Maraknya Penambangan Pasir Liar di Mubar, Mengapa Tak Kunjung Tuntas?
Oleh: Husnia (Pemerhati Sosial)
Dilansir dari Sultranesia.id (1/10/2021), Aktivis dari Aliansi
Pemerhati Lingkungan Sulawesi Tenggara (APL Sultra) berunjuk rasa di DPRD Muna Barat
(Mubar). Mereka menyuarakan
penolakan terhadap maraknya penambangan
pasir liar di sepanjang aliran Selat Tiworo, sebab dinilai
tidak memperhatikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Akibatnya, saat ini terjadi
erosi yang cukup parah, bahkan terdapat laporan
bahwa terjadi kerusakan terumbu
karang di sekitar penambangan pasir.
Apabila melihat dampak penambangan liar ini lebih jauh,
maka sudah sangat meresahkan. Utamanya kepada masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan yang
menggantungkan nasib keluarganya pada lingkungan pesisir.
Hal ini seperti ungkapan
Ketua Serikat Nelayan Nahdatul Ulama (SNNU) Kabupaten Muna Barat (Mubar), Sulawesi Tenggara, La
Ode Dedi. Ia menuturkan
bahwa memang aktivitas ini
menguntungkan bagi segelintir orang, namun kerugiannya lebih besar karena merusak
lingkungan. Apalagi, kehidupan ekosistem bawah laut
seperti terumbu karang dapat dirusak dan berdampak pada kehidupan ikan di laut.
Sehingga, produktivitas nelayan
menurun.
Menanggapi ungkapan di atas,
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Mubar, Ir. H. Djono mengatakan, tahun ini
Pemda Mubar akan membangun pos pengawasan terumbu karang untuk mengawasi ilegal
fishing dan tambang pasir ilegal. Pos ini disediakan dengan teropong digital sehingga dapat mengambil gambar
sebagai bahan laporan atas tindakan ilegal fishing, selanjutnya bisa ditindak secara hukum. (telisik.id, 16/4/2021)
Akan tetapi, sejauh ini pemerintah setempat belum
menghadirkan solusi tuntas untuk menyelesaikan persoalan ini. Sekiranya sajian
fakta di atas cukup memberi gambaran bahwa penambangan ilegal, khususnya
penambangan pasir masih terus terjadi bahkan semakin parah. Begitu pula dengan
perusakan terumbu karang yang sampai saat ini belum juga ada tindakan tepat dan
nyata untuk menghentikan aktivitas oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab
tersebut secara cepat. Sebaliknya, persoalan ini terkesan dibiarkan
berlarut-larut sehingga semakin banyak yang terdampak.
Maka wajar jika rakyat muak dan menuntut pemerintah, sebab
mereka menganggap bahwa pemerintah beserta jajarannya hanya
menebar janji tanpa pembuktian. Tak ada langkah cepat yang terwujud, meskipun kerusakan
lingkungan semakin parah dan rakyat kecil semakin dirugikan.
Jelas hal ini bukan tanpa dasar, sebab sistem hidup
kapitalisme yang diadopsi negeri inilah biang dari sikap lelet dan setengah
hati pemerintah mewujudkan aspirasi rakyat. Asas
manfaat yang menjadi tabiatnya menjadikan wakil rakyat yang hidup di bawah naungannya
tidak merakyat. Bagaimana tidak, perhitumgan untung rugi di dalamnya membuatnya
akan mengerjakan sesuatu ketika ada manfaat yang akan
diterima. Sebaliknya, ketika
kinerja tersebut tak bernilai apapun maka mereka seolah buta dan tuli terhadap persoalan
rakyat. Inilah wajah kapitalisme yang
semuanya dikendalikan oleh
materi.
Berharap
pada sistem
kapitalisme menyelesaikan problematika rakyat, rasanya mustahil untuk mewujudkan kebaikan bagi
kehidupan rakyat. Pencemaran dan kerusakan lingkungan pun
semakin hari kian miris, manusia yang tidak bertanggung jawab semakin berani berbuat kerusakan. Mestinya pemerintah mengambil tindakan tegas
terhadap kasus semacam ini, sebelum
semakin banyak kerusakan lainnya hanya demi
kepentingan segelintir orang.
Namun sikap diam pemerintah hari ini rasanya cukup menunjukan bahwa mereka memang membiarkan para
perusak itu bebas berkeliaran. Padahal hukuman bagi pelaku kerusakan
lingkungan telah
tertuang dalam Undang-Undang. Satu di
antara rentetan Pasal yang mengaturnya seperti dalam Pasal 41 Undang-undang
Lingkungan Hidup (UULH) menyebut, “Berdasarkan niatnya maka seseorang dapat
dituntut pidana, yang sengaja mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima
ratus juta rupiah..” Dan masih ada lagi pasal-pasal yang lainnya.
Sayangnya, lagi-lagi dengan sajian fakta yang terjadi di
daerah Muna Barat (Mubar) maupun daerah lainnya lebih dari cukup untuk membuka
mata kita bahwa hukum di negeri ini pun tidak bisa dijadikan tumpuan harap agar
persoalan kerusakan lingkungan dapat dituntaskan.
Untuk itu, tidak ada jalan penyelesaian selama masih
berpijak pada sistem kapitalisme. Satu-satunya solusi terbaik adalah dengan
menghempaskan sistem ini dan menggantinya dengan sistem
terbaik, aturan Illahi yaitu Islam. Islam adalah agama yang
sempurna, tak hanya menjaga
manusia tetapi juga makhluk lainnya. Bahkan ketika aturan Islam diterapkan dalam naungan Negara, maka kesejahteraan menjadi milik bersama penghuni bumi, bukan segelintir orang yang menghalalkan segala cara.
Islam
memandang penambangan
liar yang berakibat pada rusaknya ekosistem laut dan lingkungan di sekitarnya, akan mencegahnya sedini
mungkin agar kebaikan bagi seluruh makhluk hidup tetap terjaga. Bagaimana
sistem Islam memberikan solusi terhadap penambang ilegal? Pertama, membekali individu setiap warga negara dengan ketakwaan
kepada pencipta yakni Allah SWT,
sehingga membentuk kejujuran, kepedulian kepada sesama makhluk dan lainnya.
Kedua,
adanya kontrol dari masyarakat. Individu yang melakukan kerusakan seperti penambangan ilegal akan di cegah oleh
masyarakat lainnya. Ketiga,
adanya sanksi tegas dari negara
yang membuat jera pelaku
sebagai langkah penanganan dan pencegahan, sehingga
tidak terjadi kerusakan yang merugikan masyarakat berikutnya.
Hal itu karena pemimpin Islam sangat memperhatikan
rakyatnya, dimana tujuannya duduk di tampuk kekuasaan semata-mata hanya untuk
menyejahterakan rakyat.
Sungguh, dalam kehidupan Islam inilah, segala bentuk
kerusakan di muka bumi sebagai ulah tangah manusia dapat dituntaskan secara
solutif. Maka tak
ada jalan lain, selain mewujudkan kehidupan Islam di negeri ini, bahkan di
seluruh dunia agar mencapai kebahagiaan dan kebaikan yang total. Wallahu alam bi shawwab.(*)
Post a Comment