Medis Berduka, Covid Tetap Melanda, Apa Kabar Dunia Kesehatan Kita?
drg. Endartini Kusumastuti (praktisi Kesehatan Masyarakat Kota Kendari)
Enam bulan sejak laporan kasus pertama Covid-19
di Indonesia pada 2 Maret 2020, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sudah
genap 100 dokter yang gugur dalam melawan virus corona jenis baru atau
SARS-CoV-2. (kompas.com, 31/08/2020)
Pasien Corona dengan kasus berat membutuhkan ventilator atau alat bantu napas. Sedangkan pada pasien Corona dengan kasus ringan tidak menggunakan ventilator atau alat bantu napas. Kesediaan tempat tidur juga menjadi hal utama untuk merawat pasien Corona. Para dokter menyatakan semakin banyak pasien maka tempat tidur dan tenaga medis yang dilibatkan juga harus sebanding.
Dari data yang dihimpun oleh Satgas COVID-19, okupansi atau keterisian tempat tidur di rumah sakit, khususnya di DKI Jakarta, terus meningkat. Untuk ruang isolasi, kapasitasnya sudah mencapai 69 persen dan ICU khusus pasien Corona 77 persen. Tentunya kondisi tersebut sangat tidak ideal. Penuhnya tempat tidur di rumah sakit akan menambah beban tenaga medis yang akhirnya berdampak pada kesehatan mereka. Tak sedikit juga akhirnya nakes yang tertular COVID-19 bahkan ada yang meninggal dunia. (cnnindonesia.com, 06/09/2020)
Kesulitan Nakes Melawan COVID19
Sementara itu, informasi mengenai gugurnya para
dokter ini juga disampaikan oleh platform info dan data terkini seputar
Covid-19 di Indonesia dari spektrum sains dan ekosos, Pandemic Talks.
Salah satu inisiatornya, Firdza Radiany mengungkapkan sejumlah penyebab
meninggalnya para dokter itu disebut karena sistem dan kapasitas rumah sakit
yang mulai penuh. Menurutnya, dokter-dokter yang meninggal itu karena kapasitas
RS mulai penuh, occupancy rate nasional mencapai 41 persen. Dan sudah 14
provinsi yang ada di atas rata-rata nasional. Malahan Papua dengan kondisi
terburuk yakni overcapacity 107 persen. (Kompas.com, 31/8/2020).
Occupancy rate adalah ketersediaan tempat tidur rumah sakit
untuk pasien Covid-19. Selain itu, occupancy rate juga merupakan prosentase
jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit dibagi jumlah tempat tidur RS yang
disediakan. Firdza menambahkan, dengan angka-angka occupancy rate itu
menyebabkan penuhnya jam kerja tenaga kesehatan termasuk para dokter.
Di sisi lain, Menteri Kesehatan (Menkes)
Terawan Agus Putranto menuding banyaknya tenaga medis yang gugur tersebut,
lantaran kurang disiplinnya penegakan protokol kesehatan oleh tenaga medis.
Sungguh pernyataan yang sangat tidak berempati terhadap para tenaga medis yang
telah berkorban dalam menangani pasien di rumah sakit.
Sekretaris Tim Audit dan Advokasi Kematian Dokter PB IDI, Dr dr Mahlil Ruby mengatakan, ada beberapa dampak yang ditimbulkan berkaitan dengan meninggalnya seratusan dokter karena Covid-19. Ruby menyampaikan, para dokter yang meninggal bukan hanya dokter yang menangani pasien Covid-19 saja, tetapi juga yang tidak khusus melayani Covid-19.
Oleh karenanya, hal itu merugikan negara karena kehilangan putra-putri terbaik yang dididik belasan tahun untuk menjadi dokter yang handal. Menurut Ruby, investasi pendidikan dokter cukup mahal. Apa lagi banyak dokter yang gugur sebagai super spesialis atau konsultan spesialis. Mendidik seorang dokter sampai menjadi super spesialis butuh waktu 12-15 tahun. Sehingga negara sesungguhnya rugi karena kehilangan tenaga-tenaga profesional untuk melayani rakyat. (Kompas.com, 1/9/2020).
Keselamatan Dunia Kesehatan Hanya Dengan Islam
Pandemi bermula di negeri
ini dan seluruh dunia akibat diabaikannya intervensi nonfarmasi berupa lockdown
areal wabah. Meski intervensi yang disyariatkan Allah SWT ini, yakni lockdown
syar’i, secara riset terbukti menekan pandemi, akan tetapi hingga kini tak
kunjung dilakukan.
Dampak meninggalnya ratusan dokter tersebut
akan bertambah berat dengan pasien Covid-19 yang semakin hari semakin
bertambah. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi sebagian besar
wilayah di Indonesia mengalami hal yang sama dan mengakibatkan berkurangnya
jumlah kamar perawatan.
Rasulullah saw. dan para Khalifah telah
melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi saw. (sebagai kepala Negara
Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw.
mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan
sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Pada masa penerapan Islam sebagai aturan
kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni.
Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap
daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya belum
sembuh tanpa dipungut biaya apapun. Allah SWT telah memberikan tanggung jawab
dan kewenangan penuh kepada Pemerintah/Khalifah untuk mengelola penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk pendidikan kedokteran. Tugas mulia ini tidak boleh dilalaikan
sedikit pun. Apapun alasannya.
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.” Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.
Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F
Nagamia MD, di dunia, rumah sakit yang sebenarnya baru dibangun dan
dikembangkan mulai awal kejayaan Islam dan dikenal dengan sebutan ‘Bimaristan’
atau ‘Maristan’. Rumah sakit, meski baru
tahap awal dan belum bisa benar-benar disebut RS, pertama kali dibangun pada
masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. RS Islam pertama yang
sebenarnya dibangun pada era Khalifah Harun ar-Rasyid (786 M – 809 M). Konsep
pembangunan beberapa RS di Baghdad itu dan pemilihan tempatnya merupakan ide
brilian dari ar-Razi, dokter Muslim terkemuka. Djubair, seorang sejarahwan yang
pernah mengunjungi Baghdad tahun 1184 M, melukiskan bahwa rumah sakit-rumah
sakit itu memiliki bangunan megah dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Kebijakan kesehatan dalam Islam akan
memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan
perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan
kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap
patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk
mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan
perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk
menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya
gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk
bermartabat tetap melekat.
Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus
dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta
hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam
pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk
setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam
peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga,
profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan
amanah.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment