Matahari Pranata Mangsa
Oleh: Sunarwan Asuhadi*)
Viral di Media Sosial. Sebuah video yang menyebut bahwa matahari terbit di Utara.
Video tersebut dari Jeneponto, Sulawesi Selatan dan diunggah oleh seorang guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Binanamu Jeneponto, Kamis (17/6/2021).
Sontak saja menghebohkan, salah satunya dinarasikan menjadi liar, misalnya dihubung-hubungkan dengan hari kiamat.
Apatah lagi pada saat yang sama fenomena alam mengalami beberapa anomali. Fenomena iklim global La Nina yang terjadi sejak Oktober 2020 diprediksi membuat musim hujan yang terjadi di Indonesia akan berlangsung cukup panjang.
Selain itu, analisis anomali suhu muka laut Samudera Pasifik bagian tengah menunjukan kondisi lebih dingin minus 1.34 derajat Celcius dari suhu normal.
Pihak LAPAN segera memberikan tanggapan. Bahkan BMKG tak sungkan-sungkan mengatakan kalau matahari terbit di Utara merupakan fenomena yang sudah diajarkan pada pelajaran Geografi sejak SMP.
Fakta kepanikan ini menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat kita telah tergerus cukup dalam.
Kenapa demikian?
Oleh karena fenomena tersebut telah digunakan sebagai bagian dari kalender musim sejak 165 tahun yang lalu, tepatnya pada 22 Juni 1856.
Adalah Raden Mas Malikis Solikin yang disebut Sri Susuhunan Pakubuwana VII yang memerintah Kasunanan Surakarta tahun 1830 – 1858 memperkenalkan penggunaan kalender musim.
Ia naik tahta setelah menggantikan keponakannya, yaitu Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII dinilai relatif damai dibandingkan dengan masa raja-raja sebelumya. Tidak ada bangsawan yang memberontak besar-besaran secara fisik setelah Pangeran Diponegoro. Jika pun ada hanyalah pemberontakan kecil yang tidak mengganggu stabilitas keraton.
Pada masa pemerintahannya, kegiatan sastra tumbuh secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta.
Penggunaan kalender musim versi Kasunanan pada masa Pakubuwana VII dimaksudkan juga menjadi pedoman kerja bagi petani dan pihak-pihak terkait dengan produksi pertanian.
Kalender musim tersebut berisi pembagian musim dalam 12 musim yang diuraikan secara lengkap antara lain meliputi waktu hujan, angin, serangga, penyakit, dan sebagainya, dimana tanggal 21 Juni merupakan saat permulaan musim ke-I yang merupakan awal dari siklus 12 musim tersebut.
Dengan demikian bulan Juni merupakan bulan yang penting bagi masyarakat pertanian. Kegiatan panen berbagai komoditi pertanian seperti kopi, cengkeh, lada, dan sebagainya pada umumnya dilaksanakan sekitar bulan Juni-Juli.
Tanggal 21 Juni tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Krida Pertanian yang selalu diperingati oleh masyarakat pertanian yaitu para petani, peternak, pegawai, dan pengusaha yang bergerak di sektor pertanian.
Penetapan tanggal 21 Juni sebagai Hari Krida Pertanian didasarkan atas pertimbangan astronomis.
Pada tanggal tersebut matahari yang memberikan energi kehidupan bagi tumbuhan, hewan dan manusia, berada pada garis balik utara (23,50 lintang utara). Waktu tersebut terkait dengan pergantian iklim yang seirama dengan perubahan - perubahan usaha kegiatan pertanian.
Dengan demikian terbitnya matahari dari arah Utara memiliki korelasi dengan Hari Krida Pertanian ini.
Apa korelasinya?
Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG menjelaskan peristiwa itu terkait dengan gerak semu tahunan matahari (GSTM).
GSTM sendiri disebabkan revolusi bumi, yaitu gerak putar bumi pada orbitnya mengelilingi Matahari. Namun, poros Bumi ketika mengelilingi Matahari tidak tegak lurus, melainkan miring 23,5 derajat.
Tahun ini, kita memasuki Hari Krida Pertanian tahun ke-49. Peringatan Hari Krida Pertanian biasanya dilakukan dengan berbagai macam acara, seperti: upacara, event-event pertanian, dan juga acara sosial seperti berbagi hasil bumi.
Konsep kalender musim yang diperkenalkan oleh Sunan Pakubuwana VII disebut dengan Pranata Mangsa, yang sampai kini masih dianut petani di wilayah Mataraman hingga diperkenalkannya program intensifikasi pertanian di awal 1970-an.
Saat ini, kalender musim yang termaktub dalam pranata mangsa sebagian pihak menganggapnya sudah kurang relevan, mengingat sudah tersedia teknologi prakiraan cuaca.
Namun, Pranata Mangsa dalam bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Walaupun Pranata Mangsa dianggap sudah "usang", namun tetap dianggap penting sebagai pedoman bagi petani/nelayan mengingat fungsinya sebagai penghubung petani/nelayan dengan lingkungan.
Terbukti, fenomena matahari pranata mangsa tidak lagi dikenal oleh masyarakat kita, akibat adanya kepincangan terhadap kemampuan masyarakat menggunakan media sosial dengan kemampuan masyarakat memahami gejala alam.
Oleh karena itu, modifikasi Pranata Mangsa menjadi sangat penting, salah satunya untuk menjaga relevansi pengetahuan masyarakat terkait alam dengan pemanfaatan berbagai teknologi terkini.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk memodifikasi pranata mangsa dengan memanfaatkan informasi-informasi baru makin relevan untuk dilakukan.
Di bidang penangkapan ikan telah dilakukan upaya untuk menggunakan kalender semacam pranata mangsa sebagai pedoman bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.
Informasi ini berguna, misalnya, untuk menentukan kelaikan penangkapan serta musim-musim jenis tangkapan.
Di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani.
Apatah lagi dalam beberapa tahun terakhir ini, terjadi sejumlah anomali terkait pengetahuan masyarakat terhadap alam sendiri. Seringkali prakiraan masyarakat mulai berkurang akurasinya.
Prakiraan Musim Kemarau 2021 pada 342 Zona Musim (ZOM) di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah diprakirakan mengalami Awal Musim Kemarau 2021 pada kisaran bulan Mei dan Juni 2021 sebanyak 198 ZOM atau 57,9% dari 342 ZOM.
Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1981- 2010), awal musim kemarau 2021 di sebagian besar daerah yaitu 197 ZOM (57,6%) diprakirakan mundur terhadap rata-ratanya, sedangkan wilayah lainnya diprakirakan sama terhadap rata-ratanya 97 ZOM (28,4%) dan maju terhadap rata-ratanya sebanyak 48 ZOM (14,0%).
Sifat hujan selama musim kemarau 2021 di sebagian besar daerah yakni sebanyak 182 ZOM (53,2%) diprakirakan Normal, sedangkan wilayah lainnya Atas Normal sebanyak 119 ZOM (34,8%) dan diprakirakan Bawah Normal sebanyak 41 ZOM (12,0%).
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksikan bahwa 58 persen wilayah Zona Musim (ZOM) Indonesia akan terlambat memasuki Musim Kemarau 2021.
Prakiraan Musim ini penting, di antaranya untuk membantu mempersiapkan antisipasi dan mitigasi bencana. Walaupun, kadangkala faktor-faktor iklim dan cuaca digunakan untuk beralibi mengenai hukuman Allah SWT.
Seringkali bencana yang menimpa negeri ini: banjir, tsunami, tanah longsor, kebakaran hutan, dan semisalnya, dianggap sebagai peristiwa tunggal, yang tidak berkaitan dengan hukuman Allah SWT.
Padahal dalam QS. Ar–Rum: 41, Allah SWT telah mengingatkan kita;
“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Oleh karena itu, salah satu kebutuhan masyarakat kita adalah meningkatkan literasinya, baik dalam memaknai ayat-ayat kauniyah (alam) maupun qauliyah (syari’at Allah SWT).
Dan ini hanya bisa dicapai dengan sistem literasi yang didesain memasukkan pemahaman langit (baca: syariat Allah SWT) sebagai basis pencerdasan warga negara.[]
*) Ketua MASIKA ICMI Orda Wakatobi
Post a Comment