Belajar Dari Ulama Besar
Oleh : Syahril Abu Khalid (Mubalig dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Ujian berupa Pandemi hari ini begitu menyisakan kesedihan yang tiada tara, banyak diantara mereka yang telah gugur adalah orang-orang terdekat kita, bahkan sahabat dan orang-orang yang kita kenal satu persatu wafat disebabkan infeksi virus Covid-19. Sungguh virus ini telah menelan banyak korban jiwa.
Musibah ini sungguh telah merenggut banyak dari orang-orang yang kita cintai, tidak sedikit dari mereka adalah para Ulama dan para pengemban dakwah. Bahkan Ayah, Ibu, sanak famili, dan karib kerabat kita telah banyak yang gugur meninggalkan kita.
Kitapun yang masih hidup saat ini senantiasa berjibaku dan diperhadapkan dengan dahsyatnya Pandemi Covid-19 ini, dengan menjaga diri agar tidak terinfeksi virus tersebut. Bahkan berbagai macam kebijakan yang membuat sebagian besar dari kita merasakan pahitnya kondisi wabah ini.
Jika kita menilik kembali kebelakang sesungguhnya sejak ribuan tahun sebelum Masehi, tinta sejarah telah menuliskan sejumlah wabah yang menimpa umat manusia. Sikap setiap umat yang diuji itupun bertingkat-tingkat, ada yang sampai putus asa sehingga tidak mampu lagi berbuat apa-apa.
Namun ada pula yang mampu memaknainya sebagai anugerah hingga menghasilkan karya yang sangat monumental dan fenomenal, yang sangat bermanfaat hingga hari ini.
Sikap inilah yang dipilih oleh Ulama Besar dari kalangan Mazhab Syafi'i yakni Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala. Karena itu, sesungguhnya peristiwa wabah yang menimpa kaum Muslimin bukan hanya terjadi sekali dua kali, akan tetapi terjadi berkali-kali. Sampai saat ini pun kita kembali dilanda wabah, bahkan tentu saja menimpa bukan hanya Muslim tapi Non Muslim pun juga merasakannya.
Peristiwa Wabah ini kemudian diabadikan dalam karya-karya besar dari para Ulama Besar kita, tercatat ada sekitar puluhan kitab yang ditulis oleh para Ulama dimana didalamnya khusus berbicara tentang Wabah, khususnya Wabah Taun, yang banyak menimbulkan korban jiwa.
Taun adalah jenis wabah khusus, yang menimpa umat manusia. Dan Wabah Taun itu disebutkan secara khusus oleh Nabi kita Muhammad SAW dalam banyak haditsnya, dan inilah yang menjadikan para Ulama Besar itu membahasnya dalam kitab-kitab mereka.
Dan yang sangat menarik adalah suatu kitab yang ditulis dengan jumlah ratusan halaman, yakni 444 halaman, sebuah kitab yang ditulis oleh Ulama Besar, seorang Ahli Hadist dialah Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala, yang meninggal tahun 852 Hijriah. Beliau telah menulis sebuah kitab yang menggambarkan tentang penyakit Taun yang mewabah dari segala aspeknya.
Kitab fenomenal itu diberi judul "Badzul Ma'un fii Fadhil Tho'un" yang berarti (Mengerahkan Bantuan dalam keutamaan wabah Taun), Kitab ini sangat masyhur dikalangan ahli Ilmu sebagai kitab yang secara khusus berbicara wabah dalam perspektif Islam.
Kitab klasik ini, membahas tentang tema Wabah dari berbagai sudut pandang. Mulai dari bagaimana cara menghadapinya sampai memaknainya sebagai sebuah kebaikan yang Allah turunkan bersamaan dengan munculnya Wabah.
Didalam kitab itu pertama diawali dengan beliau menyebutkan tentang dalil-dalil secara sharih, baik dari Al-Qur'an maupun hadits yang menjelaskan tentang hakikat wabah. Kemudian didalam kitab itu juga menjelaskan tentang aspek wabah dari pandangan para ilmuwan, bagaimana bersikap terhadap wabah tersebut. Setelah itu pada penutup dari tulisan itu, beliau menyebutkan tentang sejarah terjadinya Wabah Taun dari masa ke masa dan seterusnya.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala adalah seorang Ulama dan Muhaddits yang mumpuni yang telah menulis banyak kitab. Beliau memiliki kecerdasan diatas rata-rata, karenanya beliau selalu mendedikasikan dirinya dalam setiap momen kehidupannya adalah dengan ilmu dan menuliskannya dalam kitab-kitabnya.
Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa keberadaan beliau berasal dari suku kinana Arab,
هو خلاصة الحفاظ أحمد بن علي بن محمد بن محمد بن علي بن محمود بن أحمد بن أحمد، الكناني - نسبة إلى قبيلة كنانة العسقلاني، المصري، القاهري، الشافعي، المعروف ب (إبن حجر)، وهو لقب لبعض اباؤه
"Dia bernama Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Ahmad, Al-kinani - dinisbatkan kepada suku Kinana Al-Asqalani, orang Mesir, Al-Kairo, As-Syafi'i, yang dikenal dengan sebutan (Ibnu Hajar), yang merupakan julukan bagi sebagian bapaknya". (Adh-dhou'u, juz 2/36).
Kelahiran beliau disebutkan dalam kitab "Inbaa'ul ghamri, 1/302" atau kitab "Lahzul Alhaazi, 326".
ولد سنة (٧٧٣ هى) ونشا يتيماً، فقد توفي أبواه وهو صغير، وتربى في كنف وصيه الرئيس أبي بكر نور الدين علي الخروبي، كبير التجار بمصر، وكانت بيته وبين والد الحافظ مودة وصحبة، فلاقى منه عناية ورعاية واهتماما، فكان يستصحبه معه حين يجاور في مكة
"Dia dilahirkan pada tahun (773 H) dalam kondisi yatim, kedua orang tuanya meninggal saat beliau masih kecil, dan beliau diasuh oleh Abu Bakar Nuruddin Ali Al-Haroubi, seorang pedagang besar di Mesir, rumahnya di antara rumah ayah Al-Hafiz yaitu kasih sayang dan persahabatan, sehingga dia bertemu dengannya dengan penuh perhatian, dan dia biasa menemaninya ketika dia dulunya bertetangga di Makkah".
Inilah yang membuat kehidupan Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala, yang walaupun beliau dalam kondisi yatim piatu, akan tetapi beliau tumbuh dengan tetap mendapatkan kasih sayang dari seorang sahabat dari ayahnya, yang ia anggap seperti ayahnya sendiri.
Sebagaimana dinukil dalam kitab "بذل الماعون في فضل الطاعون" beliau mampu menghafalkan Al-Qur'an didadanya, ketika ia berumur 9 tahun. Ia banyak menghafalkan kitab-kitab Ushul dan Mukhtasar seperti kitab Umdatul Ahkam yang ditulis oleh Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi, kemudian kitab Al-Hawi Ash-Shagir yang ditulis oleh Imam Al-Quzuyani, juga kitab Mukhtasar Ibnul Haajib, kitab Malhatul I'roobi yang ditulis oleh Imam Al-Harawi, kemudian kitab Manhajul Ushul yang ditulis oleh Al-Qadhi Al-Baidhawi, kitab Al-Alfiyah fil Mustholahi yang ditulis oleh Al-Hafidz Al-Iraqi dan juga kitab Al-Alfiyah Ibnu Malik dan yang selainnya.
Kekuatan hafalan beliau sangat luar biasa, daya ingatnya sangat kuat. Karenanya para Ulama saat itu kemudian menggelarinya dengan gelar "Al-Hafidz Ibnu Hajar", bahkan beliau merupakan "khatimatul Huffaz" (penutup dari para penghafal). Jadi dizaman ini tidak ada satupun Ulama yang mampu melampaui kekuatan hafalannya.
Bahkan sampai beliau banyak membaca silsilah tentang apapun itu, yang dengan itu semua mampu menjadikannya sebagai seorang Ahli Hadist, disebutkan :
وقرأ على مسندي عصره الكثير من الأصول والأمهات، وليس أدل على ذلك من استعراض كتابه، الذي ذكر فيه كل ما قرأه على شيوخه أو سمعه عليهم، بالاسانيد إلى مؤلفيها. وحبب الله إليه علم الحديث، فنيغ فيه
"Dan beliau banyak membaca Musnad pada masanya tentang asal-usul dan para Ibu, dan tidak ada dalilnya dalam resensi kitabnya, dia menyebutkan semua, apa yang ia baca atapun dengar atas mereka kepada syekhnya, dengan rantai sanadnya hingga kepada penulisnya. Dan Allah menganugerahkan kepadanya ilmu hadits, maka dia menguasainya". (Badzul Ma'un fii Fadhli Tho'un, hal. 8).
Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala terkenal sebagai seorang Ulama yang sangat produktif dalam menorehkan tulisan dan ilmunya didalam sebuah kitab, dan beliau biasa merampungkan tulisannya dengan begitu cepat. Dan kitab karangan beliau yang paling masyhur adalah kitab "Fathul Baari", sebuah kitab hadits dan Syarah dari hadist shahih al-Bukhari.
Namun hal ini tidak terjadi demikian ketika beliau menuliskan kitab "بذل الماعون في فضل الطاعون", beliau pertama kali menuliskan kitab tersebut pada tahun 819 Hijriah, namun beliau baru dapat merampungkannya pada tahun 833 Hijriah. Hal ini disebabkan beliau tengah berjibaku dengan Pandemi Taun ketika itu, dan beliau diuji dengan wafatnya ketiga putrinya lantaran karena Wabah Taun.
Beliau memiliki lima orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, disebutkan :
تزوج الحافظ وهو في الخامسة والعشرين من (أنس) ابنته القاضي كريم الدين ابدالكريم بن عبدالعزيز، ناظر الجيش. وانجبت منه خمس بنات، هن : زين خاتون وفرحة وعالية ورابعة وفاطمة. ثم تزوج من جارية وانجبت منه محمداً
"Pada usia dua puluh lima, Al-Hafiz menikahi Anas, putri dari al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin Abdul Aziz, seorang Sipir tentara. Dia melahirkan lima anak perempuan, yaitu : Zain Khatun, Farhah, Aliah, Rabiah dan Fatimah. Kemudian beliau menikahi seorang budak perempuan dan ia melahirkan Muhammad" (Mukhtasar Ibnu Hajar : 102-106).
Karena kebiasaan banyak ulama untuk mendapatkan pengakuan, untuk anak-anak mereka dari para masyaikh, ditemukan oleh para Ulama bahwa Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala membutuhkan jalan panjang untuk melakukannya, dan ia sangat memperhatikan keluarganya, jadi ia memanggil para ulama untuk anak-anaknya, dan mengajarinya secara privat agar sanad dalam ilmu sampai pada yang tertinggi.
Namun musibah kemudian menimpa Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala, beliau diuji dengan ketiga putri beliau wafat karena wabah Taun, disebutkan :
ويشاء الله أن يموت ثلاث من بنات الحافظ بالطاعون، فقد ماتت به ابنتاه فاطمة وعالية سنة ٨١٩ هى، وماتت به ابنته الكبرى زين خاتون سنة ٨٣٣ هى وهي حامل.
"Dan Allah berkehendak bahwa tiga putri Al-Hafiz meninggal karena wabah, kedua putrinya Fatimah dan Aliyah meninggal pada tahun 819 H, dan putri sulungnya Zain Khatun meninggal pada tahun 833 ketika dia sedang hamil". (Badzul Ma'un fii Fadhli Tho'un, Hal. 9).
Hal inilah yang diduga kuat oleh para Ulama, bahwa karya beliau dalam kitab yang berjudul "بذل الماعون في فضل الطاعون" adalah merupakan bagian dari momentum kehidupannya yang sangat penting yang menyisakan memori kesedihan, namun dengan semua itu menjadikannya dapat menghasilkan karya besar yang sangat bermanfaat bagi umat ini.
Dibawah naungan Ilmu, sang Imam yakni Ulama besar ini mampu mengendalikan kesedihannya, meskipun musibah yang ia alami sangatlah berat. Musibah itu tak membuatnya putus asa dan larut dalam kesedihannya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala justru mampu mengelola kesedihan yang ia rasakan itu menjadi sebuah kekuatan untuk meraih kemuliaan dengan merampungkan tulisannya.
Menarik sekali dari apa yang ditulis oleh Ulama besar ini, ketika ia menuliskan kitab "Badzul Ma'un fii Fadhli Tho'un" sungguh karya monumental itu diiringi dengan kesedihan, tetapi beliau tetap berada dalam kontrol Ilmu dan Syariat, sehingga ia mampu mengelola kesedihan itu dengan baik. Maka sudah selayaknya kita belajar dari Ulama Besar yang satu ini.
Jika kitapun ditimpa musibah dan kesedihan yang teramat sangat, bahwa kita telah kehilangan seorang yang kita cintai, maka janganlah kita menulis sesuatu yang Allah tidak ridai.
Sesungguhnya Allah menjanjikan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, sehingga dengan Ilmu itu ia mampu tenang, sabar dan rida terhadap setiap takdir yang Allah tetapkan untuknya, sekalipun takdir itu datang dalam bentuk musibah. Dan Bahkan dengan ilmu itu ia mampu memaknainya sebagai anugerah dari-Nya.
Karena itu Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ
"Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran". (QS. Az-Zumar : 9).
Itulah yang kita bisa baca dalam penjelasan Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullahu ta'ala dalam ketenangan beliau menuliskan kitab itu. Dan sungguh kitab itu telah menjadi kitab yang sangat fenomenal dan menjadi satu panduan yang sangat penting untuk musibah Wabah yang terjadi dizaman manapun.
Begitulah, sesungguhnya orang beriman itu pandai menerjemahkan musibah menjadi sebuah anugerah. Dan menerjemahkan musibah menjadi anugerah itu, ia butuh Iman, ilmu dan ketenangan. Maka belajarlah kita dari Ulama Besar ini!
Wallahualam bissawab []
Post a Comment