Sikap Kritis Dibungkam, Demokrasi kian Suram
Oleh: Sartinah (Relawan Media)
Demokrasi di ambang kritis. Kalimat inilah yang kiranya sesuai untuk menggambarkan kondisi berdemokrasi di negeri ini. Kebebasan yang konon dijunjung tinggi, kini dikebiri. Sejalan dengan kekuasaan yang tak lagi mengayomi, tetapi lebih tampak menghabisi.
Tudingan miring kini juga menghampiri rezim Joko Widodo dimomen satu tahun pemerintahannya yang kedua bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Banyak pihak menilai, rezim saat ini identik dengan zaman Orde Baru di era Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengungkapkan, terdapat tiga indikator yang bisa mengonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan orde baru. Pertama, adanya pembatasan kebebasan sipil. Kedua, pemanfaatan aparat penegak hukum oleh pemerintah untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Ketiga, adanya 'perselingkuhan' antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. (CNN Indonesia, 22/10/2020)
Setali tiga uang, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan tudingan mengidentikkan rezim Jokowi dengan orba tidak mungkin ada jika Jokowi tidak melakukan yang dianggap publik sebagai tindakan otoriter. di antaranya adalah penangkapan sejumlah masyarakat yang mengkritik pemerintah lewat media sosial. (CNN Indonesia, 22/10/2020
Hal ini mengisyaratkan, meski rezim berganti ternyata tidak mengubah kebiasaan penguasa dalam menghadapi kritik publik. Pierre Bourdieu dalam teori filsufnya pun pernah mengungkapkan, reformasi bisa berjalan tanpa mengubah kebiasaan yang pernah terjadi di masa lampau. Artinya, reformasi berjalan tapi kelakuan dan kebiasaan tidak berubah dari masa orba, baik cara korupsi, cara olah negara pun hampir mirip.
Tak ada asap bila tak ada api. Pun. tidak mungkin ada rentetan tudingan miring terhadap rezim saat ini bila tidak ada fakta refresif terpampang di depan mata. Fakta miris tersebut tak ayal kian mengikis keberanian masyarakat untuk menyuarakan pendapat yang hakikatnya dijamin undang-undang.
Lembaga Indikator Politik Indonesia pun turut memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik dengan salah satu variabelnya yakni hak menyatakan pendapat. Hasilnya, 79,6 persen warga makin takut menyuarakan pendapat, 73,8 persen makin sulit berdemonstrasi/menyuarakan pendapat, dan 57,7 persen aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. (Merdeka.com, 25/10/2020)
Sistem demokrasi yang terus diagungkan ternyata hanya melahirkan negara korporasi dan negara polisi (represi). Demikian pula janji manis demokrasi yang konon mewadahi perbedaan, ternyata hanya retorika belaka. Hal ini terbukti dengan banyaknya kritik terhadap pemerintah tetapi akhirnya dibungkam dengan menggunakan banyak standar ganda. Siapa pun yang dianggap mengganggu kepentingan korporasi melalui kritiknya, maka berbagai cara pun dilakukan penguasa untuk menjadikannya bersalah hingga berakhir di jeruji besi.
Demikianlah potret buram sistem demokrasi kapitalis yang menyandarkan pada suara mayoritas. Akal manusia menjadi pijakan untuk menetapkan standar benar dan salah. Demokrasi yang berkedok kerakyatan, nyatanya jauh dari membela kepentingan rakyat. Maka tak heran, kebijakan yang diambil bukan demi kemaslahatan rakyat, melainkan demi kesejahteraan kegelintir kapitalis. Lebih dari itu, karakter antikritik merupakan sebuah keniscayaan dalam demokrasi.
Fakta miris ini jelas bertolak belakang dengan paradigma negara dalam Islam. Negara di bawah naungan Islam tidak alergi kritik. Sebab, kritik termasuk bagian dari syariat Islam, yakni amar makruf nahi mungkar yang telah digambarkan dalam Al-Qur'an:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran [3]: 110)
Bahkan, Rasulullah saw. dengan spesifik menyatakan tentang kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw., seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.'” (HR Imam Ahmad)
Seorang penguasa yang beragama Islam mestinya tidak alergi kritik. Apalagi jika sampai mengkriminalisasi pemberi kritik terhadap segala kebijakan yang berpotensi zalim. Seharusnya kritik dijadikan bahan instropeksi oleh penguasa, bukan justru dianggap sebagai ancaman.
Islam dalam peradabannya yang agung senantiasa memelihara budaya kritik terhadap penguasa. Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dalam menjaga budaya kritik ini, Beliau pun senantiasa menerima kritik terhadap kebijakan yang tidak dituntun wahyu.
Salah satu bentuk kritikan yang disetujui oleh Rasulullah saw. yakni ketika perang Uhud para sahabat menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya. Sikap Rasulullah saw. pun diikuti para khalifah setelah beliau. Khalifah Abu Bakar ra. misalnya, ketika dibaiat menggantikan Rasulullah saw. berkhotbah meminta rakyat untuk mengkritiknya.
Demikianlah, kritikan bukan berarti bentuk kebencian terhadap para penguasa, tetapi merupakan bentuk kepedulian umat dalam menjaga penguasa dari berbagai potensi penyimpangan. Islam menetapkan standar dan batasan yang baku dalam menyikapi perbedaan pandangan antara rakyat dengan penguasa. Pun, tidak ada standar ganda oleh negara dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment