Ngotot Proyek IKN, Demi Apa?
Oleh : Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)
Presiden Joko Widodo menegaskan proyek
pembangunan ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur akan
tetap berjalan. Dikutip dalam tayangan video di channel YouTube Kompas TV
Senin, 27/9/2021. Pernyataan senada disampaikan oleh Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan,
persiapan pemindahan ibu kota tetap berlanjut meski terhambat pandemi Covid-19.
Walau pandemi menghadang, tak menyurutkan langkah pemerintah membangun proyek
infrastruktur yang menelan biaya Rp466,98 triliun.(muslimahnews.com,
6/10/2021).
Menanggapi hal tersebut, Ahli Tata Kota Nirwono
Yoga menyarankan kepada presiden untuk menunda rencana pembangunan IKN baru.
Menurutnya, jika pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan rencana tersebut di
tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum selesai, jelas akan melukai hati
rakyat. (VOAindonesia, 25/8/2021)
Politikus Partai Demokrat Irwan juga mengatakan,
agar pembahasan RUU IKN–yang menjadi legal standing proyek ini–tidak
terburu-buru. Menurutnya, jangan ada kesan pembahasan RUU IKN tergesa-gesa demi
mengejar target groundbreaking atau pembangunan fisik semata.
Publik memang layak mempertanyakan keberlanjutan
pembangunan IKN. Mengapa pemerintah bersikukuh melanjutkan proyek IKN,
sementara kondisi ekonomi dan keuangan negara masih tertatih-tatih terhantam
pandemi?
Padahal, kita ketahui bersama, upaya pemulihan
ekonomi dan penanganan pandemi banyak memakan biaya yang sangat besar.
Terlebih, negeri ini terlilit utang yang terus meningkat. Bahkan, pemerintah
menarik Special Drawing Rights atau SDR dari Dana Moneter Internasional atau
IMF sebesar Rp90,23 triliun lantaran butuh suntikan dana tambahan untuk pemulihan
ekonomi. Jika tak mampu, janganlah memaksakan diri. Kehendak dan ambisi yang
dipaksakan akan rentan memunculkan berbagai masalah, lanjutan, seperti
pembangunan mangkrak, utang membengkak, atau lingkungan rusak akibat lahan yang
“digunduli” karena pembebasan lahan dalam membangun proyek IKN.
Masalah yang timbul akan makin kompleks, karena Deputi Bidang Pengembangan Regional
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas, Rudy S.
Prawiradinata pada 2 September lalu mengatakan pembangunan IKN tidak akan
semata-mata mengandalkan APBN. Artinya, pembangunan IKN membuka peluang
investasi besar bagi siapa pun. Berkenaan dengan investasi, pastinya para
kapitalis yang paling bergembira dengan hal ini.
*Buah Dari Kapitalisme Demokrasi*
Apa yang menyebabkan Indonesia begitu
ngos-ngosan dalam membiayai negara? Padahal, negeri ini memiliki kekayaan
sumber daya alam yang melimpah ruah. Kaya kok banyak utangnya? Semua ini
terjadi karena penerapan kapitalisme neoliberal. Sistem ekonomi kapitalisme
membenarkan terjadinya penguasaan harta kekayaan rakyat menjadi milik individu,
swasta, atau asing.
Sistem politik demokrasi juga menjadi biang
kerok bagi negeri ini. Atas nama kebebasan kepemilikan, penguasa memberi jalan
bagi swasta atau asing untuk memperjualbelikan kekayaan negara. Penguasa juga
kerap melegalkan UU demi melancarkan kepentingan korporasi/asing. Jika UU-n-ya
tak sesuai, bisa diubah dengan usulan RUU atau revisi UU yang ada agar sejalan
dengan kepentingan mereka. Untuk apa membangun ibu kota baru jika pada akhirnya
negara tidak bisa mandiri dalam hal pembiayaan? Buat apa juga ada ibu kota baru
jika bukan untuk kemaslahatan rakyat?
*Infrastruktur Menurut Islam*
Dalam menyikapi proyek-proyek “wah” seperti
IKN, Islam tidak akan memberlakukan kebijakan yang tidak urgen. Semua
pembangunan infrastruktur berlangsung untuk memenuhi kebutuhan serta
mempermudah rakyat dalam menikmatinya. Negara akan berfokus pada pengurusan
kemaslahatan yang lebih penting, seperti penanganan wabah, pemulihan sistem
kesehatan, pemberian bantuan ekonomi kepada rakyat, serta pendistribusian
kebutuhan pokok secara adil dan merata.
Seperti inilah sistem pemerintahan Islam.
Sistem ini menempatkan rakyat sebagai pemilik sejati kekuasaan. Sementara
penguasa, posisinya sebagai pemegang amanat umat untuk memimpin dan mengatur
mereka dengan syariat Islam. Oleh karenanya, tak ada yang bisa menyetir
penguasa kecuali syariat dan kemaslahatan umat. Jika penguasa berkhianat,
cukuplah hal itu sebagai alasan bagi umat untuk mencabut mandat.
Baginda Rasulullah saw. dan para khalifah
setelahnya benar-benar menjadi teladan kepemimpinan ideal. Mereka berjalan di
atas rel syariat serta menjadikan kepentingan rakyat dan negara sebagai hal
yang utama. Mereka tak berambisi membuat proyek-proyek mercusuar semata demi
prestise, apalagi karena pesanan. Mereka fokus memastikan kebutuhan dasar
rakyat terpenuhi dengan maksimal dan wibawa negara tetap kukuh terjaga. Paradigma
pengurus dan penjaga yang ada pada para pemimpin Islam begitu melekat kuat.
Hingga rakyat pun hidup dengan rasa aman dan diliputi kesejahteraan.
Tidakkah kita semua merindukan untuk hidup
damai dalam Sistem Islam ini? Mari bersama bersinergi untuk mewujudkannya,
Allahu Akbar.
Wallahu a'lam bishowwab.(*)
Post a Comment