Utang Bertambah, Solusi Salah Kaprah
Oleh: Lisa Aisyah Ashar (Mahasiswa USN Kolaka)
Dampak pandemi yang kian pesat
melumpuhkan perekonomian negara. Dalam mengatasi hal tersebut, jalan pintas
yang ditempuh adalah menambah utang. Utang seolah bukan menjadi sesuatu yang
tabu lagi, bahkan Menteri Keuangan mengklaim utang menyelamatkan warga negara
dan perekonomian.
Dilansir dari CNN Indonesia,
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang merupakan salah satu instrumen
untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi Covid-19.
Pasalnya, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang
salah satunya bersumber dari utang.
"Kenapa kita harus
menambah utang, seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal, dia (utang)
adalah merupakan instrumen whatever it takes, untuk menyelamatkan warga negara
dan perekonomian kita," ujarnya dalam acara Bedah Buku Mengarungi Badai
Pandemi, Sabtu (24/7).
Bendahara Negara menjelaskan
APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi Covid-19. Di satu sisi,
belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial
kepada masyarakat terdampak, bantuan kepada dunia usaha, dan lainnya.
Kemenkeu mencatat jumlah utang
pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Utang, Solusi Praktis
Kapitalisme
Utang dan defisit anggaran
yang mengalami pembengkakan menjadi tanda tanya besar publik, mengapa negara
kembali berutang? Padahal belum usai terlepas dari lilitan utang di tengah masa
pandemi yang kian pelik. Selain itu, menjadi tanda tanya besar pula, wujud dari
kemandirian negara yang terlalu bergantung pada utang. Padahal pembayaran pajak
selalu diberlakukan guna mengurangi beban utang negara, pajak yang dibebankan
kepada masyarakat kini selayaknya tulang punggung negara.
Menggantungkan harapan
tercapainya keselamatan warga dan perekonomian negara pada utang adalah sebuah
kekeliruan, bagaikan sebuah peribahasa “gali lubang tutup lubang”. Selain itu,
menambah utang hanyalah solusi praktis, karena kedepannya dalam jangka panjang
tentu harus memikul utang sekaligus bunga yang diberikan. Menyadari belanja
negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada
masyarakat terdampak Covid-19 serta kebijakan-kebijakan lainnya, nyatanya tak
beriringan dengan realitas di masyarakat. Masih melekat dalam ingatan,
bagaimana dana Bansos yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat justru
melenceng dari koridor. Menyatakan utang ditujukan untuk keselamatan warga dan
perekonomian negara adalah suatu hal yang tak sejalan dengan kebijakan keuangan
yang obral insentif untuk BUMN hingga investasi.
Jika menilik akar dari
permasalahan yang terjadi, dalang dari semuanya tidak lain adalah bersumber
pada penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang masih setia diberlakukan dalam
kehidupan, meskipun kerusakannya kian nampak menggerogoti. Tak lepas dari
tabiatnya yang tamak, mekanisme utang dalam sistem kapitalisme berdampak
kerugian yang besar dengan diberlakukannya bunga sekian persen.
Dengan utang, negara akan
kehilangan kedaulatan dan mudah dikendalikan. Baik dari pembuatan peraturan UU
maupun penguasaan SDA nya. Utang adalah alat penjajahan gaya baru (neo
imperialisme) untuk negara berkembang yang punya kekayaan alam melimpah seperti
Indonesia.
Dengan prinsip kapitalisme,
kekayaan negara akan diserahkan kepada asing untuk dikelola. Negara berlepas
diri menyerahkan sepenuhnya perekonomian pada mekanisme pasar bebas (neo
liberal). Akibatnya kekayaan alam negara habis dikeruk demi kepentingan pribadi
ketimbang memikirkan persoalan perut warga negara, terlebih lagi memikirkan
terkait utang negara. Padahal, SDA seyogyanya dikelola oleh negara untuk
kesejahteraan rakyat.
Solusi Islam Mewujudkan
Kemandirian Negara
Kemandirian negara terletak
pada kesejahteraan masyarakatnya yang tidak bergantung sepenuhnya pada utang.
Sistem ekonomi dalam Islam tidak membenarkan utang menjadi tumpuan
menyelamatkan negara, terlebih lagi mekanisme utang secara riba, sebab akan
berdampak negatif dalam jangka panjang. Selain itu, Islam mengharamkan
mengambil riba. Sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur'an,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran [3]: 130).
Islam tidak melarang negara
berutang jika berada dalam kondisi mendesak, selagi dalam hal yang dibenarkan
syariat dan tanpa mematok suku bunga (riba).
Solusi mengatasi masalah utang
negara serta mewujudkan kemandirian negara, dapat diperoleh dengan kembali
kepada syariat Islam Kaffah yang mampu mengatur sistem ekonomi negara dengan
sistem baitul mal. Dimana diperoleh melalui tiga setor yaitu, harta kepemilikan
negara, umum dan zakat mal.
Dalam Islam harta yang menjadi
kepemilikan umum, seperti tambang, hutan, minyak bumi dll, tentu akan dikelola
demi kepentingan umat. Tidak selayaknya sistem kapitalisme, yang menjadikan
sumber daya alam Indonesia kini hampir habis dirayap para korporasi asing.
Sistem baitul mal mengelola
tiga sektor dengan baik yang ditujukan mewujudkan kemandirian negara dan
kesejahteraan umat. Bahkan dalam kondisi mendesak sekali pun, jika diharuskan
pengambilan pajak (dharibah), tidak terkesan membebankan terlebih lagi,
menjadikan pajak bagaikan tulang punggung. Kondisi pengambilan pajak hanya
dilakukan jika baitulmal kosong.
Selain itu, mengatasi
terjadinya defisit anggaran dengan mengoptimalkan pengeluaran pada sesuatu yang
urgensi, sehingga tidak terjadi penggunaan anggaran yang terbuang sia-sia untuk
pembangunan infrastruktur yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Secara mekanisme sistem
ekonomi dalam Islam sangatlah efektif mengatasi persoalan ekonomi negara, akan
tetapi segala penerapan tidak dapat terwujud tanpa adanya negara yang
menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh). Tidak lain hanyalah Khilafah
Islamiyyah. Wallahualam bisshawab.(**)
Post a Comment