Basis Data, Kamuflase Di Balik Pengendalian Pandemi
Kasus harian Covid-19 mengalami penurunan seiring
dengan menurunnya jumlah tes Covid-19 yang terdata pemerintah. Data dan fakta
itu menunjukkan sangat prematur jika menyatakan bahwa pandemi sudah terkendali.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga
(Unair) Yanuar Nugroho menyebut, menurunnya angka kasus virus corona beberapa
waktu belakangan disebabkan karena berkurangnya jumlah testing Covid-19. Oleh
karenanya, ia menilai, data penurunan kasus Covid-19 bermasalah. Klaim bahwa
angka kasus menurun sedangkan jumlah tes juga menurun, ini problematik. Tentu
saja kalau jumlah tes diturunkan maka kasus menurun. Yanuar khawatir data
penurunan kasus Covid-19 akan dijadikan dasar pemerintah untuk melonggarkan
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui capaian
testing dan tracing di wilayah yang menerapkan PPKM Level 4 mengalami
penurunan dalam 3 hari terakhir. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hanya 5
kabupaten/kota di Pulau Jawa yang memiliki jumlah tes Covid-19 mendekati target
atau di atas 90 persen.
Pandemi adalah problem kesehatan yang membutuhkan
solusi tepat sesuai rekomendasi para pakar dan ahli terkait di bidang
kesehatan. Bahwa Covid-19 adalah penyakit menular yang mudah menyebar melalui
orang tanpa harus menunjukkan gejala. Kondisi akut pada pernafasan dapat
meningkatkan besarnya risiko kematian bila tidak segera mendapatkan pertolongan
medis. Maka, penanganan Covid-19 hanya efektif melalui pemisahan sempurna
antara si sakit dan masyarakat yang sehat.
Karantina wilayah secara total adalah solusi
paling tepat dalam kondisi pandemi ini. Hampir seluruh pakar dan ahli epidemiologi
menyampaikan kebijakan ini untuk diterapkan, namun alih-alih melawan pandemi,
justru yang diterapkan bertolak belakang. Angka kasus makin melonjak tak
terkendali meski kebijakan PPKM diterapkan.
Kebijakan berfokus pada
penuntasan pandemi sangat mendesak diimplementasi, sedangkan pengendalian data
hanya menjadi tameng bagi pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab
menuntaskan pandemi. Penyelesaian pandemi tidak cukup bermodalkan data yang
dikirimkan dari masing-masing wilayah ke pusat. Apalagi jika tiap daerah
memiliki sistem manajemen pelaporan yang berbeda, input data jelas akan
berbeda.
Kondisi riil di
lapangan tidak bisa sekedar ditulis di atas laporan data. Birokrasi yang
seperti ini semestinya menjadi evaluasi seluruh instansi. Pelaporan atas dasar
‘keinginan’ atasan adalah peninggalan jaman feodalisme dimana bawahan hanya
berfokus pada hasil di atas kertas, tanpa melihat operasional yang sedang
dijalankan di masyarakat.
Peninggalan penjajahan
kapitalis inilah yang masih digunakan hingga saat ini. Hasil dengan basis data
angka tidak merepresentasikan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Tidak ada
yang menjamin bahwa data-data yang dilaporkan sesuai dengan kondisi di
lapangan. Mekanisme monitoring dan evaluasi yang rendah justru membuka peluang
terjadinya manipulasi data sejak awal.
Itulah yang terjadi
ketika landasan sekulerisme kapitalis yang dijadikan patokan dalam mengambil
kebijakan ketika pandemi. Sangat disayangkan, ketika data penurunan kasus per
hari tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Penanganan kepada pasien pun
akhirnya tidak optimal, dikarenakan kelangkaan sarana prasarana, obat-obatan
dan kebutuhan rumah sakit.
Sayangnya paradigma kekuasaan dalam politik
demokrasi sekuler telah mendidik para pemimpin untuk memprioritaskan
kepentingan ekonomi para kapitalis ketimbang mewujudkan jaminan kesehatan dan
keberlangsungan ekonomi rakyat. Pun akhirnya dalam penanganan pandemi Covid-19,
pemerintah gagal total karena memilih solusi sistem kapitalisme. Selama
masih ada negara yang belum mampu keluar dari pandemi, maka tidak ada satu pun
negara di dunia ini yang aman dari ancaman.
Adanya sekat
nasionalisme sungguh telah menjadi penghambat proses dunia mengakhiri pandemi.
Masing-masing negara tertatih-tatih tanpa penopang, tanpa penolong, hopeless. Oleh
karena itu, dunia sangat membutuhkan satu kepemimpinan global yang kredibel
untuk mengatasi pandemi. Ketika ideologi kapitalisme gagal. “Capitalism is not working”. Tidak
ada alternatif lain untuk dunia bebas pandemi Covid-19, melainkan hanyalah
ideologi Islam dengan sistem Khilafah yang diberkahi.
Islam jelas memiliki
solusi paripurna dan sempurna. Terlebih ini adalah bukti ketundukan kita
sebagai ciptaanNya yang meyakini bahwa hanya Allahlah pengatur kehidupan
manusia. Persoalan pandemik akan berakhir ketika syariat diterapkan. Ini bukan
hal yang mustahil atau impian semata. Karena kondisi seperti ini pernah terjadi
berabad-abad silam dan mampu dilalui dengan tanpa meninggalkan banyak korban.
Islam memahami bahwa pemimpin ibarat perisai. Ia yang akan
melindungi rakyatnya dari serangan badai apapun. Jika kelaparan, ia akan lebih
dulu merasakannya. Jika kenyang, justru ia akan menjadi orang terakhir yang
mengalaminya. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Sahabat
Amr bin Ash pun melakukan hal ini saat menjadi Gubernur Mesir. Di kala penyakit
thaun melanda Syam, para pemimpinnya wafat karena wabah, Beliaulah yang
akhirnya mengambil alih kepemimpinan di bumi para nabi. Beliau adalah pemimpin
yang rela turun tangan bersama rakyat menghadapi ujian ini. Beliau berusaha
sekuat tenaga, mulai dari pengobatan, kebijakan karantina hingga kepengurusan
kebutuhan.
Kebijakan Beliau yang paling dikenal adalah memerintahkan rakyat
untuk beruzlah (menyendiri). Mereka diminta pergi ke gunung-gunung, memisahkan
diri satu dengan yang lain. Sembari terus mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Agar memperoleh perlindungan dan ketenangan. Bagaimana dengan kebutuhan
sehari-hari? Tentu negara yang memenuhinya. Tidak berselang lama dari kebijakan
itu, wabah thaun ini akhirnya hilang.
Apakah keberhasilan itu semata-mata karena kualitas Umar bin Khatab
atau Amr bin Ash? Bukan, semua itu karena Islam. Islam sebagai sistem kehidupan
yang kompleks telah menuntun para sahabat dalam mengambil kebijakan. Dengan
mengikuti perintah Nabi saw, tentang hadist saat menghadapi wabah, para Sahabat
pun berhasil melewatinya.
Sistem Islam telah membentuk para pemimpin kuat imannya, taat
pribadinya hingga mereka mampu menundukkan hawa nafsu dan mengutamakan kepentingan
rakyatnya. Seluruh kebijakan terbaik mereka kerahkan semata-mata hanya karena
pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah Swt.(**)
Post a Comment