Vaksin berbayar, Benarkah mempercepat Proses Vaksinasi Masyarakat ?
Rasyidah (Mahasiswa STAI YPIQ BAUBAU)
Hipokrasi negeri ini, semakin
nyata dalam mengatasi pandemi. Kebijakan linglung dan implementasi yang
amburadul telah nyata membuat umat semakin menderita. Hal itu didukung oleh
kebijakan Pemerintah yang telah mengeluarkan aturan baru terkait vaksinasi
mandiri atau disebut Gotong Royong yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.19/2021 sebagai perubahan Permenkes No.10/2021 (Bisnis.com, 12/8/2021).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi
Sadikin juga telah menegaskan bahwa Vaksinasi Gotong Royong merupakan pilihan
bagi masyarakat dalam mengakses vaksin Covid-19. “Prinsipnya pemerintah membuka
opsi yang luas bagi masyarakat yang ingin mengambil vaksin Gotong Royong baik
melalui perusahaan maupun melalui individu,” katanya dalam konferensi pers,
dikutip dari YouTube Setpres, Senin (12/7/2021).
Rencananya vaksin Covid-19
mulai bisa diakses masyarakat secara individu mulai Senin (12/7). Untuk tahap
awal, vaksin bisa dibeli di sejumlah gerai Kimia Farma dengan harga pembelian
Rp 321.600 per dosis dan tarif maksimal pelayanan sebesar Rp 117.910.
Pelaksanaan vaksinasi Covid-19
berbayar didukung oleh Kimia Farma dan Bio Farma. Dikutip dari siaran pers PT
Kimia Farma Tbk (KAEF), vaksinasi gotong royong jalur individu ini sejalan
dengan Peraturan Menkes nomor 19 tahun 2021. Aturan ini memang mengubah
beberapa poin mengenai mekanisme vaksinasi gotong royong.
Seperti yang dilansir pada
Republika.co.id (15/7/2021)
melalui Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan kebijakan ini
sebagai alternatif untuk mempercepat pelaksanaan program vaksinasi nasional
demi terciptanya kekebalan kelompok. Arya menegaskan,
meski program vaksin berbayar berjalan
bukan berarti program vaksin gratis
ditiadakan. Arya Juga menegaskan bahwa "Tujuannya pelaksanaan vaksinasi
semakin cepat. Masyarakat semakin banyak pilihan" katanya.
Hidup dalam naungan sistem
kapitalis-sekuler sangat jelas menyesengsarakan rakyat. Hal demikian
digambarkan dari hipokrasi penguasa saat ini dalam memberikan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat. Penguasa yang seharusnya sebagai penyedia pelayanan
kesehatan masyarakat, wajib memberikan pelayanan penuh secara optimal terhadap
masyarakat, tanpa harus memungut biaya sepersen pun.
Namun, justru penguasa malah
membuka luas pelayanan kesehatan yakni vaksnisasi mandiri atau vaksinasi gotong
royong yang katanya menjadi pilihan bagi
masyarakat dalam mengakses vaksin Covid-19, itulah yang terlintas di benak para
penguasa. Tapi bukan kah hal itu adalah alasan demi kepuasaan para korporasi
belaka, tanpa mempertimbangakan nasib masyarakat yang memeliki keterbatasan
ekonomi minim kebawah.
Kebijakan pemerintah terkait
vaksinasi gotong royong (vaksin berbayar) ini perlu tindak lanjut secara
detail. Apakah kebijakan tersebut adalah benar-benar bentuk opsi dalam proses
percepatan vaksinasi bagi masyarakat atau ada maksud lain dari vaksiniasi
tersebut.
Pemerintah bertindak tanpa
berfikir , yakni selalu saja membuat kebijakan
dengan asal-asalan tanpa dirundingan oleh banyak pihak. Alih-alih
mempercepat tercapainya kekebalan komunal atau herd immunity melalui vaksinasi,
program ini justru mendapat banyak kritikan dan kecaman dari banyak pihak,
khususnya bagi masyarakat yang memeliki kemampuan ekonomi minim kebawah.
Kebijakan
yang sering kali mengecewakan masyarakat, seolah menegaskan bahwa kebijakan
yang dibuat memang ditunggangi banyak kepentingan, baik kepentingan internal
maupun eksternl. Misalnya saja kepentingan bisnis sektor Kesehatan seperti
vaksinasi. Padahal, vaksinasi sedang berlomba dengan menjalarnya virus ke
tengah masyarakat.
Pemerintah hari ini sering kali
lari dari tanggung jawabnya dan
itu sangat jelas dalam melegalkan vaksinasi gotong royong atau vaksinasi
mandiri tersebut, yakni pemerintah seenaknya saja dalam melegalkan kebijakan
tentang vaksinasi, padahal dalam proses vaksinasi itu butuh proses prosedural
dan mekanisme yang lama, sehinga meminimalisir jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.
Masa
pandemi yang belum juga reda serta berbagai problematik yang muncul karenanya,
adalah bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam menanggulangi pandemi. Sistem
batil yang menjadikan akal manusia sebagai pemutus perkara, telah menghantarkan
pada kebijakan yang hanya mengakomodasi kepentingan penguasa.
Penguasa
yang sesungguhnya dalam sistem ini adalah para pemilik modal. Lihat saja
bagaimana para pejabat begitu membungkuk dan menggelar karpet merah pada
korporasi, agar kemaslahatan mereka terlindungi. Jadi wajar jika kebijakannya
disetir oleh korporasi.
Berbeda
dengan Islam, sistem buatan Allah SWT yang menjadikan syariat yang dibawa Nabi
menjadi pemutus seluruh perkara. Sehingga para penguasa dalam Islam hanya
membungkuk dan bersujud pada Allah SWT. Seluruh kebijakannya independendan
sanagt begitu sistematik terbebas dari setiran pihak mana pun. Dan menjadikan
kemaslahatan rakyat sebagai fokus utamanya.
Kebijakan
Khalifah yang berdiri sendiri tanpa campur tangan asing, telah menghantarkan
pada kebijakannya yang selalu ada maslahat bagi umat. Gelontoran dana begitu
besar kepada para peneliti, untuk bisa cepat menemukan vaksin yang aman dan
efektif. Daulah tidak mengandalkan vaksin dari negara lain.
Terkhusus
di bidang jaminan kesehatan, negara tak hanya bicara tentang layanan dasar
seperti penyediaan tenaga medis yang mumpuni, faskes, dan obat-obatan yang
memadai, aman, dan membantu kesembuhan, tapi juga membahas soal ketahanan
pangan, kecukupan gizi, kesehatan lingkungan, mitigasi bencana atau wabah,
riset saintek, dan sebgainya.
Tapi
tentu saja, riset vaksin negeri muslim dalam sejarah tersebut terbukti
efektivitasnya karena dilahirkan oleh negara berideologi Islam, Khilafah
Islamiah. Para Khalifah saat itu adalah mereka yang amanah yang memegang teguh
sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab
terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Sabda
Rasulullah saw tersebut menunjukkan bahwa keberadaan ideologi ini penting
dijadikan arah pandang penanggulangan pandemi, termasuk perihal penyediaan
vaksin. Yang mana sebaliknya menurut ideologi kapitalisme milik Barat, vaksin
adalah varian intrumen penjajahan ideologis yang menargetkan negara-negara
berkembang dan miskin, yang didominasi oleh negeri-negeri muslim. Wallahu
A’lam Bisshowab.(**)
Post a Comment