PPKM, Kebijakan Lama dengan Istilah Baru
Oleh : Ummu Fathul (Aktivis Muslimah Baubau)
Pandemi belum jua
beranjak pergi. Artinya sudah setahun lebih pandemi mengungkung negeri ini.
Meski berbagai upaya telah dilakukan, namun lonjakan pasien covid 19 terus
meningkat. Bahkan makin menggila di minggu-minggu terakhir ini.
Data 30 Juni 2021
kemarin, kasus positif Covid-19 bertambah 21.807 orang. Jika ditotal, jumlah
kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menjangkit 2.178.272 orang.
Sebagai upaya
memutus penularan covid19 pemerintah kembali melakukan pembatasan aktivitas
masyarakat yaitu dengan pemerpana PPKM mikro, namun karena kondisi makin tak
terkendali, berubah istilah menjadi PPKM Darurat yang berlaku sejak 3 juli lalu
hingga 20 juli mendatang.
Hanya Berganti Istilah
Anggota fraksi PAN
ini juga menyampaikan kekhawatirannya, jika ratusan triliunan dana PEN dan PPKM
Darurat ini akan terbuang sia-sia. Karena pembatasan ketat hanya dilakukan
swcara domestik. Namun, rantai penyebaran berbagai varian baru dari luar
dibiarkan keluar masuk negeri ini. (viva.co.id,4/7/21).
Jika kita telusuri
lebih dalam berbagai kebijakan penanganan covid-19 selama ini tidak mengalami
perubahan, hanya berganti istilah saja. Sehingga wajar jika banyak pihak yang
meragukan keberhasilan PPKM darurat. Epidemiolog Tri Yunis mengatakan bahwa
kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah dalam kondisi genting seperti
sekarang ini adalah penguncian wilayah (Lockdown), tetapi jika pun itu tidak
memungkinkan, harus ada pembatasan besar-besaran.
Namun sayang
pemerintah tetap tidak mengambil kebijakan lockdown total dengan alasan
penyelamatan ekonomi. Padahal ekonomi tanpa manusia tidak mungkin bisa bangkit.
Namun, tabiat sistem kapitalisme memang mengagungkan ekonomi. Maka wajar jika
demi keuntungan ekonomi bahkan nyawa manusia bisa saja dikorbankan.
Menyibak Sejarah Penanganan Pandemi dalam Islam
Dalam menghadapi
wabah, maka pemimpin harus mengambil kebijakan penyelamatan nyawa manusia
terlebih dahulu. Karena dalam Islam, hak hidup ( haqqu al hayah) atau
perlindungan jiwa (hifdz an nafs) merupakan kebutuhan mendasar di peringkat
teratas, baru menyusul perlindungan terhadap yang lainnya. Maka, kebijakan
pemimpin dalam pemerintahan Islam dalam menghadapi wabah adalah menyelamatkan
nyawa terlebih dahulu baru memikirkan ekonomi dan sebagainya.
Oleh karena itu,
dalam sejarah Islam kita temui bahwa kebijakan utama oleh para khalifah dalam
penanganan pandemi adalah melakukan lockdown total dari awal munculnya pandemi.
Hal Ini bersandar pada hadits Rasulullah saw :
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka
janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada,
maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).
Mengapa dibutuhkan
lockdown total adalah untuk memutus rantai penyebaran virus dari awal. Sehingga
orang- orang yang wilayahnya terdampak pandemi dilarang keluar sementara yang
dari luar dilarang masuk. Hingga wabah tidak mengalami penyebaran dari awal.
Lalu bagaimana dengan kebutuhan hidup masyarakat yang dilockdown?. Maka itu menjadi
tanggungan negara. Negara wajib menganggarkan anggaran khusus untuk menjamin
terpenuhi seluruh kebutuhan hidup mereka. Termasuk menyediakan pelayanan
kesehatan yang layak dan mumpuni. Swmwntara wilayah yang tidak terdampak
pandemi dibiarkan terus produktif,
sehingga perekonomian tidak akan mengalami kelumpuhan.
Saat ini, yang
dibutuhkan oleh negara adalah keberanian mengambil kebijakan lockdown total dan
mengarahkan seluruh alokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat
sementara sehingga rantai penyebaran covid-19 bisa dihentikan. Hal ini jauh
lebih efektif. Sehingga anggaran bisa diperhitungkan dari awal dan tidak
menguap begitu saja akibat pandemi terus mewabah berlarut- larut. Niat ingin
menyelamatkan ekonomi, yang ada ekonomi makin ambruk dan nyawa manusia
dipertaruhkan. wallahu a'lam Bisshowab.(**)
Post a Comment