Moderasi: Mendangkalkan Akidah Generasi
Oleh: Husnia (Pemerhati Sosial)
Menempuh pendidikan adalah suatu
keharusan bagi anak dan memahamkan pendidikan merupakan tugas seorang guru. Dalam
pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, melainkan lebih dari itu.
Terciptanya karakter beserta moral adalah puncak keberhasilan dalam pendidikan.
Keserasian antar guru dan siswa akan memberikan pengaruh besar untuk
anak didik. Maka dari itu guru menjadi patokan terpenting dalam tercapainya
pendidikan yang berkualitas apalagi pendidik yang mengajar dalam ranah Sekolah
Islam.
Analis Kepegawaian Kementerian Agama
(Kemenag) Sulsel Andi Syaifullah mengatakan, kebijakan penempatan guru beragama
Kristen di sekolah Islam atau Madrasah sejalan dengan Peraturan Menteri Agama
(PMA) Republik Indonesia. Tentang Pengangkatan Guru Madrasah khususnya pada Bab
VI Pasal 30. PMA Nomor 90 Tahun 2013 telah diperbaharui dengan PMA nomor
60 tahun 2015 dan PMA nomor 66 tahun 2016, dimana pada Bab VI pasal 30
dicantumkan tentang standar kualifikasi umum calon guru madrasah (khususnya
pada poin a), yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Tidak
disebutkan bahwa harus beragama Islam,”
terang Andi Syaifullah, dikutip dari laman resmi Kementerian Agama Sulawesi
Selatan, Sabtu 30 Januari 2021. (SuaraSulsel.id)
Sekularisme Menciptakan
Moderasi
Lebih lanjut, Kemenag Sulsel Andi
Syaifullah memaparkan, “Kan guru non Muslim yang
ditempatkan di madrasah ini akan mengajarkan mata pelajaran umum, bukan
pelajaran agama. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu
manifestasi dari moderasi beragama, dimana islam tidak menjadi ekslusif bagi
agama lainnya,” dilansir idtodaynews dari
Suara, Sabtu (30/1). Menurutnya dengan seperti ini, akan menghilangkan moderasi
agama yakni sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak
radikal (tatharruf) terhadap agama.
Memposisikan agama berdasarkan keadaan, bukan sebaliknya.
Hal senada
disampaikan oleh Eti Kurniawati Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) alumni Geografi
Universitas Negeri Makassar (UNM) beragama kristen mengatakan, akan berusaha melangkah
sesuai dengan kaidah agamanya yang juga menghargai perbedaan keyakinan orang
lain. Menjalankan agama dengan biasa-biasa saja tanpa fanatik terhadap
masing-masing penganutnya. Eti pun mengatakan, “Contohnya, karena lingkungan tempatku nanti semua pada pakai
jilbab, maka saya harus beradaptasi dengan menggunakan baju lengan panjang dan
rok panjang pula.”
Harus dipahami, moderasi membawa pengaruh
buruk dalam pendidikan anak, peluang guru non Muslim mengajar di sekolah Islam semakin
terbuka lebar yang berakibat pada pola sikap anak yang tak diliputi aturan
agama dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari. Sebab, sekolah Islam diciptakan
bukan hanya ingin mencetak generasi berkompeten yang memiliki ilmu pengetahuan
yang luas akan tetapi orientasinya adalah mempunyai akhlaqul karimah, bermoral baik
serta membangun adab bertingkah laku karena anak tak serta merta menerima ilmu
dari teori belaka, namun anak akan belajar dari bagaimana guru bersikap yang
baik menurut akidah Islam sehingga tiruan yang dilakukan anak adalah yang tepat
untuk dilakukan.
Hal ini dibenarkan oleh ustadz Adian
Husaini, Peneliti Islam yang berfokus pada pendidikan mengatakan, "Tujuan pendidikan dalam Islam adalah melahirkan manusia
yang beradab (insan adaby) atau manusia yang baik (good man).” Maka dari itu pendidikan
berorientasi kepada sikap anak bukan tinggi rendahnya ilmu yang didapat.
Generasi yang minim pola sikap sesuai
kaidah islam membawa anak pada kehancuran moral, munculnya rasa tidak saling
menghargai karena pendidikannya yang tinggi, keangkuhan serta masa bodoh dalam
bersikap. Inilah bahaya Moderisasi agama bukan hanya memberikan izin kepada
pengajar non Muslim untuk mengajar di sekolah Islam, akan tetapi membuat anak semakin jauh
dari aturan agama selama berada di lingkungan sosial.
Moderasi lahir dari sistem
Kapitalisme-Sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) yang menganggap aturan Islam hanya
berlaku di area mata pelajaran agama saja sedangkan studi umum tak perlu melibatkan sikap Islam selama
menempuh materi tersebut. Sehingga dengan sistem ini tak mampu mewujudkan
peserta didik berilmu tinggi serta berakhlak baik karena tabiatnya sistem ini
bersifat memisahkan agama dan kehidupan pula. Alhasil, mustahil menciptakan kesempurnaan
moral dalam pendidikan anak.
Islam
Menghapus Moderasi dan Menjamin Akidah Generasi
Moderasi bukanlah produk dari Islam
sebab Islam tidak pernah melebihkan aturan di dalamnya, Islam pun tak
membolehkan tawar-menawar terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh sang
pencipta. Aturannya paten, tak akan berubah walau zaman berkembang pesat. Di
lingkup akidah, moderasi beragama berusaha mengompromikan akidah Islam dengan
akidah selain Islam.
Di tataran syariat, menginginkan bisa
mengambil jalan tengah syariat Islam dengan syariat selain Islam. Dengan demikian, yang
dihasilkan jelas bukan Islam yang sebenarnya, melainkan Islam setengah-setengah, Islam yang dipilih untuk
mewujudkan sikap toleransi antarbudaya dan/atau antaragama di daerah
multikultural.
Sama halnya seperti kasus penempatan guru non Muslim
di sekolah Islam atas nama moderasi, merupakan proses pendangkalan akidah
generasi sebab yang diajarkan bukanlah berlandaskan Islam dalam keseharian,
sebab agama Islam memandang pendidikan lebih dari sekedar mencetak manusia
pintar secara nalar dan nilai akademik saja tetapi mestinya pendidikan juga
sanggup melahirkan pribadi yang baik dan beradab terpuji.
Meskipun mengajarkan mata pelajaran
umum, akan
tetapi tidak akan terlepas dari pemisahan agama dari kehidupan sehingga anak hanya
akan memahami
bahwa label Islam hanya ditempatkan pada mata pelajaran fiqih, Bahasa Arab,
hadits dan sebagainya yang berbaur agama akan tetapi dalam hal lain/perihal
umum agama tidak perlu mengambil peran dalam
kehidupan sehari-hari.
Kasus seperti inilah yang akan
mengantarkan anak kepada krisis moral dan etika, yang akan membawa kepada
kehancuran keyakinan dalam pendidikannya. Akidah yang dibangun tidak lagi
berdasarkan aturan Islam sehingga anak akan terus melakukan sesuatu tanpa
disertai iman yang kuat. Sebagai kaum Muslim, tentu tidak akan membiarkan
keterpurukan akidah ini terus berlanjut menimpa turunan selanjutnya, tali
rantai dari pemikiran sekularisme haruslah dibasmi sampai keakarnya agar dapat
menciptakan ummat terbaik, memiliki akidah yang kokoh serta berilmu tinggi.
Oleh sebab itu, kembalilah kepada Islam
yang mempunyai tata kelola pendidikan unik yang menghasilkan generasi terbaik
nan mulia. Layaknya seperti Ibnu Sina, tak hanya mumpuni dalam bidang kesehatan
namun juga kepribadian Islam serta akidah yang kuat menyatu dalam jiwanya. Wallahu a'lam bish showwab (***)
Post a Comment