Permendikbud, Bukti Rusaknya Aturan di Sistem Sekulerisme
Oleh: Nita Karlina (Aktivis Muslimah Kendari)
Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor
30 Tahun 2021 menuai pro-kontra. Aturan yang belum lama ini dikeluarkan, berisi
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi atau Kampus.( Liputan6.com,15/11/2021)
Setelah
penerapan aturan tersebut, muncul reaksi dari beberapa ormas islam dan golongan
dalam masyarakat yang menolak Permendikbud tersebut. Diantaranya yaitu, Majelis
Ulama Indonesia (MUI), PKS, Muhammadiyah, Anggota Komisi X DPR, Ketua Majelis
Syuro Salim Segaf Al Jufri, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Ibrahimy
(UNIB) Jawa Timur Prof Muhammad Baharun, Ustadz Haikal Hasan dan masih banyak
lagi.
Permendikbudristek
itu bermasalah karena di dalam pasal 5 ayat 2 terdapat beberapa poin yang
mengandung frasa' tanpa persetujuan korban'. Yang artinya jika ada persetujuan
atau suka sama suka, maka tidak dimasukkan dalam kategori kekerasan seksual.
Memang benar, jika suka sama suka atau korban setuju itu bukan termasuk kekerasan
seksual. Tetapi apakah hal yang demikian dibiarkan, bahkan mendapat
perlindungan dari peraturan tersebut. Karena itulah peraturan tersebut dinilai
dapat melegalkan zina atau mengecualikan kekerasan seksual jika ada persetujuan
korban. Aturan tersebut juga di tolak karena prosedur pembuatannya tidak
melibatkan ormas - ormas islam dan tokoh agama.
Peraturan
menteri tersebut menjadi salah satu bukti rusaknya aturan di sistem Demokrasi.
Aturan yang lahir tidak peduli lagi dengan halal-haram, bahkan dapat
melegalisasikan sesuatu yang Allah SWT haramkan. Itu semua wajar, mengingat
akidah Demokrasi adalah Sekulerisme, atau memisahkan agama dari kehidupan.
Demokrasi liberal juga menjamin asas 'kebebasan'. Salah satunya yaitu kebebasan
bertingkah laku, kebebasan ini menjadikan penganutnya bebas melakukan apa saja
yang ia suka, termasuk melakukan hal - hal yang berhubungan dengan aktivitas
seksual , walaupun sesungguhnya aktivitas tersebut bertentangan dengan syariat.
Kekerasan
seksual yang terjadi di negeri kita makin merajalela. Tak hanya terjadi di
lingkungan kampus, di sekolah menengah, lingkungan perkantoran, lingkungan
masyarakat, bahkan di lingkungan pesantren dapat kita temui hal yg demikian.
Para pelaku kejahatan dapat memanfaatkan profesinya sebagai dalih untuk
melakukan aksi bejatnya. Tak hanya kasus kekerasan seksual, kasus perzinahan di
kalangan pelajar pun tak dapat di hindari. Pergaulan bebas menjadi faktor
utamanya. Bahkan dengan adanya permendikbud ini, belum tentu dapat
menghilangkan atau mencegah kasus kekerasan seksual, bahkan yang terjadi dapat
menyebabkan perzinahan tumbuh subur di negeri kita.
Untuk
mencegahnya di butuhkan sangsi yang tegas dan dapat memberi efek jera bagi
pelaku lainnya. Tak hanya sangsi yang tegas, pemahaman agama sejak dini juga
sangat di perlukan, pengaruh lingkungan masyarakat, pengaruh media sosial
hingga peran negara sangat di butuhkan untuk mencegah adanya tindakan kekerasan
seksual.
Dalam
Islam, penentu suatu tindakan itu kejahatan seksual adalah hukum syariah, bukan
persetujuan manusia walaupun itu adalah hak asasi manusia. Islam tidak
mentoleransi kejahatan seksual secara mutlak. Dalam Islam pelaku penyimpangan
seksual akan di hukum sesuai syariah. Jika pria pelakunya belum menikah (ghayr
muhshan) maka dia akan dicambuk seratus kali, sedangkan jika pelakunya telah
menikah (muhshan) maka akan dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Sebagaimana
Allah SWT berfirman:
اَلزَّانِيَةُ
وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Pezina
wanita dan pezina laki-laki yang berzina, cambuklah masing-masing dari keduanya
seratus kali cambukan (TQS an-Nur [24]: 2).
Adapun
korban perkosaan terbebas dari hukuman sebagaimana sabda Nabi saw:
إِنَّ اللهَ
تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sungguh
Allah memaafkan umatku karena tidak sengaja berbuat salah, lupa dan dipaksa (HR
Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Islam
sangat melarang perzinahan, bahkan berdua-duaan dengan yang bukan mahrom dalam
suatu tempat pun sangat di larang, yang sebagian orang menganggapnya itu hal
biasa. Islam juga menutup celah-celah terjadinya kejahatan seksual di
tengah-tengah masyarakat. Kaum pria dan wanita diperintahkan menutup aurat,
menjaga pandangan, serta adanya larangan berkhalwat dengan alasan apapun.
Karena itu tidak dibenarkan pria dan wanita berduaan di ruang tertutup dan sepi
meski untuk alasan bimbingan skripsi.
Permendikbud
ini adalah bukti kuat bahwa negara ini tidak bersendikan pada agama dan
syariah, melainkan pada sekularisme-liberalisme. Umat terus didorong untuk
terjerumus dalam peradaban liberalisme. Padahal sudah nyata kerusakan paham
liberalisme. Maraknya perzinaan, penularan penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS,
kehamilan tak diinginkan, pembuangan bayi dan aborsi, adalah bagian dari
kerusakan yang sudah tampak di depan mata. Tak ada cara lain kecuali
menyingkirkan sistem sekular-liberal saat ini. Sebagai penggantinya, terapkan
syariah Islam secara kaffah. Dengan itu niscaya umat manusia akan terlindungi
dan terjaga.
Wallahualambishowwab(*)
Post a Comment