Sihir Tabagh
Oleh: Sunarwan Asuhadi (Ketua MASIKA ICMI Orda Wakatobi)
Prolog
31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau World No Tobacco Day (WNTD) adalah satu dari delapan hari kesehatan masyarakat global yang ditandai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
World No Tobacco Day masuk dalam daftar hari kesehatan masyarakat global oleh WHO untuk menarik perhatian pada beban kematian yang dapat dicegah dan penyakit yang berhubungan dengan penggunaan tembakau dan nikotin.
Sejarah Hari Tanpa Tembakau Sedunia ini adalah untuk menginformasikan kepada publik tentang bahaya penggunaan tembakau. Negara-negara Anggota WHO menetapkan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada tahun 1987 untuk menarik perhatian global terhadap epidemi tembakau dan kematian serta penyakit yang dapat dicegah yang ditimbulkannya.
Tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021 adalah Commit to quit atau berkomitmen untuk berhenti. Saat ini, tembakau menyebabkan 8 juta kematian setiap tahunnya. Bukti yang dirilis menunjukkan bahwa perokok lebih mungkin mengembangkan penyakit parah dengan COVID-19 dibandingkan non-perokok.
Tulisan ini tidak untuk masuk pada perdebatan halal haram rokok, oleh karena para ulama juga mengalami keterbelahan fikih dalam mengambil kesimpulan hukum mengenai merokok.
Tembakau dalam Perspektif Ulama
Ahmad Sarwat, Lc., MA (Pengasuh Rumah Fiqih) dalam suatu ulasannya mengungkapkan posisi para ulama pada hukum tembakau.
Para ulama yang mengharamkan, yakni: (1) Asy-Syeikh Asy-Syurunbulali (w. 1069 H), Al-Masiri, Al-Hashkafi (w. 1088 H), dan Syeikh Abdurrahman Al-Imadi (w. 1051 H) dari Mazhab Al-Hanafiyah; (2) Salim As-Sanhuri (w. 1015 H), Ibrahim Al-Laqqani (w. 1041 H) dan Muhammad bin Abdul Karim Al-Fakkun, dari Mazhab Al-Malikiyah; (3) Al-Qalyubi (w. 1069 H), Ibnu 'Alan (w. 1057 H) dan Najmuddin Al-Ghazzi (w. 1061 H) dari Mazhab Asy-Syafi'iyah, serta (4) Syeikh Ahmad Al-Buhuty (w. 1051 H) dari Mazhab Al-Hanabilah.
Para ulama ini mengharamkannya, dengan alasan bahwa tembakau itu dianggap muskir alias memabukkan. Sehingga hukumnya diqiyaskan kepada khamar.
Sementara itu para ulama yang memakruhkan, yakni: (1) Ibnu Abdin (w. 1252 H), Abu As-Su'ud (w. 982 H) dan Al-Laknawi (w. 1304 H) dari Al-Hanafiyah; (2) Syeikh Yusuf Ash-Shafti (w. 1193 H) dari kalangan Al-Malikiyah; (3) Asy-Syarwani (w. 1289 H) dari kalangan Asy-Syafi'iyah, dan (4) Ar-Rahibani (w. 1243 H) dan Ahmad bin Muhammad Al-Manqur At-Tamimi (w. 1125 H) dari kalangan Al-Hanabilah.
Umumnya yang dijadikan landasan atas kemakruhan tembakau karena baunya yang kurang sedap. Sehingga secara umum mereka memakruhkan kalau ada orang yang melakukannya, bahkan seluruh ulama sepakat melarang penghisap tembakau untuk masuk masjid.
Sedangkan para ulama yang berpendapat menghalalkan tembakau adalah: (1) Abdul Ghani An-Nablusy (w. 1143 H), Al-Hashkafi (w. 1088 H) dan Al-Hamawi (w. 1056 H) dari Al-Hanafiyah; (2) Ali Al-Ajhuri (w. 1066 H), Ad-Dasuqi (w. 1230 H), Ash-Shawi (w. 1241 H), Al-Amir (w. 1232 H), dan Muhammad bin Ali bin Al-Husain (w. 1114 H) dari Al-Malikiyah; (3) Ar-Rasyidi (w. 1096 H), Asy-Syubramalisi (w. 1087 H), Al-Babili (w. 1077 H) dari Asy-Syafi'iyah; dan Mar'i Al-Karimi (w. 1033 H) dari kalangan Al-Hanabilah. Termasuk ulama sekelas Al-Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) yang menghalalkan tembakau.
Bahaya Rokok
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, dr Lily S. Sulistyowati, MM, mengatakan bahwa jika ada pendapat yang mengatakan merokok itu bermanfaat, maka itu hanyalah penyangkalan (denying) saja. Bukti dari bermacam-macam studi sudah jelas tentang bahaya rokok. Faktanya tiga penyakit katastropik seperti stroke, penyakit jantung koroner, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOP) sebagian besar terjadi pada perokok. Persentase penderita itu 80 persen ke atas adalah perokok (www.health.detik.com, 27/01/2017).
Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), dari RSUP Persahabatan mengatakan apa yang disebut 'manfaat' dari konsumsi rokok ini kemungkinan adalah karena efek stimulus nikotin. Ketika rokok dihisap dan nikotin masuk ke otak maka ia akan merangsang tubuh menciptakan efek seperti menekan nafsu makan, stres, dan meningkatkan konsentrasi.
Hanya saja dampak buruknya yang akan terjadi nanti juga lebih besar. Selain dari peningkatan risiko berbagai penyakit, efek stimulus akan berbalik menjadi gejala negatif. Contohnya seperti mudah marah, rasa nyeri, dan tidak nyaman bila konsumsi nikotin dihentikan.
Industri Rokok dan Keberpihakan Negara: Dilema Kapitalisme
Sejauh ini, negara memandang bahwa rokok bukanlah sesuatu yang sifatnya darurat, Untuk itu, keberlanjutannya diserahkan ke mekanisme pasar. Sepanjang ada demand maka akan ada supply, tergantung hukum pasar.
Demikanlah dilema Kapitalisme.
Apatah lagi, keberadaan rokok sejauh ini menjadi napas tambahan bagi negara, www.komunitaskretek.or.id (24/04/2017) menyebutkan setidaknya 3 keistimewaan rokok bagi negara, yakni: (1) pendapatan negara dari sektor rokok besar, (2) sektor rokok dikuasai oleh negara, dan (3) menyerap tenaga kerja yang besar.
Mantan Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin pernah mengatakan, industri rokok merupakan salah satu industri penyumbang pendapatan negara terbesar. Bahkan, jika dibandingkan dengan minyak dan gas bumi (migas), devisa negara dari industri rokok jauh lebih besar.
Misal pada 2016, pendapatan negara hanya dari cukai rokok saja sebesar Rp 137 Triliun (Seratus Tiga Puluh Tujuh Triliun Rupiah). Dari pajak pertambahan nilai berdasarkan golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) jumlahnya hampir Rp 20 Triliun (Dua Puluh Triliun Rupiah).
Dalam setiap keuntungan satu batang rokok, sekitar 70% sudah diberikan kepada negara. Jadi ketika perokok membeli sebatang rokok terdapat komponen Cukai, PPN, dan PDRD yang menjadi pendapatan negara.
Adapun persentase dari setiap komponen tersebut pada tahun ini, yakni 57 persen untuk cukai rokok berdasarkan Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007, PPN sebesar 9,1 persen, dan PDRD sebesar 10 persen.
Dengan demikian, secara kepemilikan sektor rokok dimiliki oleh swasta, tapi pada praktek penguasaan keuntungannya dikuasai lebih besar oleh negara.
Sementara itu pada aspek penyerapan tenaga kerja, sektor rokok menyerap Tenaga Kerja yang Besar. Jumlah tenaga kerja untuk industri rokok secara keseluruhan melibatkan sebanyak 6,1 juta orang.
Budaya Rokok dan Solusi Parsial
Beberapa negara yang mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok (www.detikHealth.com, 25/7/2012), yakni: Indonesia, Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Suriah, dan Mesir. Kendatipun demikian, 60% perokok dunia tinggal di negara-negara berkembang. Tiongkok memproduksi dan mengkonsumsi sekitar sepertiga rokok dunia.
Adapun 10 negara dengan warga perokok berat di dunia menurut www.ValueWalk.com dalam satuan batang/tahun per orang dewasa adalah Suriah (2.291), Rusia (2.295), Jordan (2.306), Republik Ceko (2.427), Belgia (2.440), Albania (2.491), Makedonia (2.784), Belarus (2.911), Luksemburg (6.330), dan Andora (6.398).
Sejauh ini opini tentang rokok, termasuk rilis hasil riset menunjukkan bahwa rokok menjadi komoditas yang tidak dianjurkan pemanfaatannya. Namun, sebaliknya dalam kenyataannya, rokok masih menjadi komoditas primadona, baik dalam konteks pribadi maupun korporasi dan negara.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI), dr Widyastuti Soerojo, MSC, mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir jumlah perokok pemula di Indonesia meningkat hingga 240 persen (www.health.detik.com, 13/02/2020).
Data Kementerian Perindustrian, menyebutkan industri rokok nasional memproduksi 357 miliar batang pada 2019 atau tumbuh 6,62 persen secara tahunan. Namun, produksi rokok pada Januari-September 2020 secara nasional telah anjlok hingga 20 persen secara tahunan.
Sementara itu, produksi rokok diramalkan akan turun lagi pada 2021 seiring dengan penaikan cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 12,5 persen. Beban pabrikan semakin berat setelah tahun ini menghadapi kenaikan cukai sekaligus harga jual eceran.
Kenaikan tarif cukai tembakau tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau tersebut, konon merupakan keprihatinan terhadap anak-anak yang menjadi konsumen rokok.
Salah satu kasus efek kecanduan rokok, telah menyebabkan seorang bocah 12 tahun membunuh ibunya sendiri di Yunjiang, Cina. Alasannya ketahuan mencuri lalu membunuh ibunya yang melarangnya (www.suara.com, 02/12/2018).
Sayangnya, kebijakan menaikkan Tarif Cukai Hasil Tembakau tersebut mengancam keberlangsungan hidup petani yang juga menghidupi anak-anak dan keluarganya. Belum lagi ancaman terhadap lapangan kerja yang demikian besar.
Jadilah simalakama yang sulit diurai ujung-pangkalnya.
Masa Depan Budaya Rokok: Suatu Perspektif Islam
Dalam berbagai sudut pandang, jika menimbang urgensitas merokok, akan nampak bahwa aspek mudaratnya lebih besar daripada aspek manfaatnya. Oleh karena itu, dalam perspektif sistem kepemimpinan Islam akan berorientasi pada pembatasan pemanfaatan tembakau untuk kepentingan bahan baku rokok.
Industri rokok dapat mengalami pengetatan produksi, bahkan pelarangan sama sekali. Lalu bagaimana dengan nasib para tenaga kerja? Tentu saja harus dialihkan kepada industri lain yang produktif dengan produk-produk yang tidak hanya halal, tapi juga thoyyib (baik) dan berkah.
Bagaimana dengan para perokok? Bukankah hukum merokok masuk wilayah ikhtilaf?
Negara tentu saja bisa mengadopsi satu pendapat fikih untuk menjadi kebijakannya. Untuk kebutuhan para perokok secara individu, dapat dipenuhi dengan cara menyiapkan sendiri dan mengkonsumsinya di area-area tertentu yang tidak berhubungan dengan publik.
Dan bagaimana dengan sumber-sumber pemasukan negara?
Islam mensyariatkan setidaknya ada Dua Belas sumber pemasukan negara, yakni: (1) Anfal, ghanimah, fai dan khumus; (2) Kharaj; (3) Jizyah; (4) Bermacam-macam harta milik umum; (5) Harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, dan pendapatannya; (6) Harta usyur, (7) Harta tidak sah para penguasa dan pengawai negara, harta kerja yang tidak diijinkan syara', serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya; (8) Khumus barang temuan dan barang tambang; (9) Harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; (10) Harta orang-orang murtad; (11) Pajak (dlaribah), dan Harta zakat.
Dengan demikian ambiguitas antara cita-cita global akan pentingnya pengurangan dan penghentian ketergantungan terhadap rokok dengan kenyataan yang menunjukkan trend perokok yang semakin meningkat, dapat segera dihentikan.
Sehingga tema semacam Commit to quit yang dipublikasikan oleh WHO bukan sekedar isapan jempol belaka, tetapi benar-benar dapat direalisasikan. Kesulitan besar global dalam melepaskan diri dari sihir tabagh (tembakau) selama ini adalah sistem politik-nya sendiri (baca: demokrasi) yang serba boleh, dan selalu berpihak pada azas dan syahwat materialisme. []
Post a Comment