Mutasi Guru di Muna: Harapan Kesejahteraan Tinggal Ilusi
Oleh: Mustika Lestari (Pemerhati Sosial)
Guru
merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, suatu gelar mulia yang disematkan kepada
guru sebagai sosok berjasa bagi kita, ujung tombak generasi tunas bangsa ini. Perjuangan
dan pengorbanannya begitu besar, untuk satu visi mulia yakni mencerdaskan anak
bangsa. Namun, apa jadinya jika abdi mereka kontras dengan jaminan hak
kesejahteraan atasnya. Ini sebagaimana telah terjadi mutasi massal terhadap 222
orang guru di Kabupaten Muna, hingga mendapat sorotan dari Ketua Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Tenggara, Abdul Halim Momo. Ia merasa heran
dan prihatin atas apa yang dialami oleh ratusan guru di Muna. Halim menilai,
mutasi yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia (BKPSDM) Muna merupakan perzaliman terhadap guru. “Jelas-jelas ini penzaliman. Guru itu bukan seperti pegawai biasa yang
lain, apalagi perpindahan mencapai 222 orang, ini baru terjadi,” ujarnya,
Senin (22/3/2021).
Halim mengatakan, apakah ada jaminan
guru-guru yang dimutasi dapat mengajar 24 jam seminggu untuk mendapatkan
sertifikasi. Bila tidak, maka itu penzaliman. Ia mengaku telah menerima aduan
guru yang kena mutasi, beberapa guru dipindahkan pada sekolah dengan guru mata
pelajaran yang sama. Tentunya ini dipastikan tidak mencukupi jam mengajar 24
jam per minggunya. Ia juga menjelaskan, jika guru itu adalah pejabat
fungsional, untuk dipindahkan perlu pertimbangan-pertimbangan lain, harus ada
analisis kebutuhan. Pertanyaannya, apakah BKPSDM melakukan itu. “Kemungkinan besar mutasi itu melanggar
aturan. Jadi dia (guru) tidak sesuka hatinya dipindahkan, harus ada analisis
kebutuhan,” tambahnya. (https://detiksultra.com,
22/3/2021).
Minimnya Perhatian Pemerintah
Sebelumnya,
salah seorang guru yang dimutasi, SR mengatakan bahwa mutasi yang dilakukan BKPSDM
menciderai hak-hak guru, sebab tidak didasari pertimbangan guru atau
sewenang-wenang terhadap guru. “Bayangkan
saja guru-guru yang dipindahkan harus menempuh jarak 50-85 km, jauh dari tempat
semula dan kondisi itu dapat merugikan peserta didik. Apalagi, saat ini
menghadapi ujian sekolah,” terang SR.
Sementara,
Kepala BKPSDM Muna Sukarman Loke mengatakan, mutasi yang dilakukan pihaknya
telah sesuai aturan dan sumpah ASN. Seorang ASN dapat dipindahkan dimana saja
di wilayah Indonesia atas kemauan sendiri dan perintah pimpinan dalam rangka
penyegaran dan menutup kekurangan. Menurutnya, mutasi ini juga tidak berdampak
pada ujian sekolah sebab tidak ada korelasinya. “Sudah ada tim yang dibentuk untuk menangani proses ujian sekolah.
Guru-guru kan tidak kosong, tetap ada di sekolah-sekolah, tidak ada masalah,” ujar
Sukarman. (penasultra.id, 20/3/2021)
Namun,
pembelaan Kepala BKPSDM Muna itu mendapat tanggapan berbeda dari Ketua Forum
Solidaritas Guru (FSG) Kabupaten Muna Hajirun, ketika melakukan pengaduan di Kantor
DPRD Kabupaten muna (23/3/2021). Ia menilai bahwa langkah ini sangat merugikan.
Di samping itu, mutasi itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Dimana dalam pasal 28 ayat 1 menyatakan,
bahwa guru yang diangkat oleh pemerintah dapat dipindahtugaskan antar provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan maupun satuan pendidikan dengan alasan karena
kebutuhan satuan pendidikan dan promosi.
“Jadi aturan itu jelas,
bahwa tidak ada kebutuhan, karena sudah teratur dan didistribusi dengan baik
kebutuhan guru. Saya tidak mendapat jawaban, jadi apa yang dilakukan BKPSDM
adalah menyalahi aturan atau kesewenangan,”
katanya.
Ia
menambahkan, di dalam Juknis kesepakatan lima Menteri penetapan guru yang harus
dipindahkan didasarkan pada pertimbangan: Pertama,
pemenuhan kebutuhan guru dalam rangka peningkatan mutu pendidikan berdasarkan
penilaian kinerja. Kedua, pemenuhan
tatap muka mengajar minimal 24 jam per minggu di sekolah tujuan. Ketiga, maksimal jarak, kemudian waktu
tempuh dan akses dari tempat tinggal ke tempat mutasi satuan pendidikan yang baru.
Hajirun menilai, pemindahtugasan tersebut tidak diketahui dan tanpa sepengetahuan
sebagian guru, apa yang menjadi dasar pemikiran pemerintah melakukan mutasi
karena dampak terbesar akan dirasakan siswa dan orang tua murid. (Sultrakini.com, 23/3/2021)
Tentu,
kejadian ini sangat memilukan hati bagi orang yang masih memiliki nurani, sebab
kita memahami bahwa profesi guru sangatlah istimewa, dedikasi mereka terhadap
negara seakan tak pernah lekang oleh waktu. Melalui sosok guru, Allah Subhanahu wa ta’ala karuniakan ilmu
sebagai perantara manusia menuju kebaikan dan kesuksesan dunia dan akhiat. Tentu
saja, karunia ini bukan hanya sekadar ‘label,’
melainkan benar-benar dipertanggungjawabkannya dengan mengorbankan pikiran,
waktu dan energi yang luar biasa. Tujuannya, tidak lain untuk membagikan ilmu kepada
anak-anak tentang makna kehidupan agar tumbuh menjadi generasi yang beriman,
berakhlak serta cakap, demi membangun dan memajukan karakter bangsa. Seyogyanya
gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”
berganti menjadi “pahlawan dengan jasa
terbesar” mengingat pengorbanannya dalam mengabdi untuk umat ini nyaris tak
bisa terbalaskan dengan apapun.
Namun
sungguh miris, apabila jasa guru yang besar tidak sebanding dengan hasil yang mereka
dapatkan. Seorang guru juga manusia yang membutuhkan apa yang seharusnya ia
peroleh dalam menjalankan amanahnya, semisal jaminan kesejahteraan dan
kemakmuran dari manusia yang menyebut dirinya “wakil rakyat,” yang akan bekerja untuk rakyat. Sayangnya, fakta
yang tersaji di hadapan kita justru ketidakpedulian kepada rakyat, sebagaimana
terjadi pada nasib ratusan guru di Muna yang harus menelan pil pahit karena dimutasi
secara tidak prosedural. Apalagi tidak
disertai dengan solusi yang bisa meringankan beban hidup guru, dimana kadangkala
profesi menuntut untuk bekerja maksimalis, sementara gajinya minimalis jika
menggunakan tolok ukur kebutuhan masyarakat. Hal ini mengonfirmasi kepada kita
bahwa betapa jaminan kesejahteraan, kemakmuran dan sejenisnya bagi guru sangatlah
jauh dari kata ‘ideal.’ Bentuk
perlakuan pemerintah pada mereka justru menampakkan gagal totalnya mereka dalam
mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja (guru) sekaligus tidak serius
mengurusi urusan rakyat.
Bukan
rahasia lagi, bangsa Indonesia sebagai menganut sistem Kapitalisme yang berasaskan
materialistik, memang meniscayakan lahirnya manusia yang melakukan segalanya atas
dasar untung meski rakyatnya harus buntung. Lagi-lagi sistem fasad (rusak) yang satu ini tidak mampu
memberi solusi atas jeritan para guru, melainkan nasib buruk berupa perlakuan
semena-mena sebagai balasan jasa mereka. Semakin nampak kerusakan itu dengan hadirnya
kebijakan-kebijakan zalim, nihil solusi, yang kian membuat masyarakat bingung
dengan alur berpikir pemerintah negeri ini, baik itu pemerintah pusat hingga
daerah. Pemerintah nampak amnesia atau ‘pura-pura
amnesia,’ bahwa bangsa ini juga
besar berkat peran guru yang berjuang sampai batas kemampuannya dalam
membangun karakter terbaik bangsa. Namun ironis, kedudukan guru sebagai
pengabdi umat dalam naungan Kapitalisme tidak lebih dari manusia yang dianggap
remeh-temeh dan minim perhatian, yang entah sampai kapan kesejahteraannya akan
tercapai.
Jaminan Kesejahteraan Guru dalam Islam
Di
dalam Islam, menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim sejak dalam buaian
hingga ke liang lahat. Sebagaimana di dalam hadits: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim,” (HR. Ibnu Majah).Dalam
Hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Belajarlah
kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta
berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu,” (HR. Tabrani). Di dalam
al-Qur’an Allah juga berfirman: “...Niscaya
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan di
antara orang-orang yang beilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan,” (Q.s Al-Mujadalah [58]: 11).
Dari
sini, Islam memuliakan kedudukan guru sebagai perantara ilmu kepada manusia, karena
merekalah yang memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, akhlak mulia serta
perilaku teladan menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, sebagai penghargaan
Islam kepada sosok guru, pemimpin (Islam) bertanggungjawab penuh atas jaminan
kesejahteraan guru bahkan seluruh rakyat. Kesejahteraan kehidupan diukur dari
terjamin atau tidaknya kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, akses
pendidikan dan kesehatan secara menyeluruh, bukan “yang penting cukup.”
Dalam
bidang pendidikan, kita akan terpesona mendapati catatan sejarah bagaimana kehidupan guru mendapatkan
penghargaan yang tinggi dari negara (Islam) termasuk di dalamnya pemberian gaji
yang melampui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh
ad-Dimasyqi, dar al-Wadl-iah bin Atha, bahwa orang guru di Madinah yang
mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji 15 dinar (1 dinar =
4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas, bila saat ini harga 1 gram emas
Rp.500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu sebesar 31.875.000/ bulannya. (m.voa.Islam)
Selain
mendapatkan gaji yang besar, guru juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses
sarana dan prasarana guna meningkatkan profesioanalitas mengajarnya. Hal ini
tentu akan membuat guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan
pencetak generasi gemilang dan mulia. Sebab, pemimpin dalam Islam berfungsi
sebagai pengurus segala urusan umat, termasuk kebutuhan guru secara total. Olehnya
itu, kesejahteraan itu hanya akan terwujud jika kita mengambil sistem Islam
yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang amanah sebagai bentuk ketakwaannya
kepada Allah. Wallahu a’lam bi showwab.
Post a Comment