Jeratan Utang Saat Lonjakan COVID 19, Sampai Kapan?
Drg. Endartini Kusumastuti
(Pemerhati Kebijakan Masyarakat Kota Kendari)
Persoalan
ekonomi di tengah pandemi saat ini menjadi momok di sebagian besar Negara
dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejak pandemi masuk Maret 2020 silam,
kebijakan yang dikeluarkan cenderung serampangan dan tergesa-gesa. Sekretaris
Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah
Hasan menilai pemerintah gagap dalam menangani pandemi Covid-19. Hal itu
terlihat dari banyaknya kebijakan anggaran yang berubah-ubah. Menurutnya,
regulasi pemerintah berubah-ubah, ada 56 kebijakan terkait penanganan Covid-19
sepanjang 2020. (infoanggaran.com, 10/1/2020).
Selain itu, kata Misbah, kebijakan yang
dikeluarkan tidak komprehensif sehingga berimbas pada kebijakan anggaran di
level daerah. Banyaknya kebijakan yang berasal dari pusat justru membatasi
kreativitas daerah untuk menangani Covid-19. Dengan banyaknya aturan dan juga
anggaran ternyata tidak mampu menekan angka penularan Covid-19. Tak hanya itu,
Misbah juga menilai upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah juga tidak mampu
menahan agar Indonesia tidak masuk ke jurang resesi.
Resesi
ekonomipun tidak dapat dihindari lagi. Menkeu memutuskan untuk menambah utang
Negara di kuartal II tahun lalu. Total utang pemerintah per Oktober 2020 mencapai Rp5.877,71 triliun. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki masalah yang berat dan sakit
di tengah pandemi Covid-19. Hal itu dungkapkan ekonom senior Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Didik J Rachbini.
Ia menjelaskan bahwa di masa pandemi APBN digenjot besar-besaran. Dampaknya
akan defisit dan utang pemerintah makin bertambah. (beritasatu.com, 01/08/2021)
Menurut
Didik, kondisi APBN saat ini sedang berat dan sakit, problemnya masalah defisit
perdagangan dan nilai tukar rupiah bermasalah, nanti tingkat kepercayaan publik
atau investor bermasalah juga, termasuk kepercayaan pemberantasan Covid-19. Publik mempertanyakan
utang yang terus bertambah dan mengancam kemandirian. Alasan Menkeu utang untuk
selamatkan warga tidak sejalan dengan kebijakan keuangan yang mengobral
insentif untuk BUMN hingga investasi. Ini jelas alasan yang tidak berdasar dan bersifat
defensif. Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah berlepas tangan terhadap
pemenuhan kebutuhan warganya. Inilah
kesalahan kebijakan penambahan utang maupun prioritas alokasi anggaran Negara
karena basis ekonomi kapitalisme.
Di sisi lain, masalah defisit anggaran
setiap tahun semakin meningkat dari sebelum pandemi 2019 hingga saat ini. Untuk
tahun ini defisit anggaran dipatok 5,7% terhadap produk domestik bruto (PDB)
atau setara Rp 1.006,4 triliun. Adapun pemerintah telah menggelontorkan
anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 744,75
triliun. Namun kata Didik, anggaran tersebut belum optimal menekan kasus corona di
Indonesia. Justru yang terjadi sebaliknya, kasus melonjak dibandingkan negara
lain di dunia. Anggaran PEN naik, sekarang hasilnya apa? Covid-19 juara dunia,
pertumbuhan ekonomi tetap sangat rendah, mengapa?
Inilah semestinya yang menjadi evalusi.
Apakah penambahan utang Negara mampu menekan angka lonjakan kasus COVID19? Jika
tidak bisa atau bahkan justru meningkat setelah pemberlakukan PPKM, apa yang
mesti dibenahi dalam sistem kesehatan dan perekonomian kita? Menolak untuk
penerapan karantina wilayah sebagaimana amanat UU kesehatan, karena memakai
alasan ekonomi akan merosot dan Negara akan makin terbebani dengan pembiayaan
kebutuhan masyarakat selama karantina. Jelas ini adalah konsep yang fatal dan
keliru. Bagaimanapun Negara memiliki tanggung jawab sebagai pengatur urusan
rakyatnya.
Dalam sistem ekonomi kapitalis
neoliberal, anggaran pemasukan Negara hanya berasal dari 2 arah, yakni pajak
dan utang. Negara melalui elit kapitalisnya akan selalu menggenjot pemasukan
dari pajak. Segala usaha ekonomi akan ditarik pajaknya sebagai arus pemasukan
di dalam anggaran belanjanya. Begitu pula dengan utang, ini menjadi napas bagi
sistem perekonomian kapitalis.
Sangat jauh berbeda dengan ekonomi Islam.
Dalam pandangan Islam,
ekonomi ditegakkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan bagi seluruh
umat, bukan bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu. Jantung ekonomi Islam adalah Baitulmal, bukan perbankan dan
pasar modal.
Di dalam Baitulmal, terdapat bagian-bagian yang sesuai dengan jenis
hartanya. Pertama, bagian fai’ dan kharaj yang meliputi ghanimah,anfal,fai’,khunus,kharaj, status tanah,
jizyah, dan dharibah (pajak).
Kedua, kepemilikan umum meliputi minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut,
sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk
keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum dibuat tempat khusus agar tidak
bercampur dengan harta lainnya.
Ketiga, sedekah yang disusun berdasarkan jenis harta zakat, yaitu
zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; zakat unta, sapi,
dan kambing. Untuk pos zakat juga dibuatkan tempat khusus agar tidak bercampur
dengan harta lainnya. Untuk pemasukan, negara memiliki berbagai jenis harta
yang bisa dikelola untuk membelanjakannya sesuai koridor syariat. Bagian
pembelanjaan ini dilakukan Baitulmal. Inilah gambaran anggaran yang dimiliki Baitulmal,
yang tidak berdiri atas pajak dan utang.
Di sisi lain, paradigma Islam menjiwai pelayanan kesehatan
negara bahwa kepala negara adalah khadimatul ummat (pelayan
umat). Negara tidak mengambil keuntungan sedikitpun semata menjalankan perintah
Allah Swt. dalam mengemban amanah. Semua ini tidak mungkin terwujud
kecuali bila ekonomi negara kuat dan mandiri, fungsi negara
sebagai khadimat al ummah (pelayan umat), tenaga kesehatan
ber-syakhshiyah Islamiyah (integritas muslim).(**)
Post a Comment