Dalam Jerat Kezaliman
Sistem Kapitalis-Demokrasi belakangan ini semakin menelan rakyat dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan penguasa, bahkan sebenarnya sejak dulu dinilai sangat represif dan menekan keberlangsungan hidup manusia. Tanpa terkecuali di Indonesia. Padahal sistem negeri ini dipandang sebagai model pemerintahan demokratis abad ke-20, setelah peralihan masa The Dark Age, awal-awal kemunculan ideologi Kapitalisme-Sekular. Realitas membuktikan justru banyak kalangan kecil terkekang oleh kebijakan-kebijakan serapah.
PPKM Darurat misalnya, meskipun diselenggarakan demi kesehatan dan keselamatan masyarakat, namun sejatinya penguasa tengah berlepas diri dari tanggungjawab yang dibebankan di pundaknya. PPKM Darurat sama halnya karantina wilayah, sehingga pengalihan tugas ini diserahkan kepada pemerintah daerah.
Sekiranya, sebelum memutuskan PPKM Darurat, pemerintah lebih dulu menyiapkan strategi operasional mengenai distribusi kebutuhan pokok dan progres alokasi secara teknisnya selama karantina. Sehingga selama PPKM berlangsung, masyarakat terhindar dari pikiran was-was karena sudah memiliki persiapan selama berada di rumah. Namun, alangkah zalimnya keputusan ini, PPKM Darurat diterapkan dengan model tangan besi dan memaksa rakyat berdiam di rumah, tak boleh mencari nafkah, sementara rakyat dilanda rasa takut akan kondisi kelaparan.
Di sisi lain, kebijakan tebang pilih pun tak lepas dari akarnya. Saat masyarakat diminta untuk berdiam diri di rumah, pemerintah malah membolehkan TKA China bebas 'nyelonong' masuk ke Indonesia tanpa penanganan lebih lanjut. Pengurus utama PPKM sendiri yang mengatakan bahwa TKA China boleh masuk ke Indonesia asal dilakukan prokes ketat.
Mirisnya, rakyat tak memperoleh perlakuan sama atau adil sebagaimana pemerintah mengizinkan TKA China mengadu nasib di negeri ini, boleh mencari nafkah dan sebagainya. Akan tetapi untuk rakyat sendiri malah dikekang dan dipaksa karantina mandiri.
Secara sistemik Demokrasi melahirkan kebijakan pro-kapitalis yang dibentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal. Rakyat adalah ladang kapitalisasi, sedangkan pemilik modal merupakan korporatnya.
Pasalnya, sistem ini sejak dini telah cacat, sebab menuhankan keputusan manusia. Maka berpotensi zalim terhadap rakyat, demi meraup ongkos perut kapitalis.
Sikap mereka jauh berbeda dengan para Khalifah di masa lalu. Bagi para Khalifah, jabatan adalah amanah. Sebab jabatan dan kekuasan benar-benar diperuntukkan guna menunaikan apa saja yang menjadi hak rakyatnya. Bagi mereka martabat dan kehormatan justru berasal dari ketakwaan. Salah satu ketakwaan terwujud melalui sikap amanah dalam mengurus kepentingan rakyat, bukan pada nuansa kemewahan. Apalagi kepentingan pribadi.
Sehingga output kebijakan senantiasa mengarah pada maslahat umat seluruhnya. Tidak ditaruh terbalik yang tak sesuai porsi, dimana rakyat dibelenggu sedang pemilik modal dibiarkan bebas melalang buana mencari nafkah untuk keluarganya.
Demikian juga Thariqah atas Fikrah Islam. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Para Khalifah memanjakan kepentingan umat, sebab perintah kekuasaan merupakan amanah Allah Swt. dan berbasis syariat. Bilamana bergeser sejengkal pun dari asasnya, maka mereka akan berhadapan dengan Allah Swt dipengadilan akhirat.
Dalam Darul Islam, hubungan spritual senantiasa terjaga. Tidak hanya itu, hubungan manusia dengan manusia serta akhlaknya menyatu dalam koridor syariat. Yakni melaju sesuai ketakwaan individu, masyarakat dan negara.
Realitas itu divisualisasikan dalam sejarah pemerintahan khalifah di masa lalu. Imam as-Suyuti menuturkan dalam Tarikh al-Khulafa' tentang kisah kesederhanaan Amirul Mukminin. Namun dibalik kesederhanaan itu, para khalifah kaum muslimin memiliki 'track record' dan prestasi yang luar biasa hingga hari ini masih menjadi buah bibir. Mereka memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan Islam dan Khilafah Islamiyah memimpin dunia selama berabad-abad lamanya dengan segala keagungan dan kemuliaannya.[]
Post a Comment