Kapitalisme Lahan Rasuah, Nihil Efek Jera. Ini Solusinya.
Oleh : Annisa Al Maghfirah
(Relawan Media)
"Tikus-tikus berdasi dan
orang-orang yang korupsi sana sini entah di pusat ataupun di daerah-daerah.
Selama ada kesempatan meraup materi, uang haram tak terpeduli. Persetan dengan
dosa dan penjara."
Menguak Dugaan Korupsi di
Buteng
Untuk mendapatkan proyek di
suatu daerah, transaksional fee bukan rahasia lagi. Kegiatan transaksional
tersebut kini tengah di kejar Komisi Anti Rasuah Republik Indonesia hingga
kepemerintah Kabupaten/Kota. Terendus ada Isu dugaan bagi-bagi proyek dari
Kuasa Pengguna Anggara (KPA) kepada kontraktor maupun bukan kontraktor
dibebankan wajib pembayaran fee yang nilai pembebanannya sangat fantastis
kisaran 10 sampai 15 persen di Kabupaten Buton Tengah.
Menanggapi hal tersebut, Tim
Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), M. Muslimim Ikbal menegaskan praktik fee proyek itu tidak dibenarkan dan
sangat bertentangan dengan hukum, untuk itu baiknya dilaporkan ke KPK langsung
agar dapat ditindaklanjuti. (MediaKendari.com, 25/10/2021)
Jika terbukti ada praktik
korupsi, maka Buton Tengah menjadi jejeran koleksi daerah-daerah yang memiliki
kasus korupsi. Sudah terlalu sering, lagi dan lagi korupsi menggurita di negeri
ini. Mari kita nantikan.
Korupsi Menggurita Sebab
Kapitalisme-Sekuler
Individu yang baik tidak
mungkin muncul dari sebuah sistem yang buruk, demikian pula sistem yang baik,
tidak akan berarti banyak bila dijalankan oleh orang-orang yang korup. Korupsi
rutin dilakukan di negeri ini. Mengalahkan rutinnya resep meminum obat dokter.
Tidak terpungkiri, rasuah
memang seringkali terjadi dalam proses proyek di sistem kapitalisme. Suap,
tawar menawar antar orang-orang disekitaran proyek menjadi seperti ladang
mendulang puing-puing uang haram. Tak peduli proyek berjalan dengan baik atau
tidak. Lembaga yang mengawasi rasuah dalam sistem kapitalisme pun tidak bisa
berbuat banyak. Sebab, sejatinya kapitalisme memang menjadi wadah aktivitas
haran ini (baca : korupsi).
Apatahlagi sanksi yang ada
tidak cukup ampuh mengatasi tikus berdasi. Bisa diremisi, disunat, asal para
tikus tetap riang dibalik jeruji. Tak dinafikkan, dalam sistem kapitalis
demokrasi yang berasas pada aspek manfaat dan keuntungan membuat negeri ini
melahirkan para pejabat ataupun orang-orang bermental korup. Beginilah jika
sistem yang ada tidak mengindahkan aturan Ilahi. Sungguh berbeda dengan sistem
Islam.
Atasi Korupsi dengan Aturan
Ilahi
Kesempurnaan sistem Islam
terlihat dari aturan yang jelas tentang penggajian, larangan suap-menyuap,
kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaan terlebih para pejabat serta
penguasa, kewajiban pemimpin untuk menjadi teladan, serta sistem hukum yang
sempurna plus membuat jera.
Para pejabat adalah pengemban
amanah yang berkewajiban melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya. Untuk
menjamin profesionalitas aparat negara, maka mereka diberikan penggajian yang layak. Ini adalah
keharusan sehingga para pejabat beserta bawahannya tidak tergiur untuk
melakukan rasuah ataupun disuap. Pembangunan di suatu wilayahpun agar diawasi
semaksimal mungkin agar proyek pembangunan berjalan lancar, bermanfaat bagi
rakyat serta bebas dari praktik yang tidak dibenarkan oleh syara.
Guna mencegah terjadinya abuse
of power, Khalifah Umar bin Khattab misalnya, melarang para pejabat berdagang.
Umar memerintahkan kepada semua pejabat agar berkonsentrasi penuh pada
pekerjaannya, sekaligus menjamin seluruh kebutuhan hidup aparat negara dan
keluarganya.
Sistem Islam melarang aparat
negara menerima suap dan hadiah/hibah. Suap adalah harta yang diberikan kepada
seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk
memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan
olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apa pun (termasuk fee).
Setiap bentuk suap, berapa pun
nilainya dan dengan jalan apa pun diberikannya atau menerimanya, haram
hukumnya. Allah Subhana Wa Ta'ala. berfirman:
“Janganlah ada sebagian kalian
makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah
menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar
kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian
mengetahui (hal itu)”
(QS al-Baqarah [2]: 188).
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wassalam juga melarang praktik suap ini. Sebagaimana terdapat pada hadis
berikut:
“Rasulullah saw. melaknat
penyuap, penerima suap, dan orang yang menyaksikan penyuapan” (HR Ahmad,
Thabrani, al-Bazzar, dan al-Hakim).
Khilafah (sistem pemerintahan
Islam) adalah satu-satunya negara yang bisa meminimalisir pelaku korupsi. Pada
masa Daulah Abbasiyah, Khalifah Jafar al-Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin
seperti yang ditulis Mohammad Hashim Kamali dalam bukunya “Islam Prohibits All Forms of Corruption”
Dewan ini bertugas menangani persoalan korupsi dan suap yang melibatkan pejabat
pemerintah, pengusaha, kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha
dengan pemerintah. Lembaga ini semacam KPK jika zaman sekarang.
Omer Duzbakar dalam artikelnya
yang berjudul, “Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and Examples From The
Bursa Shari’a Court Records of 18th Century” menyebutkan, tradisi memerangi dan
mencegah korupsi dilanjutkan pada masa
Daulah Utsmani.
Pada masa Sultan Muhammad IV
tak hanya dewan inspeksi yang bertugas mengawasi dan melaporkan sumber harta
para pejabat, ia juga membentuk lembaga pengadilan khusus penanganan
penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau yang disebut Mazalim.
Hukuman yang diberikan pada
penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi adalah penjara dan dicopot
dari jabatannya. Pada kasus berat diberlakukan hukum pembuangan ke pengasingan.
Semua hukuman itu disertai kewajiban untuk mengembalikan harta yang dikorupsi.
Pada abad ke 18 mulai diberlakukan hukuman mati untuk para pelaku korupsi.
Catatan penting, tidak ada
peremisian serta penyunatan hukuman didalam sistem sanksi Islam. Sebab, hukuman
yang diberi berdasarkan aturan syara menjadi penebus dosa bagi pelaku. Dan
tentunya, sanksi yang ada akan membuat pelakunya bertaubat. Pun, tidak ada
perbedaan hukuman antar rakyat dan pejabat, sekalipun kepada pemimpin. Kembali
kepada aturan Ilahi adalah sebaik-baik aturan dan solusi bagi problematika
umat.
Wallahu a'lam bishowwab.(***)
Post a Comment