Jaring Represivitas Di Dunia Kampus, Mahasiswa Bisa Apa?
Sejak Minggu, 27 juni 2021 BEM UI menjadi trending topic di Twitter dan menjadi pusat perhatian publik, setelah akun Instagram resmi milik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengunggah sebuah postingan yang dinilai provokatif terhadap Presiden Indonesia Joko Widodo atau Jokowi. Dalam unggahan tersebut BEM UI melabeli Jokowi dengan “The King of Lip Service” dengan menampilkan gambar Jokowi yang menimbulkan pro dan kontra terhadap postingan yang diterbitkan 26 juni 2021 tersebut.
Tak menunggu waktu lama pihak Rektorat Universitas Indonesia ikut bereaksi atas postingan yang menghebohkan itu dengan melakukan pemanggilan terhadap 10 mahasiswa UI yang merupakan bagian dari BEM UI dan DPM UI lewat Surat Undangan Nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04/2021, pada 27 juni 2021.
Dari pihak UI melalui Kepala Biro dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Amelita Lusia menjelaskan, kritik BEM UI itu dinilai kurang tepat dalam penyampaiannya karena menggunakan foto Jokowi sebagai meme, yang menurutnya Presiden sebagai simbol Negara, sehingga melanggar peraturan yang ada.
Pemanggilan 10 mahasiswa UI tersebut mendapat respon dari berbagai elemen masyarakat, yang menganggap pemanggilan itu merupakan pembungkaman terhadap ruang-ruang berpendapat dari masyarakat khususnya mahasiswa yang telah mendapat jaminan kebebasan mimbar akademik. Adanya surat pemanggilan oleh birokrat UI mengindikasikan adanya aktor pemberangusan kebebasan berpendapat yang tidak datang hanya dari Negara, melainkan juga datang dari dunia kampus.
Pemanggilan mahasiswa atas birokrat UI dipandang sangat berlebihan, sebab kampus merupakan ruang kritis yang harus tetap dijaga oleh mahasiswa, Mengingat mahasiswa merupakan bagian civitas akademika kampus yang memiliki tugas sebagai “the agent of change”. Beberapa banyak peristiwa hukum dan politik di negeri ini yang berubah atas kiprah dan perjuangan para mahasiswa yang peduli atas ketimpangan sosial yang dihadapkannya.
Surat pemanggilan birokrat UI mengindikasikan kebebasan sipil semakin dikerdilkan oleh Negara dengan sistematis, peristiwa yang terjadi terhadap pemanggilan mahasiswa UI menjadi salah satu bukti absennya Negara dalam menjamin kebebasan berpendapat dan bentuk represifitas negara, sebagaimana yang telah diamanahkan UUD 1945 pasal 28 dan UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Aksi-aksi represif telah berulang kali terjadi pada mahasiswa dan dunia kampus, tidak terlepas dengan sejarah-sejarah pergerakan mahasiswa yang bagaikan bola salju yang menggelinding semakin membesar, represifitas inilah yang menjadi pemantik api pergerakan pada mahasiswa untuk melakukan gerakan, gebrakan dan perubahan bagi tatanan kebangsaan.
Mengingat sejarah di era Soeharto dengan kebijakan represifnya yang mematikan peran mahasiswa dalam mengontrol kebijakan pemerintah pada saat itu, dalam 32 tahun orde baru bagaimana teror dan intimidasi dilancarkan terhadap gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa, sikap kritis dan membicarakan ketidakadilan adalah barang tabu dan mahal yang harus dibayar.
Terjadinya depolitisasi massal terhadap mahasiswa dengan kebijakan Sistem Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK) yang diterapkan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Gerakan mahasiswa yang menentang kebijakan liberal Soeharto dalam bidang ekonomi, kemudian terjadilah kerusuhan besar-besaran di Jakarta yang dilakukan Dewan Mahasiswa se-Jakarta pada 15 Januari 1974 peristiwa ini dikenal dengan nama peristiwa Malari yang menjadi latar belakang histori dikeluarkan kebijakan tersebut.
Setelah peristiwa itulah Soeharto menganggap bahwa gerakan mahasiswa sangat berbahaya untuk pembangunan nasional maupun dunia industri di Indonesia, Presiden Soeharto melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesof pada saat itu menindaklanjuti dengan surat keputusan Menteri Nomor 0156/U/1978 yang isinya tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), kemudian setahun setelahnya Menteri Daoed Joesof kembali mengeluarkan Surat Keputusan No.037/U/1979 yang bertujuan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dari kegiatan politik, sehingga mahasiswa tidak bebas lagi berdiskusi dan mengeluarkan kebebasan berfikirnya. Dari keputusan itu, organisasi mahasiswa mengalami pendosmetikan politik dan pengibirian politik dalam proses demokrasi kampus. Kebijakan ini dipandang sebagai biang kerok atas lesunya gerakan politik untuk kritis kepada pemerintah.
Hari ini, 22 tahun setalah reformasi buah dari hasil gerakan mahasiswa yang berhasil meruntuhkan kekuasaan orde baru yang dinilai represif pada gerakan mahasiswa dan didunia kampus, tindakan represif dan intimidasi terhadap gerakan mahasiswa masih terus kerap terjadi. Pada tahun 2019 misalnya, pada kurun waktu September hingga oktober tumpahruahnya ribuan mahasiswa dengan gerakan penolakan terhadap penolakan terhadap RUU KPK dengan membesarnya gerakan #reformasidikorupsi puluhan mahasiswa harus menjadi korban luka, bahkan merenggut nyawa, korbannya Randi dan Yusuf Mahasiswa Haluoleo yang melakukan aksi protes pada Negara atas semua RUU yang dianggap bermasalah itu.
Berdasarkan riset Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI, ada 58 jenis represi dan 33 kasus yang dialami pers mahasiswa pada 2017-2019, berikutnya SK D.O terus diterbitkan pihak kampus pada mahasiswa yang melakukan aksi protes dan demonstrasi pada apa yang dianggap tidak sejalan pada prinsip dasar keadilan, misalnya yang terjadi pada 4 Mahasiswa UNKHAIR pada Desember 2019 yang harus menelan pil pahit dengan diterbitkannya SK D.O karena menggunakan hak konstitusionalnya dalam melakukan demonstrasi menuntut penyelesaian kasus HAM di Papua, di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar juga tak luput dari kesewenang-wenangan kampus dengan mengeluarkan SK D.O kepada 28 mahasiswanya karena berdemonstrasi damai menolak peraturan rektor tentang Organisasi Mahasiswa (ORMAWA).
Begitu juga yang terjadi kepada mahasiswa di IAIN kendari Hikmah Sanggala yang harus menerima SK D.O dari rektor IAIN kendari karena dianggap berafiliasi dengan organisasi terlarang dan menyerbarkan faham radikal pada mahasiswa lainnya, padahal dalam tataran faktanya Hikmah Sanggala hanyalah mahasiswa yang teguh melakukan aktivitas dakwah dengan mendakwakan Khilafah sebagai solusi untuk umat islam tak terkecuali dengan umat islam yang berada di Indonesia. Serta masih banyak SK D.O yang terus diterbitkan bagaikan karpet merah untuk melanggengkan mahasiswa keluar dari dunia kampus, menjadi bukti bahwa jaring represifitas telah masuk ke dalam alam akademis kampus.
Maka sudah seharusnya jaring represifitas didunia kampus ini harus diputus dengan tetap menjaga gerakan-gerakan mahasiswa yang kritis kepada kedzoliman yang terjadi dinegara ini, dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat diingkari bahwa selama peran negara belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga kekuasaan sukar untuk dikontrol (untouchable unreachable and can do no wrong) maka gerakan mahasiswa pada umumnya untuk mengawal isu kerakyatan dan keadilan akan sangat selalu bermanfaat sepanjang masa.
Sudah saatnya mahasiswa tidak hanya menjadi “agent of change” saja, tetapi harus menjadi “leader of change” yang akan mendobrak dinding represifitas dan menyalakan alarm darurat pada pemimpin dan kekuasaan kampus yang bersikap sewenang-wenang pada hak bersuara pada mahasiswa diluar maupun didalam kampus, menjadi “leader of change” yang memimpin perubahan yang memiliki output pada keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Maka bukan lagi saatnya mahasiswa hanya menjadi event organizer semata, inilah waktunya mahasiswa harus menjadi konseptor perubahan.
Wallahualam bissawab.(**)
Post a Comment