Politik Dinasti, Cara Jitu Melanggengkan Kekuasaan
Oleh: Surfida, S.Pd.I
(Pemerhati Sosial)
Pemilihan kepala daerah atau pilkada ternyata akan tetap dilaksanakan, meskipun pandemik belum berlalu dari negeri ini. Pesta demokrasi tersebut akan digelar serentak pada bulan Desember 2020 mendatang. Partai-partai yang masih memiliki kader banyak, sudah menentukan siapa jagoannya yang akan bertempur nanti di pilkada. Selain menentukan jagoannya, partai juga sudah menentukan akan berkoalisi dengan partai apa agar sang jawara tersebut menang.
Partai nomor satu yang sedang berkuasa saat ini pun tak ketinggalan. Pemimpin tertingginya sudah menentukan siapa yang akan dijadikan jawara nanti. Misalnya di daerah Solo, partai ini sudah menunjuk Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wali kota Solo yang berpasangan dengan Teguh Prakoso. Sedangkan untuk di Medan, partai ini menggadang-gadang Bobi Nasution. (akurat.com, 19/7/2020 ).
Karena partai nomor satu ini menunjuk keluarga petahana sebagai calon, sehingga menimbulkan berbagai reaksi. Mereka mengatakan jika penguasa saat ini ingin membangun politik dinasti dan politik oligarki. Misalnya komentar dari Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah membangun politik dinasti mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota. (Kompas.com,18/7/2020).
Politik Dinasti dan oligarki Produk Demokrasi
Tak bisa dipungkiri bahwa harta, takhta dan wanita ini mampu membuat manusia gelap mata. Karena itu, orang berlomba-lomba agar memiliki ketiga hal tersebut walaupun untuk mendapatkannya harus melanggar ajaran agamanya. Mungkin karena ketiga hal itu juga, sehingga saat ini partai-partai besar sedang berusaha agar apa yang sudah didapat saat ini tetap dikuasai. Mereka mulai mencari sekutu, baik dari kalangan politisi maupun kalangan pengusaha untuk berkolaborasi. Jika kalangan politisi diajak untuk memperkuat posisi partai, sedangkan kalangan pengusaha untuk memperkuat dari sisi pendanaan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam sistem demokrasi, para calon harus memiliki modal yang banyak agar bisa menang. Sehingga ketika memenangkan pertarungan tersebut, yang diutamakan adalah para pendukungnya baik dari politisi maupun pengusaha. Saat mendahulukan para pemilik modal inilah, maka akan keluar kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi mereka. Sedangkan rakyat, sebagai pemilih hanya bisa gigit jari. Rakyat akan menanggung dari kebijakan penguasa yang sudah dipilihnya.
Calon yang memenangkan perhelatan pilkada biasanya juga bukan calon yang memiliki kemampuan atau kapabilitas. Para pemenang biasanya hanya mengandalkan dana besar yang mereka miliki, ketenaran atau pengaruh jabatan yang dimiliki oleh keluarga. Cara-cara seperti itu dalam sistem saat ini dibolehkan. Lagi-lagi yang diutamakan bukanlah rakyat tetapi keluarga, maupun para pengusaha yang sudah berkorban dana agar ia bisa menang. Jargon dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat hanya sebatas lagunya demokrasi. Agar rakyat tetap menjunjung demokrasi.
Olehnya itu, publik tak perlu heran jika saat ini para penguasa berusaha mencalonkan keluarganya, baik anak, istri, ipar, menantu, keponakan. Yang berkuasa ingin membangun politik dinasti agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan orang lain. Sedangkan partai besar atau partai yang berkuasa akan membangun politik oligarki. Hal ini merupakan keniscayaan dalam sistem ini.
Politik dinasti juga oligarki ini, meskipun mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak tetapi sudah dilegalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga dengan dilegalkannya aturan ini, akan memuluskan penguasa dan partai berkuasa untuk membentuk politik oligarki dan dinasti. Jika sudah seperti itu, akan menghalangi masyarakat untuk memilih calon yang memiliki kapabilitas, bahkan calon yang maju merupakan calon hasil skenario. Sedangkan calon yang bukan berasal dari kelurga, ia harus membayar mahar dan disinilah peluang korupsi akan muncul.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme demokrasi di negeri ini, rakyat tak diprioritaskan sebab uang dan keuntungan lebih menggiurkan.
Islam Hadirkan Pemimpin Dukungan Umat
Walaupun banyak kalangan yang menolak adanya praktek politik dinasti dan oligarki, akan tetapi jika akarnya tidak dicabut maka akan terus mengakar dinegeri ini. Sistem yang mampu menggantikan sistem saat ini hanyalah Islam. Islam adalah agama yang sempurna. Karena Islam sempurna, maka Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah swt (habluminnallah), tetapi hubungan manusia dengan manusia juga diatur. Salah satunya tentang pemilihan pemimpin.
Dalam Islam, seorang calon pemimpin harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh syariat, yaitu muslim, laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan. Pemimpin yang dicalonkan harus memenuhi syarat-syarat tersebut dan mendapat dukungan penuh dari umat. Ini juga harus karena dorongan keimanan bukan yang lain, misalnya karena harta atau kedudukan.
Karena dorongan keimanan dan ketakwaan itulah ketika memegang jabatan, ia akan menjalankannya penuh dengan tanggung jawab dan semata-mata hanya untuk menerapkan aturan dari Allah swt. Ia juga tidak akan melakukan kongkalikong dengan pengusaha untuk memperkaya diri dan keluarganya. Dalam Islam juga, tidak boleh seseorang meminta-minta sebuah jabatan. Sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari ra., ia berkata bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu di antara keduanya berkata,
“Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu.” Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.”
Saat Islam melarang adanya meminta jabatan, politik dinasti dan oligarki tidak ada. Politisi yang amanah, bertanggung jawab; memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas, serta mewujudkan calon pemimpin yang beriman dan bertakwa hanya akan didapat, jika sebuah negara menerapkan aturan Islam.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment