Hakikat Dari Sebuah Wabah
Muqaddimah
Virus Sars Cov-2, atau yang dikenal dengan Covid-19, adalah virus yang dahsyat, virus ini telah menjadi momok yang sangat menakutkan. Pasalnya virus ini sangat mematikan, dan telah menelan banyak korban jiwa.
Saat ini belum ada upaya yang real untuk memutus mata rantai penyebaran virus dan menghentikan laju angka korban jiwa, tetapi yang ada adalah hanyalah upaya pencegahan-pencegahan saja.
Sama halnya dengan Covid-19, wabah yang pernah menelan korban jiwa ratusan, bahkan sampai ribuan jiwa pernah terjadi di masa Khilafah Islam, ia adalah penyakit taun.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa penyakit mematikan ini berupa pembengkakan bernanah di ketiak, bagian belakang telinga, ujung hidung, ataupun bagian tubuh yang lunak lainnya. Gejalanya menimbulkan rasa haus dan sakit yang luar biasa hingga korban menemui ajalnya.
Wabah taun yang cukup besar adalah dizaman Khalifah Umar bin Khattab RA, hingga kemudian terulang lagi di masa Kekhilafahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Disaat tak ada satupun teknologi yang dapat mengungkap penyakit wabah yang mematikan, bagaimana penanganan wabah mematikan seperti ini, Dizaman Kekhalifahan dahulu.
Sungguh selalu ada titik gelap, yang para ilmuwan tidak tahu solusinya apa. Jangankan solusinya, terkadang mereka tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Karena itulah Allah ingin menyisakan sesuatu di semesta ini, titik gelap yang tidak dipahami oleh para ilmuwan, agar mereka sadar bahwa manusia itu memiliki keterbatasan.
Sehebat apapun manusia itu, ia tetaplah makhluk, dan itu artinya ada sang Khalik yang menciptakan semua. Karenanya kesadaran bahwa manusia itu memiliki keterbatasan, lemah dan serba kurang harus senantiasa ada dibenak kita sebagai manusia.
Sebagaimana ungkapan yang disebutkan oleh Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah:
أن الأشياء التي يدركها العقل هي الإنسان والحياة والكون، هذه الأشياء محدودة، فهي عاجزة وناقصة ومحتاجة إلى غيرها
"Bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi tiga unsur, yaitu manusia, kehidupan, dan alam semesta. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, maka ia lemah, serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain". (Nizhamul Islam, hal. 5 - 6).
Karena itulah sebagai manusia, maka kita harus mengintropeksi diri kita masing-masing. Istilah "Muhasabah An-Nafs" (koreksi diri), itu maknanya adalah ia mengoreksi dirinya sendiri, bukan mengoreksi orang lain.
Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab RA "Haasibu anfusakum" (Hitunglah dirimu). Bukan malah sibuk menghitung orang lain, akan tetapi hitunglah diri sendiri. Disitulah fungsi kita memuhasabah diri sendiri agar masing-masing kita sadar akan kelalaian dan dosa yang kita lakukan.
Dan tentu dibalik itu semua kita berharap ada solusi yang lebih baik dan lebih cepat dibandingkan dengan solusi-solusi yang lain, karena tidak susah bagi Allah yang telah menghadirkan penyakit, maka Dia pulalah yang menurunkan obatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
ما أنزل الله داء، إلا قد أنزل له شفاء، علمه من علمه، وجهله من جهله
"Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya. Itu diketahui oleh orang yang berilmu, dan tidak diketahui oleh orang yang tidak memiliki ilmunya". (HR. Ahmad).
Wabah Taun Pada Masa Khilafah Abbasiyah
Dalam kitab "Bidaayah wa An-nihaayah" Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa riwayat, bahwa pada tahun 478 H, terjadi wabah taun di Irak, Hijaz dan Syam. Wabah taun saat itu sangat parah dan mematikan, bahkan jauh lebih berat dari penyakit yang diakibatkan virus Corona saat ini. Tak hanya manusia, wabah ini bahkan menginfeksi binatang sekalipun.
Pada era Khilafah Abbasiyah yakni Khalifah Al-Mu'tadhib Biamrillah, dimasa kepemimpinan beliau, masyarakat sampai menduga seolah kiamat akan terjadi. Karena terjadi peristiwa yang bertubi-tubi, sampai taun mewabah.
Penyakit ini sangat buruk karena tidak sebagaimana hari ini, kita dihimbau untuk menjauhi kerumunan massa, mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker, bahkan ketika zaman itu udaranya tidak layak untuk dihirup. Karenanya masyarakat dihimbau untuk tidak keluar rumah.
Kemudian terjadi demam tinggi yang melanda masyarakat bagdad Irak, bahkan Kematian bukan hanya dialami oleh manusia, akan tetapi hewan ternak bahkan binatang buas sekalipun mati karena terinfeksi wabah taun tersebut. Sampai akhirnya terjadi krisis bahan makanan seperti susu, daging, dan tidak ada satupun daging hewan ternak yang bisa dikonsumsi.
Disaat itupun kaum Muslim sedang dalam kondisi perang, Saat itu sering terjadi perang antara Sunni dan Syi'ah, kemudian kondisinya diperparah dengan adanya petir yang besar, dan petir-petir itu tidak hanya terjadi sekali, bahkan petir besar itu selalu terjadi berkali-kali. Sehingga begitu nampak masyarakat itu berada dalam kondisi ketakutan yang luar biasa, bahkan mereka menduga sudah kiamat.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Khalifah Al-Mu'tadhib Biamrillah adalah dengan bersedekah, karena konsep sedekah dianggap bisa memadamkan kemurkaan Allah SWT.
Bersamaan hal ini, Sang Khalifah pun tengah dikaruniai oleh seorang anak, hingga untuk memanjatkan syukur ia bersedekah sebanyak-banyaknya baik uang, makanan dan pakaian untuk rakyatnya.
Berikutnya, Khalifah mengumpulkan para Ilmuwan bersama-sama untuk mencari solusi mengenai masalah wabah taun yang sedang terjadi.
Pada masa itu kaum Muslim terkenal memiliki tingkat ilmu pengetahuan yang tinggi, hingga diharapkan ada saran terbaik untuk mengatasi wabah taun yang sedang terjadi.
Namun yang menarik adalah ketika Khalifah mengeluarkan keputusan untuk membentuk pasukan khusus untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Pasukan ini bertugas untuk menghancurkan tempat-tempat yang diduga sebagai tempat-tempat maksiat. Khamar-khamar dibuang, para pelaku kemaksiatan diberi hukuman dan pada puncaknya adalah pengusiran orang-orang yang bukan saja pelaku kemaksiatan tapi juga orang-orang yang mengajak orang lain untuk berbuat maksiat.
Ada keputusan-keputusan yang sifatnya spiritual, tentu itu adalah kesadaran yang sangat tinggi dari seorang Khalifah, bahwa kemaksiatan itu menyebabkan berbagai macam musibah.
Bahwa semua ini adalah bentuk (Muhasabah) koreksi, bahkan sesuatu yang terjadi dizaman generasi terbaik sekalipun (generasi Sahabat), dimana masyarakatnya adalah masyarakat yang saleh.
Karenanya, masyarakat yang saleh itu bukan berarti tidak ada kemaksiatan di dalamnya, dimasa ketika ada Rasulullah sekalipun ada kemaksiatan tapi kadarnya minim. Begitulah keadaan generasi terbaik dimana kejahatan dan keburukan lebih kecil dibandingkan dengan segala kebaikan yang ada.
Khalifah Al-Mu'tadhib Biamrillah mengajarkan kepada kita bahwa kebijakan negara sekalipun tidak boleh lepas dari nilai-nilai spiritual. Ini bukan untuk menuduh siapa? Tetapi setiap orang hendaklah melakukan introspeksi kepada dirinya masing-masing, apakah diri kita adalah bagian dari penyumbang terhadap musibah-musibah itu?
Hakikat Munculnya Wabah Penyakit
Kemunculan suatu Wabah tentu ada penyebabnya. Karenanya Allah SWT tidak mungkin menurunkan suatu Wabah penyakit tanpa ada alasan yang jelas. Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan bahwa di antara sebab musibah dan bencana adalah dosa-dosa dan maksiat.
Mengenai wabah Taun ini, sahabat Abdullah bin Umar RA, menyampaikan sabda Rasulullah,
لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا
“Tidaklah fahisyah (perbuatan keji) tersebar pada suatu kaum kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka wabah penyakit taun dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada kaum sebelum mereka.” (HR. Ibnu Majah no. 4019).
Hadist ini menunjukkan bahwa wabah taun, akan diiringi dengan wabah kelaparan. Dan secara umum penyebab dari semua itu adalah karena "fahisyah" (kekejian), atau dengan bahasa lain "setiap kemaksiatan" yang terjadi ditengah masyarakat, dan kemaksiatan itu sudah dilakukan secara terang-terangan tanpa ada rasa malu lagi.
Sebagaimana dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran : 135).
Ayat diatas menjelaskan tentang keumuman lafadz "fahisyah" yang berkonotasi dengan makna dosa-dosa, yaitu dengan lafadz "Lidzunuubihim". Inilah makna secara umum bahwa setiap dosa adalah merupakan bentuk "fahisyah".
Dosa adalah setiap pelanggaran terhadap Syariat. Maka pelanggaran terhadap Syariat pasti berkonsekuensi dosa, dan dosa akan menimbulkan fasad (kerusakan).
Secara umum banyak sekali pelanggaran terhadap Syariat, termasuk diantara dosa adalah tidak memberlakukan hukum Islam dalam realitas kehidupan, mengabaikan Hukum Allah, sehingga muncullah kerusakan.
Namun jika kita menelusuri kata "fahisyah" dalam Al-Qur'an, maka semua istilah "fahisyah" selalu dimaknai dengan seksual dan perzinaan. Dan inilah bentuk "takhsis" dari makna kata "fahisyah" dalam Al-Qur'an.
Karenanya dalam Al-Qur'an banyak lafadz "fahisyah" menyebutkan dengan makna perzinahan, sebagai contoh Allah SWT befirman,
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu “fahisyah” dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Juga firman Allah SWT :
وَلُوطًا إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِۦٓ أَتَأۡتُونَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنۡ أَحَدٍ مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?”. (QS. Al-A’raf: 80)
Karena itulah, diantara zaman keburukan adalah sebagian masyarakatnya senantiasa memperlihatkan dosa-dosa itu secara terang-terangan tanpa rasa malu lagi, sehingga dosa-dosa itu menjadi biasa ditengah-tengah masyarakat. Bahkan sampai pada level yang sangat buruk, dimana orang-orang bangga dengan dosa-dosa itu.
Sungguh, kita sendiri menyaksikan dan mengetahui, bagaimana perzinaan merajalela pada zaman ini. Media-media pornografi menyebar luas dan mudah diakses oleh semua kalangan; baik orang tua, dewasa, maupun anak-anak.
Bahkan, pernah sampai ada ungkapan yang tersebar di tengah-tengah masyarakat bahwa “pornografi adalah pemersatu bangsa”, seolah “pengakuan” bahwa salah satu sarana fahisyah ini memang sudah maklum.
Lebih dari itu, bahkan perkembangan LGBT dengan segala macamnya juga terus meningkat. Penyuka sesama jenis sudah semakin berani mempertontonkan eksistensi mereka alias terang-terangan. Media pun berlomba-lomba meliput dan gencar menyebarkan hal-hal yang terkait salah satu perbuatan fahisyah ini.
Nastaghfirullah wa natubu ilaih (Kami beristigfar dan memohon ampun kepada-Mu, ya Allah).
Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan,
إِذا رأيْت الوباءَ قدْ فشا فاعلم أنَّ الزِّنا قد فشا
“Apabila engkau menyaksikan wabah penyakit telah menyebar, ketahuilah bahwa (di antara sebabnya adalah) perzinaan telah merebak.” (Hilyatul Auliya 6/379)
Karena itu, Allah SWT mengingatkan kita didalam Al-Qur'an :
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya". (QS. Al-Anfal : 25).
Begitulah hakikatnya, wabah itu muncul disebabkan dosa dan kemaksiatan. Dan wabah taun itu ketika diturunkan oleh Allah SWT, maka ia tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja, akan tetapi merebak secara menyeluruh dan juga akhirnya menimpa orang-orang yang saleh diantara kita.
Rasulullah SAW pun juga memberikan peringatan dengan sabdanya :
” مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا “
“Perumpamaan orang yang teguh menjaga larangan-larangan Allah SWT dan orang yang melanggar larangan-larangan-Nya seperti sekelompok orang yang berebut naik ke dalam sebuah perahu. Maka sebagian mereka dapat bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat bagian bawah. Para penumpang yang berada di bagian bawah kapal jika memerlukan air harusmelewati para penumpang yang berada di atas. Kemudian penumpang yang berada di bawah itu berkata: “Seandainya kami lubangi tempat duduk kami satu luang saja, maka kami tidak usah lagi mengganggu para penumpang yang berada di atas”. Apabila penumpang lainnya membiarkan mereka dengan apa yang mereka kehendaki, niscaya hancurlah seluruh penumpang kapal. Dan apabila penumpang lainnya mencegah tangan mereka dari upaya melubangi kapal, niscaya selamatlah seluruh penumpang kapal”. (HR. Bukhari, No. 2313).
Khatimah
Karena itu penting bagi negeri ini, yang penduduknya adalah Muslim terbesar, untuk memperhatikan perkara ini. Disinilah pentingnya dakwah Islam secara Kaffah (menyeluruh), bahwa sudah saatnya kita kembali kepada Islam, dengan menerapkan seluruh syariat Islam.
Sehingga kehidupan Islam hadir ditengah orang-orang beriman. Saatnya negara ini mengikuti Sunnah Nabi SAW, dengan merubah sistemnya menjadi Sistem Khilafah, yang menerapkan seluruh Syariat Islam, dengan begitu kita mampu keluar dari Pandemi ini dengan ampunan dan pertolongan Allah SWT.
Wallahualam bissawab []
Post a Comment