Menyoal Gaji TKA China, Tenaga kerja Lokal Kian Merana
Oleh: Sulastri (Relawan opini).
Datangnya Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China kerap
mengudang kritik publik. Salah satunya kedatangan TKA China ini pada waktu
Indonesia masih dalam kondisi Pandemi Covid-19 yang masih mewabah. Selain itu,
banyak pula yang menilai kedatangan TKA China ke Indonesia akan membuat potensi
tenaga kerja di Indonesia sulit terserap, serta karena gaji TKA di Indonesia
yang terbilang cukup tinggi.
Ekonom Senior Faisal Basri membeberkan gaji tenaga
kerja asing (TKA) asal China di Indonesia. Ia menyebutkan gaji TKA yang diberi
izin masuk oleh pemerintah mencapai Rp17 juta hingga Rp54 juta
(Lajur.co.Kendari).
Maka dari itu, ia menyebut omong kosong kalau ada
pejabat negara menyebut semua TKA yang masuk adalah staf berkeahlian khusus. Menurut
dia, mereka adalah pengemudi, koki, hingga manajer gudang yang seharusnya bisa
digantikan oleh tenaga kerja RI.
” Apakah mereka tenaga ahli? Ya tidak, gaji mereka itu
Rp17 juta sampai Rp54 juta,” ujarnya dalam Core Media Discussion: Waspada
Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan, Selasa (12/10).
Menyoal gaji TKA yang cukup besar mungkin sebuah
kewajaran, jika memang mereka tenaga ahli yang punya kemampuan tinggi di bidang
tertentu. Tapi sayangnya, tenaga kasar selefel buruh pun bertebaran di
Indonesia. Padahal, jika tenaga kerja lokal bisa dipekerjakan dibagian buruh
kasar, mengapa harus mendatangkan buruh kasar dari luar negeri. Pun dengan
menyerap tenaga kerja lokal dapat mengurangi pengangguran dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kesenjangan gaji antara pekerja asing dan
pekerja lokal dapat memicu konflik sosial diantara mereka.
Ketika dengan berdalih tidak adanya tenaga ahli dalam
negeri yang menjadi alasan didatangkannya para TKA, itu sebenarnya hanyalah
akal-akalan. Begitu banyak tenaga ahli yang bisa dioptimalkan pemerintah agar
mandiri dalam mengelola SDA negeri. Sayangnya, pemerintah yang kapitalistik
saat ini telah memposisikan dirinya hanya sebagai regulator, bukan pengurus
rakyat.
Ini menunjukkan pada publik, kebijakan ekonomi masih
beraliran kapitalisme liberal. Ekonomi akan terus bergantung dengan para
kapitalis, baik kapitalis asing maupun aseng. Cara berpikir para pejabat
negeri lebih mendahulukan kepentingan investor dan membelakangi kepentingan
rakyatnya sendiri.
Alih-alih mengandalkan ahli dalam negeri, pemerintah
justru bangga menghadirkan tenaga kerja asing. Sikap ketergantungan kepada
pihak asing, semakin menjadikan negeri ini tak bisa berdikari. Jadilah peran
mereka sebagai pengurus rakyat diserahkan kepada korporasi. Kerja pemerintah
hanya merumuskan regulasi yang nyatanya
hanya berpihak pada korporasi.
Jika ditelusuri, investasi memang merupakan fokus
kebijakan rezim Jokowi. Wajar saja jika proses administrasi yang berbelit,
serta kebijakan yang berpotensi menghambat masuknya investor pun dipangkas
melalui pemberlakuan UU Omnibus Law.
Di sisi lain, kebijakan yang sarat kepentingan
korporasi asing, aseng, dan asong ini pada akhirnya
menggeser kepentingan masyarakat. Konflik sosial antara pekerja lokal dengan
tenaga kerja asing bukan hanya terjadi di satu tempat, tapi nyaris di semua
wilayah. Ini tak lain merupakan sinyal kekecewaan masyarakat atas kebijakan
pemerintah yang cenderung berpihak pada tenaga kerja asing.
Dari banyaknya kisruh yang telah terjadi di negeri ini
baik karena masalah keberpihakan penguasa kepada TKA yang cenderung mengabaikan
tenaga kerja lokal atau masalah lain
yang memicu kurangnya kepercayaan masyarakat kepada penguasa, seharusnya
menjadi koreksi untuk memperbaiki kualitas kepemimpinannya selama ini.
Namun inilah watak asli kapitalis, mendahulukan
kepentingan pribadi dan investor merupakan hal lumrah yang akan terus terjadi,
meski harus mengorbankan rakyatnya sendiri.
Hal ini tak akan terjadi dalam sistem Islam.Tak akan
ada pembiaran yang dilakukan Khilafah terhadap setiap urusan rakyatnya,
terlebih hal yang menyangkut hajat hidup mereka. Maka, Islam memiliki dua
kebijakan yang dilakukan untuk memenuhi kemaslahatan rakyat yang berkaitan
dengan Tenaga kerja Asing.
Pertama, mengetahui asal negara tenaga kerja asing
sebelum diterima bekerja di negara Khilafah. Jika orang tersebut berasal dari
negara kafir yang menyerang kaum muslimin (harbi), Khalifah tidak akan
memberikan izin untuk bekerja di negara Khilafah.
Sementara, negara luar yang memiliki hubungan
perjanjian dengan negara Khilafah—bukan dalam rangka menyerang kaum muslimin—,
diperbolehkan menjalankan pekerjaannya dalam Khilafah. Dengan catatan, wajib
sesuai hukum syariat yang disepakati antara Khilafah dan negara mereka.
Kedua, usaha mereka dibatasi pada komoditas yang
terkategori kepemilikan individu. Mereka tidak diizinkan mengelola kepemilikan
umum dan kepemilikan negara. Kalaupun mereka diminta oleh Khilafah untuk
mengerjakan sebuah proyek, sifatnya adalah perusahaan/individu yang
dikontrak/dipekerjakan oleh negara, bukan sebagai pengelola. Selain itu,
Khilafah akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat demi kesejahteraan
mereka.
Peran dan tanggung jawab kepala negara sebagai
pengurus dan pelayan masyarakat akan berjalan secara sempurna dalam Khilafah.
Kebutuhan pokok rakyat akan terpenuhi, terjamin pula peluang yang sama untuk
memenuhi kebutuhan pelengkap—sesuai kadar kemampuannya secara alami. Hal ini
yang akan menghilangkan berbagai sebab ketegangan, pertentangan, dan konflik.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam adalah
pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta
pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. pernah
memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau berkata
kepadanya, “Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak,
lalu gunakanlah ia untuk bekerja.” (Al-Hadits)
Masih banyak hadis yang menunjukkan kewajiban pemimpin
dalam Islam untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk menyediakan berbagai
sarana kepada para pencari kerja. Sebab, hal ini merupakan bagian dari
pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat.
Waĺahualambishawab.
Post a Comment