Zonasi Kisruh Lagi: Pentingnya Mengubah Paradigma
Oleh: Lina Revolt
( Pendidik dan Pemerhati Pendidikan )
Menyambut tahun ajaran baru adalah momen mendebarkan bagi seorang anak. Impian masuk sekolah favorit menjadi penyemangat mendaftarkan diri ke sekolah. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa " Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan ". Maka sudah sewajarnya jika orang tua dan anak senantiasa gegap gempita menyambut tahun ajaran baru. Namun, apa jadinya jika penerimaan peserta didik baru malah menuai kisruh dan membuat anak malah patah hati?
Pasalnya, penerimaan peserta didik baru tahun ini kembali kisruh. Orangtua murid di Jakarta memprotes keras saat Dinas Pendidikan DKI Jakarta melakukan Konfrensi Pers di Kantor Disdik DKI Kuningan Jakarta selatan pada jumat lalu (26/6). Orang tua mengamuk lantaran Sistem seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online 2020 mengutamakan batas usia bukan jarak domisili. Akhirnya anak mereka tidak bisa lolos ke sekolah negeri yang diinginkan.
Pemerintah DKI mengklaim jika PPDB sudah sesuai peraturan Kemendikbud No 44 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Berdasarkan surat keputusan kepala dinas pendidikan nomor 501 tahun 2020 tentang penetapan zonasi sekolah untuk penerimaan peserta didik baru tahun pelajaran 2020-2021. Apabila jumlah pendaftar PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar (KompasTV, 27/6/20).
Mengurai Masalah
Pemberlakuan Zonasi sudah memasuki tahun ke empat. Namun, Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih saja terjadi. Setiap tahun senantiasa menimbulkan ketidakpuasan orang tua murid, bahkan masih dihiasi dengan berbagai kecurangan dan manipulasi. Jika kita telusuri ada berapa faktor yang menjadikan PPDB senantiasa kisruh sebagai berikut:
Pertama, pola pikir tentang sekolah favorit masih mengakar di benak masyarakat. Sehingga muncul kekhawatiran jika anak mereka tidak bisa masuk sekolah negeri favorit. Paradigma ini terbentuk akibat kondisi sekolah di Indonesia yang belum merata kualitasnya, juga penyebaran guru berkualitas yang belum merata, membuat label sekolah favorit sulit dihilangkan. Menurut data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak mencapai 50% di seluruh Indonesia. Artinya lebih banyak ruang kelas yang rusak dibandingkan yang baik.
Belum lagi mahalnya biaya masuk sekolah swasta favorit menjadikan sekolah-sekolah negeri senantiasa menjadi pilihan utama yang diserbu oleh peserta didik. Ditambah lagi orientasi pendidikan bagi orang tua adalah berhubungan dengan lapangan pekerjaan di masa depan. Semakin bagus kualitas sekolah maka kemungkinan diterima kerja akan semakin tinggi. Paradigma ini, tak pelak menjadikan banyak orang tua yang nekad melakukan berbagai kecurangan demi meloloskan anak mereka di sekolah negeri yang diinginkan.
Kedua, kurangnya edukasi terhadap masyarakat. Untuk mengubah paradigma berpikir masyarakat memang yang dibutuhkan tak sekadar sosialisasi terkait kebijakan yang diberlakukan, namun masyarakat juga butuh diedukasi. Sehingga kebijakan tidak menimbulkan kebingungan diantara orang tua murid. Tidak sedikit orang tua yang kaget dengan aturan yang ada.
Ketiga. Kisruh PPDB tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan fasilitas yang memadai sehingga seluruh calon siswa bisa tertampung di sekolah-sekolah yang jaraknya dekat dengan domisili. Sehingga niat baik menghilangkan kastanisasi melalui pendidikan justru menimbulkan masalah baru karena. ketidaksiapan fasilitas sarana prasarana yang memadai.
Menurut Plt Inspektur Jenderal Kemendikbud Chatarina Muliana masalah utama dari kisruh PPBD adalah terbatasnya jumlah sarana pendidikan yang mampu menampung siswa baru. Saat ini, sarana pendidikan tingkat SMA di berbagai provinsi lebih banyak tersebar di perkotaan. Distribusi sarana pendidikan yang belum merata di berbagai wilayah itu yang menyebabkan selalu terjadi masalah saat proses PPDB.(Tempo.com,28/6/20)
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ramli Rahim berpendapat kisruh PPDB tidak terlepas dari ketidakmampuan Pemerintah menjadikan fasilitas pendidikan yang cukup dan berkualitas. Pasalnya, program zonasi PPDB bukan hal baru sebab telah dijalankan tahun 2017 artinya di tahun 2020 ini PPDB sistem zonasi telah memiliki lulusan sekolah. (MediaIndonesia,3/7/20)
Negara Regulator
Munculnya problem PPBD hampir setiap tahun tidak lepas dari paradigma pengelolaan negara yang berbasis korporasi, buah dari sistem kapitalisme neoliberal yang diadopsi oleh negeri ini, sebagai bagian dari sistem politik dan ekonomi global.
Sistem neoliberal memang menitikberatkan agar negara memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk swasta bermain dalam segala sektor, termasuk dalam pendidikan. Sistem ini menuntut hilangnya peran negara dalam urusan pelayanan publik. Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai penyelenggara Utama pendidikan.
Kurangnya daya tampung sekolah negeri menimbulkan kekhawatiran pada orang tua jika anak mereka tidak bisa lolos sekolah negeri. Sementara sekolah swasta berkualitas tak tejangkau karena berbiaya tinggi. Inilah salah satu faktor yang menjadikan PPDB senantiasa kisruh setiap tahunnya. Sementara Pemerintah beranggapan bahwa membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat.
Karena itulah negara terus mendorong agar pihak swasta mengambil peran besar dalam penyelenggaraan pendidikan dan mampu memahami kebutuhan masyarakat. Sementara tidak bisa dipungkiri keterlibatan swasta dalam pendidikan kerap dijadikan alat mencari keuntungan semata. Berharap pendidikan berbiaya murah dan berkualitas dari swasta adalah hal yang sulit. Karena mereka telah mengeluarkan biaya besar untuk menjadi penyelenggara pendidikan. Ingat tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalisme.
Data yang disampaikan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP lebih sedikit dibandingkan SMA. Sementara lebih dari 60% SMA ternyata merupakan sekolah swasta.
Mengubah Paradigma
Benang kusut kisruhnya PPDB setiap tahun ada di paradigma pengelolaan pendidikan yang salah. Sudah seharusnya pemerintah mengembalikan fungsinya sebagai penyelenggara utama pendidikan. Menjadi operator utama bukan sekedar regulator. Negara harus siap mengucurkan anggaran demi membangun fasilitas dan kualitas pendidikan yang memadai karena pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Negara tidak boleh berpikir untung dan rugi. Karena Negara telah menerima mandat sebagai pelayan rakyat.
Rasulullah SAW bersabda:
Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Oleh karena itu negara harus menjamin terpenuhinya sarana prasarana pendidikan, mulai dari gedung dengan segala fasilitas pendukungnya, hingga sebaran guru yang merata, kurikulum yang baik bahkan konsep tata kelola sekolahnya. Negara juga harus memastikan bahwa setiap Anak bisa mengakses pendidikan dengan kualitas yang sama baik di perkotaan maupun pedesaan.
Negara juga harus mampu menempatkan orang-orang yang profesional. Menciptakan birokrasi dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini, kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi.
Negara tidak boleh menjadikan swasta sebagai penyelenggara utama pendidikan. Meski mereka tetap diberi peran untuk berkonrtibusi dalam pendidikan namun bukan didorong mencari kentungan semata.
Seandainya negara memaksimalkan pengelolaan sumber daya di negeri ini. Pastilah negara akan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas untuk seluruh rakyatnya. Sudah saatnya negara meninggal paradigma kapitalisme neoliberal dalam mengelola negara dan mencari alternatif sistem yang lebih baik yang mampu mengelesaikan seluruh permasalahan bangsa termasuk pendidikan.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment