Saatnya Berantas Korupsi di Indonesia
Oleh : Rima Septiani S.Pd (Relawan Media)
Mengguritanya kasus korupsi di
negeri ini membuat kita cukup prihatin dengan kondisi negeri ini. Indonesia
merupakan salah satu negeri yang memiliki masalah dalam bidang pemberantasan
korupsi. Terbilang lamban dan belum sinergis dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dibuktikan dengan kasus yang sering muncul di permukaan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo resmi
ditetapkan sebagai tersangka terkait perizinan tambak, usaha dan/atau pengelolaan
perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Rabu (25/11).
KPK menduga Edhy menjadi salah satu
pihak penyelenggara negara yang menerima uang terkait ekspor benih telur
lobster. Atas dugaan tersebut, KPK juga menetapkan enam orang lain sebagai
tersangka.(www.cnnindonesia.com/26/11/2020)
Sebelumya
juga, ditemukan kasus korupsi yang dilakukan Romahurmuzy sebagai Ketum parpol berlambang Ka’bah tersebut
kerap bergaya
millenial serta bersikap paling Pancasila dan paling NKRI. Romahurmuzy terkena
OTT terkait kasus jual beli jabatan di jajaran Kementerian Agama. Bahkan kasus
ini terus menyeret nama pejabat lain, termasuk Menteri Agama Lukman Hakim dan
Gubernur Jatim Khofifah Indar pas arawangsa
Polemik Pemberantasan Kasus Korupsi
Praktik
penyalahgunahan
wewenang instansi pemerintahan untuk
kepentingan pribadi masih kerap terjadi di lingkup birokrasi. Sebut saja suap,
kolusi dan korupsi masih menjadi kebiasaan di kalangan para petinggi negara
untuk memuluskan segala kepentingannya.
Wajar jika kita menyaksikan kondisi
ekonomi Indonesia yang begitu runyam dan terus saja mengalami keabnormalan
akibat tikus-tikus nakal yang hadir di lingkup pemerintahan. Mereka yang
seharusnya diamanahkan untuk mengurusi dan mensejahterkan rakyat, justru
menjadi para pengkhianat bangsa dan negara.
Menjamurnya praktik korupsi di Indonesia tidak terlepas dari
seberapa ketat aturan hukum yang diterapkan dalam memberantas tindakan haram
tersebut. Merujuk UU No.30/2002, tindakan korupsi dikategorikan oleh KPK
sebagai kejahatan luar biasa(extraordinary crime) dengan ancaman hukum
luar biasa. Dalam Pasal 2 ayat 1 UU
Tipikor, diterangkan bahwa koruptor mendapat hukuman dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun
serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar, ketika diketahui
terbukti melakukan tindak pidana korupsi.Namun,UU tersebut belum juga menjadi solusi efektif
terhadap kasus korupsi di kehidupan politik Indonesia. Yang jelas, ekonomi
Indonesia masih terpuruk
akibat praktik
korupsi baik di tingkat nasional atau provinsi.
Kelemahan
lainnya yakni belum tuntasnya
reformasi sistem penegakkan hukum di institusi penegak hukum yang ada di
Indonesia. Dalam sejumlah kasus yang terjadi justru malah melibatkan aparatur
penegak hukum itu sendiri.
Mirisnya,
meski penangkapan demi penangkapan terus
dilakukan KPK dan sebagiannya sudah diganjar hukuman penjara, namun kasus
korupsi masih saja menjamur di negeri ini. Sistem hukum yang lemah membuat
praktik haram tersebut dianggap sebagai kewajaran. Sampai-sampai para pejabat yang
kena jerat KPK pun, masih bisa melenggang seraya menebar senyum dan tawa kepada
para awak media. Seakan-akan mereka percaya diri, bahwa semua hasil putusan
hukumnya kelak, bisa diatur dengan uang dan jaringan kekuasaan. Karena pada
faktanya, tidak sedikit para pelaku korupsi yang bebas dari jerat hukum. Atau
jikapun dihukum, hukuman tersebut tak memberikan efek jera bagi para pelaku
korupsi.
Tentu saja
keresahan masyarakat belum terobati, jika tiap tahun kasus korupsi masih terus
ditemukan oleh KPK, rakyat pasti menuntut pemerintah untuk menuntaskan masalah
turun temurun negeri ini. Pemerintah diharapkan mengambil langkah tegas dan
efektif dalam memerangi kasus korupsi yang menggurita.
Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji menilai
masifnya praktik korupsi di Indonesia memang tidak terlepas dari peran birokrat
atau penyelenggara negara. Namun demikian, yang tidak kalah pentingnya juga
tentunya adalah keterlibatan pihak swasta.
Semua
ini menunjukkan ada yang salah terhadap tatanan aturan yang
dijalankan di negeri ini. Sistem yang
berjalan di Indonesia masih banyak yang memberikan peluang terjadinya tindak
pidana korupsi.
Inilah tabiat
sistem demokrasi. Sistem yang menjadi akar penyebab kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan
lainnya. Sesungguhnya sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang tegak
berdasarkan asas sekularisme yaitu paham yang memisahkan peran agama dalam
mengatur tatanan kehidupan. Aturan agama, khususnya agama Islam sangat
diharamkan untuk menjadi sebuah sistem
aturan bagi masyarakat dan bernegara
Untuk itu harus dilakukan pembenahan
terhadap sistem yang diterapkan di negeri ini, sistem sekuler yang jelas-jelas
mengundang kerusakan, tak pantas untuk dipertahankan. Rakyat harusnya sadar,
bahwa solusi pemberantasan korupsi hanya bisa diselesaikan dengan sistem yang
paling tegas komitmennya dalam menangani masalah korupsi.
Islam Solusi Pemberantasan Korupsi
Sistem Islam
adalah sistem yang menjaga umat dari bentuk-bentuk kemaksiatan. Dengan basis
akidah Islam, individu akan dibentuk pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan nilai-nilai islam. Dengan kesadaran seperti ini, umat akan berusaha menghindari
segala bentuk perbuatan haram baik di jajaran penguasa, kelompok masyarakat,
serta individu.
Islam akan
membentuk kehidupan yang bersih dan jauh dari segala bentuk kerusakan, tentunya dengan basis sistem penerapan hukum Islam secara
kaffah. Penerapan syariat Islam secara totalitas sejatinya menjadi bukti
keimanan kita kepada sang Khaliq, olehnya itu ketataan kita kepada Allah SWT
menuntut kita menjalankan kehidupan sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan
berdasarkan hawa nafsu semata.
Islam juga akan
melahirkan sistem politik yang menjamin fungsi negara sebagai pengurus rakyat
akan terlaksana. Selain itu, sistem hukum berbasis aqidah Islam, akan berusaha
menjaga keadilan di tengah masyarakat.Pengadilan Islam tidak pandang bulu dalam menjatuhkan
hukuman kepada siapa pun, meskipun itu kepada jajaran pemerintahan. Asalkan
terbukti salah dan dikuatkan dengan saksi, maka sanksi tersebut akan dijatuhkan
kepada para pelaku maksiat. Bukan hanya memberikan efek jera, namun sistem
sanksi ini diyakini bisa menghapus dosa di hari
akhir kelak .
Dalam
sejarah Islam, Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat.
Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah
seraya berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang
diberikan orang kepadaku…’ lalu Rasulullah bersabda, Seorang pegawai yang kami
pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu,
sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih
baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah
dia diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, salah
seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali
pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…'” (HR
Bukhari-Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.
119).
Menurut
KH.
Hafidz Abdurahman, korupsi ini tidak termasuk mencuri dalam
pengertian syariat, maka kejahatan ini tidak termasuk dalam kategori hudud.
Tetapi, masuk dalam wilayah ta’zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan
kepada ijtihad hakim. Sanksinya bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi,
peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Inilah
konsep Islam dalam memberantas segala bentuk kemaksiatan, termasuk kasus
korupsi. Konsep seperti ini tidak akan lahir dari sistem yang menjauhkan peran
pencipta dalam mengatur kehidupan, seperti sistem demokrasi. Jika
demokrasi telah nyata tak mampu menyelesaikan masalah korupsi, mengapa masih
dipertahankan?
“Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs.
Al-A’raf: 96).
Wallahu 'alam bi shawwab (***)
Post a Comment