Gencarkan Bahaya Radikalisme, Rezim Tegaskan Anti Islam
Oleh: Mega (Mahasiswi)
Di saat semua ingin memiliki karakter mulia, berahlakul karimah, stigmatisasi terhadap Islam terus digencarkan untuk membungkam kebangkitan Islam. Sebagaimana rezim penguasa tak sungkan-sungkan merangkul berbagai pihak yang dipandang bisa mendukung agenda propaganda radikalisme mulai dari kalangan influencer, aktivis ormas, dan ulama liberal, semuanya di-setting sebagai penolakan Islam kaffah dan Khilafah.
Sertifikasi penceramah yang menuai polemik dari beberapa pihak yakni politisi PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) menganggap klarifikasi Kementerian Agama (Kemenag) soal sertifikasi dai malah menambah kontroversi. Mantan Ketua MPR itu menyarankan agar rencana sertifikasi penceramah sebaiknya dibatalkan saja, di unggah melalui akun Twitternya, Senin (7/9).
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin menegaskan bahwa program yang dicanangkannya bernama Penceramah Bersertifikat, bukan sertifikasi penceramah. “…program ini merupakan arahan dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Tahun ini, target peserta program adalah 8.200 penceramah yang terdiri atas 8.000 penceramah di daerah dan 200 di pusat.
Menurut Kamaruddin, program penceramah bersertifikat didesain melibatkan banyak pihak, di antaranya Lemhanas, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia, dan organisasi masyarakat lainnya. Lemhanas dilibatkan untuk memberikan penguatan pada aspek ketahanan ideologi. Sedangkan BNPT dilibatkan untuk berbagi informasi tentang fenomena yang terjadi di Indonesia dan seluruh dunia. Kehadiran BPIP, kata Kamaruddin, untuk memberi pemahaman tentang Pancasila, hubungan agama dan negara. “Sementara MUI dan ormas keagamaan adalah lembaga otoritatif dalam penguatan di bidang agama,” kata Kamaruddin. (CMBC Indonesia,7/9/2020).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak program penceramah bersertifikat yang digulirkan Kementerian Agama (Kemenag). MUI memandang program tersebut bisa menjadi alat untuk mengawasi kehidupan beragama. "Rencana sertifikasi Da'i/Muballigh dan/atau program Da'i/Muballigh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut," demikian salah satu bunyi pernyataan sikap MUI seperti dilihat detikcom, Selasa (8/9/2020).
Surat pernyataan sikap MUI itu bernomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020. Surat itu diteken oleh Waketum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekjen MUI Anwar Abbas.
Kedok Penghambat Islam
Kebijakan Sebagai leading sector penanganan radikalisme agama, kemenag makin nampak menyerang Islam dan memojokkan pemeluk Islam yang taat syariat. Namun, pada faktanya masih banyak persoalan umat untuk diselesaikan. Bahkan wabah pandemi saat ini makin menunjukan ketidak seriusan rezim dalam memberikan solusi yang hakiki.
Segala upaya untuk menjegal ajaran Islam hanya menjadi kedok penghambat kebangkitan Islam, khilafah bukan ide yang dilarang, namun pelakunya dilarang menjadi ASN, di cap radikal dan dicekoki dengan Islam versi rezim melalui dai bersertifikat. Semua ini menegaskan kebijakan kemenag makin ngawur.
Seharusnya generasi yang dekat dengan ajaran agamalah yang mampu mewujudkan pembangunan bangsa, mampu memberikan penyelesaian dari persoalan kerusakan generasi bangsa akibat paparan liberalisme dan paham barat yang merusak yang memabawa pada jurang kekufuran. Karena sungguh paparan sekulerisme-liberal inilah yang mampu menjauhkan umat dari kemuliaan dan keagungan hanya bahkan tidak memiliki wibawa dan kemandirian yang bahkan menjerat pada penguasaan negara-negara kapitalis.
Agenda deradikalisai hanya kedok menghambat kembali tegaknya Islam. Meski demikian, yang dirasakan umat saat ini berkebalikan bahkan dalam sistem saat inilah berbagai lini sektor kehidupan begitu mencekik, ekonomi nasional semakin defisit, utang semakin menumpuk, kemiskinan bertambah, hingga angka wabah pandemi semakin meningkat dan lingkup persoalan lainnya demi investasi asing terus msuk karena kepentingan elite pemilik modal agar roda ekonomi dn modal merek tetap berputar. Semestinya persoalan wabah pandemi saat ini menjadi objek yang di fokuskan pemeritaah dengan melibatkan fokus kembali kepada hukum allah sebagai peringatan terbaik untuk tidak terterapkannya aturan Islam selama ini.
Disatu sisi umat tetap mengakui Islam sebagai agamanya, namun dalam aspek lain mereka enggan menerapkannya secara menyeluruh (Kaffah). Padahal memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mukmin, siapapun dia, apapun profesinya, dizaman apapun dia hidup, baik pribadi maupun masyarakat, semua termasuk dalam perintah ini. Sebagaimana seruan-Nya dalam surah Al – Baqarah ayat 208: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
Namun, melihat kondisi kaum muslim saat ini, menerapkan Islam secara kaffah menjadi sesuatu yang sulit. Terlebih ketika berhadapan dengan realita umat yang ‘sakit’ akibat Islamophobia. Maka, umat butuh ‘resep’ untuk menghilangkannya. Seperti seruan-seruan dakwah harus selalu dimasifkan untuk memahamkan umat, agar mereka bisa memfilter berbagai macam informasi yang merupakan propaganda untuk menyerang Islam. Maka kembalilah kepada aturan sang pencipta dalam bingkai Khilafah Islam yang sudah terbukti kejayaannya selama 1300 tahun. Agar seluruh umat manusia di dunia bisa hidup selayaknya manusia, agar Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi Islam tapi bagi seluruh umat yang ada di dunia.
Wallahualam bissawab.[*]
Post a Comment