Malapetaka Umat Islam dalam 100 Tahun Tanpa Khilafah
Oleh: Mustika Lestari (Pemerhati Sosial)
Saat
ini kaum Muslimin telah kehilangan Islam sebagai sistem peradaban, dengan ketiadaan Khilafah sejak
diruntuhkan di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tanggal 3 Maret 1924 M (28 Rajab 1342 H). Jika menggunakan hitungan
kalender Hijriah, maka di tahun ini (2021 M/1442 H) keruntuhan itu telah genap
100 tahun.
Dilansir
dari tintasiyasi.com (14/2), dalam
mengenang 100 tahun keruntuhan Khilafah Utsmaniyah, Aktivis Muslim Inggris
Mazhar Khan mengatakan bahwa umat Islam kini menjadi pengungsi dan orang asing
di tanah sendiri. “Di dunia ini, maksud
saya hampir seluruh negeri Muslim terlah terjadi kerusakan. Umat Islam telah
menjadi pengungsi dan orang asing di tanah sendiri, di negeri sendiri,”
ungkapnya dalam acara bertajuk 100 Years
Since The End of The Utsmani Khilafah, Senin (8/2/2021) di laman Facebook Salaamedia Radio Afrika Selatan.
Menurutnya,
fakta itu terjadi hampir di seluruh negeri Muslim dan merupakan kerusakan yang
terjadi di tubuh umat akibat kejatuhannya 100 tahun yang lalu. “Kita bisa saksikan fakta itu seperti yang
terjadi di Suriah. Pemerintah Suriah memerangi rakyatnya sendiri dan
menjadikannya musuh,” tambahnya. Ia juga menegaskan, kondisi kerusakan
internal umat Islam bukan hanya di Suriah, tetapi juga di berbagai belahan
dunia. Menurutnya, apa yang menimpa umat Islam seperti dijajah dan dibantai
karena tidak ada pemimpin kaum Muslim hari ini yang benar-benar peduli.
Umat Islam Kehilangan Benteng Terakhir
Dalam
catatan sejarah, sebelum keruntuhannya dunia Islam memiliki sebuah institusi
politik yang sangat gemilang dan berwibawa, yaitu Khilafah Islamiyah yang
berjaya lebih dari 13 abad lamanya dengan wilayah kekuasaan hingga 2/3 belahan
dunia, mencakup seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika dan Asia Tengah; di
sebelah Timur sampai ke Negeri Cina; di sebelah Barat sampai ke Andalusia
(Spanyol), Selatan Prancis serta Eropa Timur sampai seluruh kepulauan di Laut Tengah.
Kejayaan
itu mendapatkan tempat istimewa dari kawan maupun lawan karena kegemilangan
yang pernah dimilikinya. Dunia melihat betapa kekhilafahan Islam merupakan
kekuatan dahsyat yang dapat bertahan sedemikian lama, kekuasaan sedemikian luas
serta segudang kemajuan yang pernah diraihnya. Salah satu sorotan, jatuh pada
pengakuan terhadap hubungan antara dunia Muslim dan Barat sebagaimana
disampaikan pasca serangan 9/11 pada 11 September 2001 silam, di World Trade
Center dan Pentagon New York. Luar biasa menakjubkan adalah pidato yang
diberikan oleh pengusaha wanita dan sejarawan Carly Fiorina, CEO
Hewlett-Packarad Corporation saat itu.
Pada
pertemuan seluruh manajer perusahaan tersebut di seluruh dunia, tepatnya 26
September 2001, Carly Fiorina menyampaikan: “Pernah
ada suatu peradaban yang merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban itu
mampu menciptakan negara super-benua yang membentang dari laut ke laut, dan
dari iklim utara ke daerah tropis dan gurun. Di dalam dominasinya hidup ratusan juta orang, dari berbagai
kepercayaan dan etnis. Salah satu bahasanya menjadi bahasa universal sebagian
besar dunia, jembatan antara rakyat di ratusan negeri. Pasukannya terdiri dari
orang-orang dari banyak negara, dan perlindungan militernya memungkinkan tingkat
kedamaian dan kemakmuran yang belum pernah diketahui sebelumnya. Jangkauan
perdagangan peradaban ini meluas dari Amerika Latin ke Cina, dan dimanapun di
antara keduanya...”
“Sementara peradaban
Barat modern memiliki banyak ciri-ciri ini, peradaban yang saya bicarakan
adalah dunia Islam dari tahun 800 hingga 1600, yang meliputi Kekaisaran Ottoman
dan pengadilan Baghdad, Damaskus dan Kairo serta para penguasa yang tercerahkan
seperti Suleyman yang agung...”(Al Hassani ST.2012. 1001 Inventions: The Enduring
Legacy of Muslim Civilization)
Inilah pidato yang disampaikan oleh
Carly Fiorina, sebuah cuplikan sejarah yang benar adanya tentang peradaban
Islam yang yang pernah tegak dan mencapai puncak kegemilangan peradaban
manusia, tentu saja bukan hanya diakui oleh Muslim, bahkan oleh Barat
sekalipun. Dan setelah Khilafah Utsmaniyah itu runtuh, barulah peradaban
gemilang tersebut lenyap.
Kini,
sudah 100 tahun tragedi itu terjadi (1342 H-1442 H), dan kehancuran institusi Khilafah adalah sebuah episode sejarah umat Islam
yang paling tragis, memilukan dan menyakitkan. Betapa tidak, pasca kejadian itu
terjadilah
malapetaka yang tak berkesudahan sampai saat ini, umat Islam kehilangan jati
diri “bagaikan ayam yang kehilangan
induknya, bahkan tidak punya rumah pula.” Umat Islam yang dahulu bersatu di
bawah penerapan syariat Islam secara total dengan al-Qur’an sebagai dasar
negara, kini berada dalam perpecahan yang luar biasa menyedihkan. Umat Islam
yang dahulu disegani dan dihormati, saat ini tidak lebih menjadi target
penjajahan dan penjarahan oleh imperialis Barat.
Hancurnya kekhilafahn Islam telah menghancurkan pula sebagian besar hukum
Allah di muka bumi. Saat ini, syariat Islam nyaris musnah dari realitas
kehidupan dimana Islam hanya dijadikan sebagai ibadah ritual semata, sementara
yang lain mengadopsi hukum jajanan Barat. Akibatnya,
manusia beralih menggunakan sistem fasad (rusak), sistem yang penuh dengan
kontradiksi, konflik kepentingan dan pragmatisme yang menyebabkan kaum Muslim
menjadi terbelakang, terjajah, menjadi umat yang bergantung pada asing dan
banyak lagi duka nestapa lainnya.
Ironis!
Tatkala Suriah, Uighur, Palestina, Rohingya dan negeri-negeri Muslim lainnya
masih dijajah oleh rezim biadab negara-negara imperialis Barat, negeri Muslim
yang lain seperti Arab Saudi, Turki, Pakistan dan sebagainya hingga Indonesia
alih-alih menjadi pembela dan pengurus kepentingan mereka, negeri-negeri ini
malah sibuk dengan urusan perpolitikan sekular di dalam negerinya yang sangat
menguras waktu dan energi, korup, penuh konflik, serta jauh dari syariah Islam.
Jiwa ukhuwah mereka dipasung oleh sistem pemerintahan dan politik yang
diagungkan saat ini, yaitu kapitalisme-sekularisme-nasionalisme dan beragam
paham kufur lainnya. Alhasil, mewujudkan kemaslahatan bagi saudara seakidahnya
dipandang sebagai perkara yang tidak berguna. Mereka lebih memilih berpelukan
mesra dengan para penjajah demi sekeping uang logam dan tumpukan utang untuk
kepentingan tampuk jabatan.
Pada
situasi yang bersamaan, imprealisme Barat terus menyerang seluruh negeri negeri
Muslim. Mereka (umat Islam) secara politik diadu domba melalui sistem
demokrasi. Semua berlomba untuk berkuasa, tapi bukan untuk melayani rakyat, melainkan
menjadi penghianat dengan melayani pesta pora kerakusan kaum Kapitalis/pemodal.
Mereka melegalisasi penjajahan gaya baru dengan mengadopsi sistem ekonomi
neoliberalisme-kapitalistik dan merestui penjarahan seluruh Sumber Daya Alam
(SDA) milik umat kepada penjajah asing. Hari ini, kaum Muslimin sekadar mendapatkan
jatah berupa pemandangan dengan tatapan putus asa atas Sumber Daya Alam yang
diperas habis-habisan oleh para kapitalis. Akhirnya, umat Islam seperti
pengemis di negeri sendiri dengan mengais rezeki atas belas kasihan mereka
(Kapitalis Barat).
Di
sisi lain, kondisi perempuan semakin memprihatinkan. Jangan dulu berbicara jauh
membahas potensi besar nan menggiurkan atas pemberdayaan perempuan di sektor
ekonomi dan politik, sebab di balik semua itu kaum hawa hanya dipandang sebagai
komoditi yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pundi-pundi keuntungan demi
wacana ramah investasi. Tak ubahnya sebuah barang, kaum perempuan digiring
untuk mengikuti gaya hidup kafir Barat yang rusak atas nama kebebasan dan
feminis (kesetaraan gender). Aurat mereka diumbar hingga kekerasan demi
kekerasan kerap terjadi tanpa adanya payung hukum dari penguasa. Bak anak
tangga, grafiknya terus merangkak tahun demi tahun, seperti kekerasan fisik,
kekerasan seksual, hingga pembunuhan yang bukan hanya terjadi di ranah publik,
melainkan juga ranah privat. Meski setiap tahun dunia selalu memperingati hari
anti kekerasan terhadap perempuan demi melayani penyelamatan hidup bagi mereka,
fakta di lapangan setelah peringatan itu kasus terus menanjak naik.
Sungguh
pilunya kita yang masih memiliki nurani menyaksikan semua ini. Tentu suatu
kebenaran, jika sajian fakta di atas hanyalah sebagian kecil dari beragam
nestapa kehidupan lainnya akibat penerapan sistem buatan manusia yang penuh
dengan ambisi. Tanpa Khilafah, darah dan kehormatan kaum Muslimin begitu rendah
lagi murah. Kaum Muslimin tak mempunyai perisai, pelindung yang membentengi
setiap jiwa dari kedzaliman para Musuh Islam. Akan tetapi, jika melihat
kerusakan yang sudah mengakar ini justru mengindikasikan bahwa sistem jualan Kafir
Barat tengah berada dalam nafas-nafas terakhirnya, maka jangan sampai pena
sejarah mencatat umat Islam menambah umur sistem itu dengan memberikan
loyalitas kepada mereka.
Cukup
sudah! Kiranya bukti nyata penderitaan umat selama 1 abad ini cukup bagi kita
untuk tidak berdiam diri dalam iming-iming kenikmatan semu duniawi dari
orang-orang Kafir itu. Umat Islam tidak lagi memiliki kekuatan, yang pada
akhirnya hanya menjadi “makanan” yang
kerubuti para pemangsa yang lapar dan rakus. Karena itu, solusi bagi
problematika yang melanda dunia Islam adalah dengan membuang sistem rusak
buatan manusia, lalu menggantinya dengan Islam, kemudian umat wajib bersatu
dalam kesatuan politik global untuk menyelesaikan problematika kehidupan yang
telah mendarah daging.
Tegaknya Kembali Khilafah Adalah Solusi Bagi Semesta
Islam merupakan ad-Din sekaligus
ideologi jika diterapkan secara keseluruhan dalam pengurusan setiap aspek
kehidupan manusia. Termasuk dalam menghadapi problema kehidupan saat ini, maka
umat wajib bersatu padu dan berpegang teguh pada syariat di bawah naungan
sistemnya (Khilafah) sebagai perwujudan kekuasaan hakiki untuk solusi yang akan
menuntaskan penderitaan umat. Dalam konteks empat mazhab Ahlus Sunnah,
Abdurrahman al-Jaziri (1941 M) menyimpulkan, “Para imam mazhab yang empat (Iman Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan
Ahmad) rahimahumullah, telah sepakat bahwa imamah (Khilafah) itu fardhu dan
bahwa kaum Muslimin itu harus mempunyai seorang imam (Khalifah) yang akan
menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yan tertindas dari kejahatan
orang dzalim.” (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 5/416)
Dalam
hal ini Allah pun sudah mengabarkan kepada kita, bahwa Dia tidak menciptakan
manusia kecuali sebagai Khalifah di bumi, sebagaimana firman-Nya: “Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 30), untuk tujuan memakmurkan bumi dengan menegakkan
aturan-Nya. Kewajiban pertamanya adalah mengemban risalah (agama) Allah Subhanahu wa ta’ala yang ditujukan untuk
seluruh umat manusia sebab mereka diperintahkan untuk melaksanakan aturan-Nya
di bumi. Namun, hal ini hanya dapat dilakukan dengan mendelegasikan pada salah
satu dari mereka untuk menegakkan hukum (aturan) Allah, yaitu Khalifah di
dalam sistem Khilafah. Mereka adalah
para kepala penjaga (aturan) Allah, dimana dengan mereka ini semua urusan
diatur berdasarkan aturan (syariah) Allah dan ketaatan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Keberadaan
Khilafah di masa dahulu pun telah teruji dalam kurun waktu lebih dari 13 abad
membersamai umat, yang senantiasa selaras dengan perkembangan dan kemajuan
zaman, karena Sang Pencipta dan pemilik kehidupan ini telah merancang demikian.
Dengan Khilafah, persatuan dan keharmonisan di antara manusia terjaga,
kehormatan dan darah mereka terlindungi serta kesejahteraan mereka terjamin.
Maka,
rusaknya kondisi umat ini disebabkan ketiadaan perwujudan kekuasaan hakiki yang
menopangnya (Khilafah). Memang benar, untuk mewujudkannya kembali tidaklah
mudah. Akan tetapi, kita meyakini bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil
terjadi. Karena itu, Allah Subhanahu wa
ta’ala mengingatkan, “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai..” (Q.S. Ali-Imran: 103).
Dalam menegakkan kembalikekuasaan umat ini, diperlukan persatuan yang sangat kuat. Persatuan ini seperti adanya kelompok politik yang ideologis. Artinya, diperlukan kelompok dakwah yang berjamaah, tidak bisa sendirian. Namun, kolompok ini harus memiliki kriteria yang mencakup matang secara politik dan ideologis. Matang secara politik artinya mampu membina kesadaran masyarakat, mampu membangun opini publik dengan opini Islam, mampu membongkar makar negara kafir imperialis terhadap umat Islam serta membangun opini publik bahwa Khilafah itu perlu dan wajib disertai persiapan konsep yang rinci dan komprensif. Maka, problem dunia ini hanya bisa diselesaikan dengan cara Islam yang khas, yaitu tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Wallahu a’lam bi showwab. (***)
Post a Comment