PILKADA DI MASA CORONA, SIAPA BAHAGIA?
(Catatan Diskusi Pamong; Menimbang Pilkada di Masa Corona, 25/07/2020)
Bahagia sekali rasanya, bisa hadir dalam diskusi Webinar yang dilaksanakan oleh Pamong Institute pada akhir Juli, (25/07/20). Diskusi ini dilaksanakan secara on line karena masih di tengah wabah corona. Temanya pun sangat menarik, “Menimbang Pilkada di Masa Corona”.
Hadir para Narasumber, Dr. Herironi, M.Si (Ditjend Otda - Kemendagri), Prof. Dr. Suteki, M.Hum (Guru Besar UNDIP), Dr. M. Rizal Taufikurahman (Ekonomi - INDEF), Ryan Fitra, S.STP (Pamong Institue, Kepala Biro Riau/Camat ), Abdul Malik Salasa, S.STP, M.Si (Korset. Bawaslu Kota Tidore Kepulauan). Penulis sendiri hadir sebagai Keynote Speaker dalam diskusi yang di moderatori oleh Bang Kurniawan, S.STP, M.Sc.
Salah satu bahasan dalam diskusi itu adalah, pilkada untuk menghadirkan Pemimpin yang akan membawa rakyat makin sejahtera. Hal ini tentu niat mulia yang sejalan dengan tujuan kita bernegara sebagaimana termaktub dalam pembukaan konstitusi. Diantaranya; (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dst…
Dengan bahasa sederhana, tujuan kita bernegara adalah mewujudkan masyarakat yang otaknya pintar, badan sehat, kantong tebal. Lebih sederhana lagi; masa kecil gembira, masa muda bahagia dan ketika tua, mati masuk syurga.
Jika masyarakat sudah merasa bahagia seperti itu maka tujuan kita bernegara tercapai sudah. Namun Untuk mencapainya tentu tak mudah. Maka setidaknya kebahagiaan itu bisa diraih dari setiap kebijakan pemerintah yang memang bisa membuat rakyat bahagia.
Lalu bagaimana dengan kebijakan pemerintah tentang pilkada langsung di tengah wabah pandemi ini? Apalagi melibatkan daerah yang begitu banyak. Ada 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada langsung. Bahkan ada lebih seratus juta rakyat yang akan terlibat memilih.
Pertanyaan mendasarnya, apakah rakyat menyambut gembira dan aman dari bahaya wabah corona? Apakah menyambut gegap gempita pesta demokrasi (Pilkada) ditengah wabah Corona kini? Kali ini, Penulis memberikan empat catatan atas diskusi tersebut:
PERTAMA; Pilkada, Pesta demokrasi yang tak disambut bahagia oleh rakyat. Tak ada sambutan gegap gempita dari rakyat. Layaknya sebuah pesta tentu akan dinantikan waktunya dan disambut bahagia oleh para undagan dan tuan rumahnya. Namun suasana menjelang pesta demokrasi yang biayanya sangat mahal itu, nyaris tak ada sambutan gembira dan gegap gempita dari rakyat.
Sebagian besar rakyat sedang dalam suasana duka karena wabah corona. Sebagian warga mereka ada yang sakit menjadi korban virus corona. Bahkan diantara ratusan ribu yang sakit itu sudah ada ribuan yang meninggal. Mungkinkah mereka bisa pura-pura bahagia dengan pesta demokrasi yang bernama pilkada itu?
KEDUA; perspektif ekonomi, apakah dengan pilkada ini membuat pertumbuhan ekonomi negara jadi baik atau bahkan meroket? Di tengah wabah corona ini, nyaris tak ada pertumbuhan ekonomi apalagi berharap tumbuh, meningkat dan meroket. Justru yang terjadi adalah gelombang PHK menghantui para pekerja di berbagai perusahaan. Pendapatan negara tak kunjung membaik. Penerimaan dari Pajak juga tak naik. Apalagi berharap dari pemasukan disektor pariwisata. Nyaris semua sendi ekonomi mengalami nyeri dan lesu.
Impian ekonomi akan meroket entah kapan terjadi. Justru yang di depan mata adalah ancaman krisis kesehatan yang berpotensi memicu krisis ekonomi. Jika tak segera diantisipasi dengan baik krisis itu bisa menimbulkan krisis kepercayaan publik. ini yang mestinya diantisipasi dengan baik.
KETIGA; prespektif Hukum, masih dimungkinkan mengeluarkan berbagai produk hukum bahkan bisa saja mengeluarkan Perppu agar Pilkada ditunda. Atau diubah jadi pilkada tak langsung.
Apalagi tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan Pilkada langsung seperti saat ini. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam pasal tersebut tidak memerintahkan untuk melakukan pilkada langsung. Disana diterangkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Tidak ada perintah untuk pilkada langsung. Artinya boleh melalui musyawarah untuk mufakat, atau melalui perwakilan rakyat yang pernah dipraktekkan dalam UU 5/74 tentang Pemerintahan di Daerah.
Demikian pula dalam Pancasila tidak diperintahkan pilkada langsung. Siapa pun yang mengaku Pancasilais, apalagi yang suka teriak “saya Pancasila” mestinya hafal bunyi Sila ke-4 pancasila : “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Di situ juga jelas tidak ada perintah pilkada langsung.
Pada sila ke 4 itu jelas mengamanahkan pemilihan pemimpin dengan musyawarah dan mufakat. Bukan pemilihan langsung dengan pesta demokrasi yang mahal itu. Lalu, Siapa yang ngajari kita memilih pemimpin dengan cara pilkada langsung seperti sekarang, jika itu tak sesuai Pancasila?
Lantas, atas dasar apa kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan biaya yang super mahal itu? Belum lagi kalau kita bahas pilkada kini juga memilih wakilnya sekaligus. Apakah ada dalam konstitusi?
KEEMPAT, Perspektif Agama. Mekanisme ini mirip dengan model pemilihan Kepala daerah di era Pra-reformasi (masa Orba). Dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD lalu diajukan beberapa nama untuk dipilih oleh kepala negara. Keunggulannya adalah biaya yang sangat murah. Kepala daerah terpilih tidak punya beban besar “Utang” kepada para investor politik seperti saat ini.
Hal ini sejalan dengan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang digelar di Tasikmalaya tahun 2012 lalu yang merekomendasikan kepala daerah akan lebih afdal jika dipilih oleh DPRD provinsi, kota, atau kabupaten. Sedangkan, wakilnya bisa dipilih oleh gubernur, wali kota, atau bupati terpilih. Untuk mengawal jalannya proses pemilihan, DPR bisa membuat RUU yang tegas mengatur secara eksplisit.
Dari segi mudharatnya, menurut MUI, pilkada langsung dalam perpolitikan nasional sering diwarnai praktik kapitalisme dan liberalisme. Pemilik modal kuat sebagai kapitalis tentu mendominasi bursa politik. Akibatnya, rakyat yang memilih pemimpin tak lagi mempertimbangkan kapabilitas, kapasitas, dan integritas si calon kepala daerah.
Demikian juga, pilkada langsung kerap memicu konflik horizontal antar-pendukung calon. Di samping itu, pilkada langsung menghabiskan anggaran dana yang sangat fantastis. Pemborosan uang negara dan dana dari masyarakat sendiri dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tak bermanfaat. Padahal, dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, pemberdayaan, dan kesejahteraan masyarakat. (republika.co.id 16/10/2015).
Rekomendasi MUI tentang pilkada ini mestinya jadi renungan kita bersama. Penunjukan kepala Daerah yang diusulkan Wakil rakyat itu secara filosofis pemerintahan sangatlah logis. Hal itu pernah dipraktekkan dalam sejarah pemerintahan di Madinah oleh para pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW. Model pemilihan kepala daerah mirip di era Pra-reformasi. Dimana Sang kepala negara berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya dengan meminta pendapat Majelis Umat. Kepala negara (khalifah) berwenang mengangkat para kepala Daerah, baik Gubernur (Wali) maupun Kepala Daerah Kab/Kota (Amil). Hal ini didasarkan atas wajibnya mengangkat Kepala Negara dengan metode Bai'at. Selanjutnya Kepala negara yang sudah dibai’at, mendapat Mandat dari rakyat untuk mengurus segala urusannya, bisa mengangkat orang lain untuk membantunya mengurus rakyat.
Walhasil, semua elemen bangsa mesti merenungi kembali, apakah praktek pelaksanaan pilkada kini sudah sesuai dengan tujuan bernegara untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang adil dan makmur. Bukankah masih ada cara pemilihan yang lebih hemat dan menjamin kesejahteraan rakyat?
Lebih jauh dari itu, apakah akan mengantarkan masyarakat pada kebahagiaan hidup di dunia dan bahagia diakhirat kelak. Semoga Allah menjaga kita dan negeri ini dari tangan-tangan jahat yang akan menyesatkan dan merusaknya. Aamiin.
Post a Comment