Klaim Obat Corona dan Lemahnya Kepercayaan Publik pada Pemerintah
Oleh: Darni Sanari (Pemerhati Sosial)
Nama Hadi Pranoto menjadi perbincangan setelah ia diwawancarai musisi Erdian Aji Prihartanto atau Anji. Video perbincangan Anji dan Hadi Pranoto diunggah melalui kanal Youtube milik Anji. Dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19. Ia menyebutkan bahwa cairan antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19.
Video ini telah menuai tanggapan dari berbagai kalangan, baik dari Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Maupun ahli bahwa Masyarakat jangan asal percaya klaim. Ahli biologi molekuler independen, Ahmad Utomo, menyebutkan bahwa salah satu masalah mendasar di Indonesia terkait obat atau pengobatan sebuah penyakit adalah klaim. (kompas.com, 02/08/2020).
Meskipun klaim obat Corona dari Hadi Pranoto sudah menyebar di tengah-tengah rakyat, tapi masyarakat terlanjur tidak percaya pada pemerintah.
Ketidakmampuan pemerintah untuk meyakinkan rakyat terkait bahaya Covid-19, telah banyak kita jumpai di masyarakat. Covid-19 hanya dijadikan sebagai bahan candaan. Baik dilakukan masyarakat maupun dilakukan oleh orang-orang yang berada di jajaran pemerintahan. Misalnya, corona jadikan sebagai istri, cukup berjemur di matahari, corona tidak akan masuk Indonesia karena biaya masuk mahal, atau hiduplah berdampingan dengan corona. Bahkan, keberadaan corona dianggap berkah untuk menutupi kegagalan ekonomi negara. Meskipun jauh sebelum corona, ekonomi negara sudah gagal.
Sehingga, jangan heran ketika masyarakat pun melakukan hal yang sama. Bahkan, mencari sendiri solusi terkait corona berupa obat yang dapat menyembukan infeksi covid-19. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah yang mampu atau bersungguh-sungguh untuk menemukan obat Covid-19.
Sejak awal munculnya Covid-19 langkah, yang diambil pemerintah telah salah. Namun, kita perlu mengapresiasi seruan distancing, rajin cuci tangan, jangan berkerumun, sekolah daring. Sayangnya, hal ini tidak berjalan sebagaimana yang dikehendaki, bahkan menimbulkan masalah baru. Selain itu, tidak tidak ada sosialiasi di tengah-tengah masyarakat, tidak memisahkan yang sehat dan sakit, dan pemerintah justru menerapkan new normal ketika puncak-puncaknya pandemi.
Pelayanan kesehatan kepada pasien Covid-19, berupa rumah sakit darurat, pengadaan obat. Hal ini dilakukan, tetapi tidak tepat sasaran bahkan terkesan membuang-buang uang negara. Misalnya, pembelian alat dari Cina berupa rapid test, atau pembelian jutaan obat yaitu chloroquine and avigan. Ternyata semua itu tidaklah efektif menyembuhkan pasien Covid-19 dengan gejala kronis, sebagaimana dikatakan Kemenkes Jepang.
Di samping itu, dana untuk riset Covid-19 yang disediakan juga sangat kecil. Bahkan, solusi tersebut terkesan diserahkan kepada bukan ahlinya. Justru diselesaikan dengan cara politis yang tidak mengerti tentang virus.
Di bidang hukum pun kepercayaan rakyat semakin tergerus. Benar bahwa aparat keamanan mengambil langkah cepat mengamankan pelaku yang mengklaim sebagai penemu obat Covid-19. Namun di sisi lain, juga terjadi penelanjagan kepada pihak penegak hukum. Jika pelaku kebohongan adalah rakyat, maka cepat diproses. Jika pelakunya adalah pejabat atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan kekuasaan maka prosesnya lambat. Bahkan, dicarikan berbagai alasan agar lolos dari jeratan hukum, terkadang pula tidak diproses.
Inilah sistem kapitalisme demokrasi yang menciptakan penguasa yang jauh dari rakyat. Bahkan, tidak tahu bagaimana mengurus rakyatnya.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw., “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Penghianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap penghianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Haim, al-Mustadrak’ala as-Shahihain, V/465)
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, akan memberikan solusi. Hal ini jelas sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalisme demokrasi, yang syarat dengan kepentingan individu, kelompok atau tekanan negara lain.
Oleh karena Itu, kebijakan yang akan diambil oleh khalifah adalah melakukan pencegahan penularan virus. Memisahkan antara yang sehat dan sakit, dengan melakukan swab test dan rapid test secara masal dan gratis pada seluruh masyarakat. Sehingga, yang sehat tetap beraktivitas. Sedangkan yang sakit dikarantina, diberikan pengobatan yang terbaik oleh negara hingga sembuh.
Negara juga akan menyediakan sarana dan prasarana memadai. Baik gedung rumah sakit yang berkualitas, mendorong produksi obat-obatan, mendorong para ahli untuk melakukan riset penemuan vaksin. Tentunya dengan mengeluarkan pendanaan yang besar.
Pendanaan ini mudah bagi negara Islam. Sebab, didukung dengan sistem ekonomi dan keuangan Islam. Dimana pemasukkan kas negara dari berbagai sumber anfal, ghanimah, fai dan khumus, kharaj, jizyah, kepemilikan umum berupa tambang emas, tambang batu bara, dsb. Kepemilikan negara berupa tanah bangunan, sarana umum dan pendapatannya. Harta usyur, harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara. Harta hasil kerja yang tidak diizinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya, khumus barang temuan dan barang tambang, harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, harta orang-orang murtad, pajak (dharibah) yang ditarik hanya pada kaum muslimin yang kaya, harta zakat.
Hanya dalam naungan Khilafah setiap warga negara baik Muslim maupun non Muslim mendapat jaminan kebutuhan pokok seperti kesehatan, keamanan, pendidikan, pangan, sandang dan papan, serta perlakuan yang sama di depan hukum siapapun pelakunya.
Wallahalam bissawab.(*)
Post a Comment