Menumpuk Utang di Tengah Pandemi, Demi Keselamatan Rakyat?
(Pemerhati Sosial)
Sampai saat ini wabah Covid-19 masih terus menghantui sejumlah negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Segala upaya dilakukan pemerintah, mulai dari istilah WFH sampai dengan PPKM darurat. Sayangnya, upaya tersebut tak juga menuai hasil, melainkan hanya berujung pada kesengsaraan yang semakin menjadi. Selain kesehatan, terpurukmya perekonomian juga menjadi dampak yang begitu terasa dalam situasi ini, sehingga menjadikan pemerintah lagi-lagi harus menarik utang ke luar negeri.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan alasan di balik keputusan pemerintah terus menambah utang di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, pandemi adalah extraordinary challenge atau tantangan yang luar biasa yang membutuhkan respon kebijakan yang juga extraordinary. Salah satu kebijakan extraordinary adalah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) yang harus menjawab begitu banyak tantangan di masa pandemi ini, seperti kebutuhan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial, membantu masyarakat, membantu daerah, dan menjaga perekonomian. (https://ekbis.sindonews.com (25/7/2021).
Nasib Rakyat dan Negara Semakin Buruk
Masih dari laman sindonews.com (25/7), Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen). Secara rinci, utang melalui pinjaman tersebut berasal dari pinjaman dalam negeri Rp 12,52 triliun. Sedangkan pinjaman luar negeri sebesar Rp 830,24 triliun. Sementara itu, rincian utang dari SBN berasal dari pasar domestik sebesar Rp 4.430,87 triliun dan valas sebesar Rp 1.280,92 triliun.
Saat ini, menggulung utang sebagai solusi atas amburadulnya perekonomian sudah menjadi hal lumrah bagi pemerintah. Akan tetapi, jika mau jujur langkah tersebut bukanlah langkah bijak untuk mengatasi persoalan negeri ini. Bagi rakyat, utang justru menjadikan mereka sebagai bidikan utama untuk melunasi utang tersebut. Jelas, setiap kali negara berutang maka uang rakyat akan dikuras habis melalui pungutan pajak untuk menutupi utang tersebut.
Di samping itu, bagi negara lilitan utang dapat menjerumuskannya dalam jebakan politik yang merugikan. Hal ini berkaitan dengan ancaman kemandirian bangsa karena ketergantungan negeri ini dengan negara lain (asing). Kebijakan yang diterapkan oleh negara disesuaikan dengan kepentingan pihak luar, meskipun memicu banyak mudharat bagi negeri sendiri. Salah satunya, asing bisa mendapatkan hak pengelolaan bahkan pemilikan Sumber Daya Alam secara bebas, yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Alhasil, bukannya perbaikan negeri melainkan krisis yang semakin berkepanjangan.
Dengan demikian, dalih mengutang untuk menyelamatkan rakyat hanyalah alasan klasik yang tak pernah sesuai dengan fakta yang ada. Lagipula, semakin bertambahnya utang negara tak mampu menjawab tantangan di masa pandemi ini. Realitanya, utang negara semakin menumpuk, namun nasib rakyat dan perbaikan ekonomi kian dipertanyakan.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa kini negara telah terjebak dan tak bisa melepaskan diri. Dalam “kesempatan emas” di masa pandami ini, negara luar ingin terus menguatkan dominasi mereka hingga akhirnya menjadikan negeri ini semakin tunduk pada mereka. Sungguh inilah potret kehidupan yang buruk.
Dalam penerapan sistem negara berbasis Kapitalisme, salah prioritas adalah sebuah keniscayaan. Kebijakan yang ada tidak pernah terlepas dari kepentingan pemodal yang rakus materi, sementara maslahatnya bagi rakyat jelas nihil belaka. Bagaimana tidak, pertimbangan untung-rugi senantiasa menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakan negara, sehingga rakyat minim perhatian. Untuk itu, menjadi persoalan mendesak untuk mencampakan sistem yang menyusahkan manusia ini kemdian mencari sistem pengganti terbaik yang akan mewujudkan kebaikan bagi seluruh manusia.
Bebas Utang dengan Sistem Islam
Nyawa perekonomian berbasis utang adalah tabiat kapitalisme. Tentu, bukan menjadi solusi terbaik, tetapi justru menambah masalah baru bahkan melemahkan keuangan negara. Maka, solusi tuntas atas keadaan ini adalah dengan kembali kepada sistem kehidupan yang berdasarkan tuntunan Illahi, yaitu Islam. Keberadaan agama Islam bukan hanya mengatur urusan ibadah ritual, melainkan juga negara, termasuk dalam hal pemasukan negara yang harus berdasar pada sumbernya yang sahih.
Hakikatnya, pemimpin dalam Islam senantiasa memikirkan kemaslahan umat, bertanggungjawab dalam mengurus seluruh kebutuhan rakyat. Untuk mewujudkan hal itu, dalam hal aktivitas perekonomian, sumber pemasukan negara meliputi: Pertama, harta kepemilikan negara berupa ghanimah, kharaj, jizyah, fai’ serta pajak yang hanya ditarik dari muslim yang kaya apabila kas negara benar-benar kosong. Kedua, hasil pengelolaan harta kepemilikan umum, seperti barang tambang, hutan, dan lainnya. Ketiga, adalah sumber pendapatan lain, seperti zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas, dan perak. Dengan sumber pemasukan yang beragam sebagaimana diatur oleh Islam ini, maka dapat memenuhi seluruh kebutuhan negara untuk keperluan dalam negeri, termasuk di masa wabah tanpa mengobral utang kepada asing.
Sayangnya, pengaturan ini tidak akan berlaku selama kapitalisme masih berpijak di negeri kaya ini. Hanya Islam satu-satunya sistem yang mampu meghadirkan solusi tuntas atas problematika turun-temurun negeri ini, sehingga mampu berdiri mandiri dalam membangun negara. Hal inipun menjadi potret kegemilangan sejarah peradaban Islam selama 14 abad lamanya bagi kehidupan manusia dalam segala bidang. Wallahualam bissawab.(**)
Post a Comment