Kebijakan Buka Tutup Wisata, Bikin Rakyat Dilema
Oleh: Sri Indriyani (Pegiat Opini Kolaka Utara)
Pulang kampung atau mudik sudah menjadi tradisi tahunan bagi umat muslim di Indonesia. Yakni ketika perayaan hari besar umat muslim, seperti Idul Fitri. Kembali ke kampung merayakan idul fitri bersama keluarga, menjadi momen bahagia sekaligus pelepas rindu setalah berbulan-bulan. Namun sayang tahun ini masyarakat harus membatalkan niat untuk itu.
Dilansir dari laman Kompas.com (16/5/21) bahwa pemerintah resmi memberlakukan larangan mudik mulai tanggal 6-17 Mei 2021. Kebijakan ini ditetapkan untuk mencegah penyebaran virus corona. Dituliskan bahwa mudik yang merupakan mobilitas manusia dalam jumlah besar dikhawatirkan dapat menjadi media penularan virus corona dalam skala masif. Namun sangat disayangkan, disaat yang sama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan malah membuat kebijakan yang kontradiktif dimana tempat wisata malah dibuka, yang sangat jelas menimbulkan kerumunan. Walhasil, banyak masyarakat yang mendatangi tempat-tempat wisata seusai Hari Raya Idul Fitri.
Dikutip juga dari laman Sindonews.com (16/5/21), sejumlah tempat wisata terpantau penuh sesak oleh pengunjung, yang tak menjaga jarak, dan bahkan tak mengenakan masker. Misalnya tempat wisata TMI Pantai Ancol, TMII, dan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Di Pantai Ancol pengunjung diperkirakan mencapai 39 ribu orang.
Pemerintah seolah tidak bisa memprediksi membludaknya pengunjung akibat dibukanya tempat wisata. Padahal tempat wisata juga dapat memicu sebuah kerumunan massa. Dengan alasan bahwa agar masyarakat bisa menghidur diri, setelah dilarangnya mudik. Namun yang ada malah kesehatan dan ekonomi masyarakat terancam. Kesehatan masyarakat menjadi terancam dikarenakan, tempat wisata pun dapat memicu sebuah kerumunan dan bisa saja menjadi kluster baru Covid-19. Dari segi ekonomi terlihat ketika pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan secara tiba-tiba agar menutup kembali tempat wisata.
Bagaimana Pandangan Islam?
Setiap kebijakan dalam sistem demokrasi kapitalisme memang didesain untuk memuluskan segala kepentingan pemilik kekuasaan serta pemodal (pelaku usaha/bisnis). Hal ini mudah dipahami oleh publik dengan melihat berbagai kebijakan yang diputuskan untuk rakyat. Seolah memihak kepentingan rakyat, tapi ternyata tidak demikian. Hitung-hitungan yang dilakukan dipertimbangkan atas untung atau rugi, bagi pemerintah juga para kapitalis. Wajar jika terjadi kebijakan yang inkonsisten.
Lagi-lagi, rakyat yang jadi korban. Inilah pentingnya bagi siapa pun yang memimpin rakyat untuk memiliki kemampuan memutuskan suatu kebijakan tanpa meninggalkan kesulitan bagi rakyatnya; Bukan malah melakukan kebijakan coba-coba asal jadi, yang penting pemasukan pemerintah terus berjalan tapi keselamatan rakyat terancam dan ekonomi mereka dirugikan. Sangat berbeda dengan pemimpin dalam Islam.
Dan adapun segala kebutuhan pokok masyarakat dalam wilayah tersebut sepenuhnya ditanggung oleh Negara. Namun sayang dalam sistem kapitalis, dimana untung rugi menjadi prioritas dalam mengambil kebijakan. Akhirnya kerapkali terdapat kebijakan yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat. Misalnya pada kebijakan pembukaan tempat wisata ditengah pandemi saat ini. Pemerintah hanya menimbang pemasukan pemerintah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan kepentingan usaha pariwisata. Pemerintah berharap dengan dibukanya destinasi wisata akan mampu memulihkan perekonomian melalui sektor wisata. Maka, penyelesaian masalah para pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalisme justru terus memproduksi masalah baru tanpa menyelesaikan masalah sebelumnya. Mereka mengandalkan pemasukan dari pariwisata, tapi akhirnya mengancam keselamatan rakyat, alih-alih berpikir mengelola SDA dengan baik sesuai tuntunan Islam untuk menyejahterakan rakyat.
Karena, Islam telah mengaitkan wisata dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di antaranya adalah untuk beribadah. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641).
Nabi saw. mengaitkan wisata dengan tujuan yang agung dan mulia, yaitu untuk berjihad sebagai bagian dari beribadah kepada Allah SWT. Kemudian wisata untuk berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam. Itulah tugas para nabi dan rasul, dan dilanjutkan para sahabatnya yang telah menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk mengajarkan Islam kepada manusia. Maka, tugas itu pun dilanjutkan oleh umat-umat setelahnya. Kita pun diingatkan dengan sebuah video almarhum Ustaz Tengku Zulkarnain beberapa waktu yang lalu yang cukup viral, di mana beliau mengatakan bahwa wisatanya umat Islam adalah dengan dakwah.
Berwisata juga bisa dimanfaatkan untuk tadabur alam, merenungkan keindahan alam ciptaan Allah Swt. untuk menguatkan keimanan kepada Allah dan memotivasi kita untuk memperbanyak ibadah kepada-Nya. Allah Swt. Berfirman,“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran [3]: 3).
Demikianlah Islam telah menetapkan bagaimana berwisata bisa meraih berbagai tujuan mulia. Sehingga Islam akan mengatur bagaimana agar wisata ini tetap dalam koridor syariat, tetap menjaga takwa baik selama diperjalanan maupun saat di tempat wisata. Oleh karenanya, rakyat membutuhkan segera pemimpin yang tak plinplan dalam setiap kebijakannya, pemimpin yang mengedepankan keselamatan dan kemaslahatan rakyat, bukannya sibuk penuhi kantong-kantong para kapitalis. Maka, rakyat butuh pemimpin yang menjalankan sistem negara yang terbukti mampu menyejahterakan rakyat. Pemimpin tersebut hanya akan lahir dari rahim Islam, dan satu-satunya sistem negara yang bisa mewujudkannya ialah sistem Islam yakni Khilafah. Demikianlah, wisata akan mengantarkan pada takwa hanya ketika Islam diterapkan secara totalitas dalam institusi Khilafah Islamiah. Wallahualam.(*)
Post a Comment