Impor Cabai, Membunuh Petani Di Kala Pandemi
(Pemerhati
Sosial Asal Konawe)
Dalam sepekan ini, beredar video
yang memperlihatkan seorang petani cabai mengamuk dan merusak kebun cabai
miliknya. Kemarahannya ini diduga akibat harga cabai dipasaran turun. Petani
tersebut diduga kesal dan melampiaskannya dengan cara menginjak – injak tanaman
cabai di kebunnya. Video viral tersebut sempat beredar di akun Instagram
@andreli48,Rabu (4/8) lalu. Video ini lantas mengundang beberapa reaksi netizen
(Radartegal.com, 29/08/2021).
Banyak yang geram karena justru
aksi petani tersebut dianggap semakin merugikan diri sendiri, banyak juga yang
simpati dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang malah mengimpor cabai
padahal data produksi aneka cabai nasional masih surplus.
Senada dengan hal tersebut, Anggota
Komisi IV DPR RI Slamet menanggapi video viral tersebut. Slamet mengatakan,
harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah yang seharusnya
menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindungi
petani Indonesia. Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani
kita semakin sengsara, ujarnya, Jumat (27/8) lalu. Slamet pun menyatakan
impor cabai di semester I 2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54 persen dibanding
tahun 2020 sebesar 18.075 ton.
Angka tersebut meningkat jika
dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak
18.075,16 ton dengan nilai US$ 34,38 juta. Cabai yang diimpor pemerintah pada
umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah. Ini menunjukkan
betapa pemerintah memang tidak berpihak kepada petani kita, jelasnya.
Kata Slamet, pemerintah perlu
melihat kembali kepada kebijakan pangan yang menjadi landasan kerja era Kabinet
Indonesia Maju. Seperti diketahui kebijakan pangan yang tertuang dalam nawacita
kedaulatan pangan muaranya adalah peningkatan kesejahteraan para petani (Radartegal.com,
29/08/2021).
Namun, pada faktanya pemerintah
masih impor dengan alasan untuk kebutuhan industri dan cabe yang di impor
adalah cabe kering bukan cabe segar (Bisnis.com, 25/08/2021).
Dengan banyaknya kecaman bahkan
melihat aksi petani yang geram dengan kebijakan pemerintah, lantas tak
membuat pemerintah berhenti mengimpor pangan semisal cabai dalam keadaan
surplus.
Pun tak mengindahkan rintihan dan
tetesan keringat petani apalagi ditengah pandemi. Hal tersebut menambah derita
rakyat yang minim pengurusan oleh penguasa.
Seharusnya pemerintah memperbaiki
kebutuhan industri pangan apalagi dalam kondisi surplus, bukan
dengan dalih untuk menstabilkan harga pasar namun justru nilai jual dari pangan
tersebut anjlok. Hal ini mengakibatkan lepas tangan penguasa terhadap pemenuhan
kebutuhan rakyatnya karena orientasinya hanya mengembalikan modal politik dan
mempertahankan kekuasaan meski harus mengorbankan rakyat. Hal itu
merupakan watak dari sistem kapitalisme yang hanya memikirkan keuntungan semata
dan mengabaikan urusan rakyatnya.
Lain halnya dengan sistem Islam, kebijakan
pengurusan kebutuhan industri pangan ditempuh dengan jalan intensifikasi dan
ekstensifikasi.
Intensifikasi yaitu penggunaan
sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, sistem Islam akan
menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi
pertanian. Keberadaan diwan ‘atha
(biro subsidi) dalam baitulmal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para
petani menjadi prioritas pengeluaran baitulmal.
Kepada para petani diberikan
berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk, baik modal,
peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dan sebagainya, baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka, seluruh lahan
yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian,
jalan, komunikasi, dan sebagainya, sehingga arus distribusi lancar.
Adapun ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan
pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat
mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Di
antaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang
diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr)
bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat
memberikan tanah pertanian (iqtha’)
yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.
Sementara itu,
persoalan keterbatasan lahan juga dapat
diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan
merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu
mengolahnya. Hal itu
sebagaimana yang dilakukan masa Umar bin
Khaththab di Irak.
Selain itu, negara akan menerapkan
kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
nonpertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area
perumahan dan perindustrian.
Di samping itu, negara juga tidak
akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak
ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka
lahan tersebut diambil alih oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang
mampu mengolahnya.
Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang
mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan
kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya
diambil.” (HR Bukhari)
Dalam sistem islam juga
memperhatikan kestabilan harga dengan cara: Pertama, menghilangkan
distorsi mekanisme pasar syariat yang sehat seperti penimbunan, intervensi
harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar
harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Saw. melarang penimbunan
makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Jika pedagang, importir, atau siapa
pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar.
Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai
kebijakan sistem islam dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang
dilakukannya.
Di sisi lain, Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul
bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga
kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah
untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR
Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Adanya asosiasi importir, pedagang,
dan sebagainya, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk
intervensi dan dilarang.
Kedua, menjaga keseimbangan supply dan demand. Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga
naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali pangan, segera
menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain.
Apabila pasokan dari daerah lain
juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor
hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual
beli. Sebagaimana Allah Swt. Berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275, “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat ini umum, menyangkut
perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan
tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga
negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang
dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Misalnya Perajin tempe secara
individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak
akan terjadi kartel importir.
Demikianlah sekilas bagaimana
syariat Islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariat
lainnya, yang bila diterapkan secara menyeluruh niscaya kestabilan harga pangan
dapat dijamin, ketersediaan komoditas, bahkan swasembada, dan pertumbuhan yang
disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.(**)
Post a Comment