengan adanya pemotongan dana BLT oleh oknum kelurahan RT/RW, ini sangat memalukan,” ucap Lukaman dengan nada kesal. (beritamerdekaonline.com, 2/6).
Demikian, anggota DPRD Sultra, H Jumardin mengoreksi bahwa bantuan yang disalurkan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) melalui Dinas Sosial ke Pemda Kolaka Utama (Kolut). Menurut Jumardin, bantuan Covid-19 yang disalurkan Pemprov tidak merata. Pasalnya, yang diberi bantuan hanya 6 kecamatan dari 15 kecamatan yang ada di Kolut.
“Berbicara dampak semua merata kena dampak. Adapun banyaknya jumlah yang menerima, intinya kita mau pemerataan,” ujar Jumardin saat menghadiri penyerahan bantuan Covid-19 di Pemda Kolaka Utara. (m.kumparan.com, 10/6).
Seperti yang sudah-sudah, janji manis untuk menjamin kesejahteraan rakyat di tengah pandemi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah bak ‘tong kosong nyaring bunyinya’ banyak berbicara tapi nihil pembuktian. Rakyat selalu dibuat gigit jari karena harus bersiap menanggung dampak kegagalan demi kegagalan setiap program yang dihembuskan. Bansos dari negara yang sangat dinantikan oleh masyarakat tak kunjung merata. Ada saja keluhan atau aduan yang masuk, bukan hanya puluhan bahkan ribuan.
Dikutip dari laman m.medcom.id (2/7), Ombudsman Republik Indonesia menerima sebanyak 1.330 aduan masyarakat terkait penyaluran bantuan sosial (Bansos). Laporan tersebut diterima dari 29 April-30 Juni 2020. Wakil ketua Ombudsman RI Lely P. Soebakty menjelaskan, kasus yang paling banyak masuk ke Ombudsman ialah penyaluran bantuan yang tidak merata, baik dari segi waktu, penerima dan wilayah sasaran.
Laporan terkait hal ini mencapai 22,28 persen dari sektor lainnya semisal sektor ekonomi dan keuangan ataupun keamanan. Dari sini, rakyat bisa mengambil pandangan bahwa adanya bantuan sosial pun tidak memberi sedikit solusi bagi masalah hidup yang sudah ada. Alih-alih menghadirkan jalan penyelesaian, justru di tengah belum usainya persoalan pemerataan bansos, kini rakyat harus kembali bersiap dengan sapaan masalah baru yang mencekik.
Bagaimana tidak, diketahui bahwa pemerintah pusat akhirnya menurunkan nilai manfaat bantuan sosial dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Baik masyarakat Jabodetabek maupun non-Jabodetabek bagi mereka yang terdampak Covid-19 dan akan diberlakukan mulai Juli hingga Desember tahun ini.
Sebab, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penyaluran bansos akan diperpanjang hingga akhir tahun 2020. Terkhusus, bantuan sosial tunai yang diberikan bagi masyarakat di wilayah non-Jabodetabek dimana nilai manfaatnya diturunkan dari Rp.600 ribu menjadi Rp.300 ribu. Dengan demikian, total anggaran yang digelontorkan untuk bansos non-jabodetabek menjadi Rp.32,4 triliun.
Selain nilai manfaatnya, metode penyaluran bansos non-Jabodetabek juga diubah. Presiden RI Joko Widodo memutuskan, penyaluran bansos secara tunai non-cash. “Pemerintah akan transfer ke nama dan akun penerima bantuan sesuai data Kementerian Sosial maupun kerjasama dengan Pemerintah daerah masing-masing,” ujar Sri Mulyani. Kemudian, pemerintah menurunkan nilai manfaat BLT Dana Desa dari Rp.600 ribu menjadi Rp.300 ribu per bulan. Alhasil, total anggaran untuk BLT Dana Desa akan mencapai Rp.31,8 triliun, dari laman katadata.co.id, 3 Juni 2020 lalu.
Di negeri ini, persoalan penyaluran dana bantuan memang bukan hanya persoalan teknis berupa salah sasaran, dimana jumlah yang dialokasikan yang seringkali mengusik rasa keadilan masyarakat. Melainkan mekanismenya yang berubah-ubah ditambah nominalnya yang kini dipotong semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh ingin meringankan beban hidup rakyat.
Dengan jumlahnya yang semula saja, masih sangat terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Boleh dikata tidak akan cukup untuk digunakan selama seminggu bagi keluarga yang beranggotakan lebih dari tiga orang misalnya.
Tidak dipungkiri, kenyataan yang tampak dimasyarakat selama ini seolah menunjukkan bahwa bansos seperti beban bagi pemerintah. Terlihat, dari setiap kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah yang tumpang tindih, saling melempar tanggungjawab terkait data yang tidak sinkron dari keduanya sehingga berdampak kacaunya penyaluran yang telah dijalankan.
Kita tidak menutup mata bahwa inilah yang terjadi di negeri tercinta ini, dengan sistem Ideologi kapitalisme yang menganggap bahwa rakyat adalah beban bagi negara, bukan untuk diri'ayah (diurusi) hajat hidupnya. Ketika berhadapan dengan urusan rakyat, maka pertimbangan untung rugi akan menjadi tolok ukur pelaksanaannya. Maka, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa polemik bansos ini disebabkan oleh pemerintahan yang kapitalistik. Realitas menunjukkan, kebijakan yang berhubungan dengan rakyat, pemimpin tidak serius menangani. Kemiskinan menjamur sementara bantuan sosial datang setengah-setengah, saat wabah melanda kebijakan yang disuguhkan disertai dengan aroma kepentingan ekonomi, bukan kemanusiaan.
Memang, sistem yang dianut baik negeri ini telah terbukti gagal dalam menangani pandemi Covid-19 beserta dampak yang ditimbulkannya. Benang kusut konsep sistem ini benar-benar gagal memunculkan solusi tuntas bagi persoalan hidup yang ada, dilengkapi dengan sosok penguasa yang matrialistik semakin menyempurnakan kepiluan rakyat.
Inilah potret kepemimpinan yang lahir dari sebuah sistem kapitalisme yang batil, pemimpin yang terlihat membantu rakyat, pastinya ada maksud terselubung dibaliknya, menebar pencitraan atau mencari muka agar kedudukannya aman karena rakyat menganggap bahwa pemerintah hadir untuk mereka. Sungguh, bantuan tersebut tidaklah lebih dari cara mereka untuk menutupi kebusukan dan keserakahan ideologinya.
Semua ini selayaknya membuka hati dan pikiran umat bahwa penguasa negara kapitalis memang tidak akan pernah menjadikan rakyat sebagai prioritas. Adalah kebodohan jika manusia hari ini masih berharap perbaikan dari sistem yang melahirkan pemimpin yang tak punya empati. Maka dari itu, dunia membutuhkan sistem alternatif yang bisa diharapkan menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Islam Solusi Tuntas Bagi Rakyat
Islam datang dengan dengan seperangkat aturan multidimensional yang mengatur manusia dengan manusia yang lain. Perangkat aturan Islam diturunkan Allah SWT dapat menjadi solusi atas seluruh problematika manusia. Penerapan syariat Islam secara keseluruhan dalam semua aspek kehidupan oleh negara akan memastikan kesejahteraan benar-benar terwujud. Negara akan menjamin terhindarnya manusia dari bahaya.
Islam memandang bahwa seluruh rakyat harus mendapatkan jaminan kesejahteraan, baik dalam kondisi wabah atau tidak yang meliputi kebutuhan pokok bagi tiap individu berupa sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan pendidikan. Dan Islam menggariskan bahwa pemenuhan ini adalah kewajiban pemimpin untuk menjaminnya. Jaminan negara berupa pemastian bahwa setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhannya tersebut secara layak yang bersumber dari kas negara. Dalam menyalurkan bantuannya, pemimpin pun wajib memberikannya secara adil dan merata melalui mekanisme langsung kepada kelompok masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab ketika menghadapi krisis akibat wabah mematikan. Beliau memastikan suplai ketersediaan kebutuhan masyarakat di masa wabah terpenuhi, membangun pos-pos penyedia pangan di berbagai tempat bahkan mengantarkan sendiri makanan disetiap rumah. Kepemimpinannya di dalam sistem Islam bukanlah untuk mencari keuntungan ataupun citra diri, melainkan mengurusi urusan umat semata.
Begitulah Islam dalam menyelesaikan masalah di tengah wabah, dimana pemimpin sebagai aparatur negara menyadari sepenuhnya bahwa tugasnya adalah pelayan (pengurus) bagi umat yang menjadi amal shalih baginya. Oleh karena itu, batas-batas Allahlah yang mereka jaga bukan sekadar menjaga kekuasaan dengan menebar janji tanpa bukti. Demikianlah Islam melahirkan penguasa yang bertakwa kepada Allah Swt. takut kepada-Nya, dan selalu merasa diawasi hingga membuatnya bersungguh-sungguh mengurus seluruh urusan rakyatnya.
Ketakwaan ini lahir karena keterikatan terhadap hukum syariat antara pemimpin dan sistem yang menaunginya. Hanya dalam Islam seluruh umat akan terjaga dan kesejahteraan dapat tercapai dalam naungan sistemnya. Maka, sudah saatnya kita beralih kepada sistem pemerintahan Islam yang telah terbukti keunggulannya dalam menghadapi krisis dalam segala situasi dan kondisi.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment