Idealisme Ulama dalam Kubangan Lumpur Sekularisme
Oleh : Teti Ummu Alif
(Pemerhati Kebijakan
Publik)
Wakil
Presiden Indonesia, KH. Ma'ruf Amin mengajak seluruh ulama di Tanah Air untuk
tak terjebak pada kekuasaan tertentu. Sebab, sebagai pemuka agama mereka
sebaiknya mengutamakan perbaikan akidah dan ekonomi umat. Kekuasaan sejatinya
bukan kewenangan ulama. Hal ini disampaikan Wapres pada pembukaan Muktamar
Nasional ke-25 Rabithah Alawiyah yang digelar secara virtual belum lama ini
(Suara.com 04/12/2021). Lalu bagaimanakah kedudukan Ulama yang sebenarnya?
Ilmu
dan ulama adalah dua kata yang saling berkaitan. Ulama adalah orang berilmu.
Secara garis besar ulama terbagi tiga, yaitu: (1) yang mengenal Allah, (2) yang
memahami perintah Allah, (3) yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya.
Ulama yang mengenal Allah adalah mereka yang takut kepada Allah, namun tidak
memahami Sunnah. Ulama yang memahami perintah Allah adalah mereka yang memahami
Sunnah, tetapi tidak takut kepada Allah. Adapun ulama yang mengenal Allah dan
memahami perintah-Nya adalah mereka yang memahami Sunnah dan takut kepada
Allah. Inilah orang yang disebut-sebut dengan kebesaran di Kerajaan Langit (HR
al-Baihaqi, Syu’âb al-Imân).
Baginda
Nabi Muhammad SAW menyebut ulama sebagai para pewaris nabi (waratsat
al-anbiyâ‘). Sebutan istimewa ini tidak pernah disematkan kepada golongan
manusia manapun selain mereka. Kata pewaris menunjukkan betapa dekat hubungan
mereka dengan para nabi, sedekat hubungan nasab. Namun, dalam kehidupan sekuler
saat ini Ulama mengalami cobaan lebih berat dari manusia lainnya. Cobaan yang
begitu menggiurkan hingga sering kali menyebabkan Ulama tergelincir ke jalan
yang salah. Bahkan ketergelinciran ulama dapat berpotensi menghancurkan Islam
itu sendiri. Al-Imam ad-Darimi meriwayatkan dengan sanad yang sahih perkataan
Sayidina Umar bin al-Khaththab ra, “Islam itu dapat hancur dengan
ketergelinciran ulama, orang munafik yang berdebat dengan berdalilkan al-Quran,
dan pemerintahan para penguasa yang menyesatkan.”
Mengapa
ketergelinciran ulama begitu menakutkan? Tidak lain karena ketergelinciran
mereka akan menyebabkan kesesatan manusia lantaran mereka akan mengikuti ulama
yang tergelincir tersebut dengan mengira sebagai kebenaran. Sungguh, di antara
fitnah yang disebutkan oleh Nabi saw akan menjangkiti ulama adalah kecintaan
terhadap harta dan kedudukan. Ulama yang semacam itu oleh Rasulullah disebut
dengan ulamâ‘ salâthîn (ulama penguasa) karena mereka akan menjadi alat stempel
penguasa. Fatwanya menjadi pembenar atas kebijakan-kebijakan zalimnya. Beliau
pernah bersabda, “Ulama adalah orang-orang kepercayaan para rasul, selama
mereka tidak menggeluti dunia dan menuruti penguasa. Jika mereka melakukan itu
maka jauhilah mereka".
Miris,
paradigma sekularistik telah menggeser tugas Ulama yang semula berorientasi
akhirat menjadi pemburu dan pencinta dunia. Semula menjadi pengawal yang tegas
bagi penguasa agar senantiasa berada di jalan yang benar, tidak menyimpang dari
koridor syariat justru menjadi pembenar dan pendukung atas kezaliman mereka.
Padahal,
Ulama pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan, intimidasi,
pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela
kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang bertele-tele
dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan,
serta mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat ancaman
dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi mempertahankan
kebenaran dan menentang kebatilan.
Timbangan
ulama dalam segala hal seyogianya adalah syariat Islam, termasuk dalam masalah
politik dan kekuasaan. Islam merupakan konsepsi ideal bagi upaya penyelesaian
semua permasalahan kehidupan manusia. Islam datang dari Allah yang Maha
Sempurna dan Maha Mengetahui permasalahan yang dihadapi umat manusia.
Renungkanlah
wahai kaum Muslim. Ketika jalan sekularisme tak lagi menjanjikan perubahan yang
lebih baik dan terus menjadikan Indonesia sebagai negeri terjajah oleh
kapitalisme global. Senantiasa menjadikan Ulama sebagai budak dunia. Masihkan
kita mempertahankan hukum jahiliyah ini, sementara Allah telah memberikan
sistem terbaiknya? Saatnya kita menjadi orang-orang cerdas yang yakin akan
Islam. Islam menjadi paradigma politik alternatif setelah tumbangnya sosialisme
komunis dan sekaratnya kapitalisme sekuler sekarang ini.
Sebagai
resolusi kedepan mari mengembalikan tugas utama Ulama yang mencerahkan dan
meluruskan masyarakat, bangsa dan negara agar senantiasa berjalan di atas hukum
dan syariat Allah serta menjauhkan sekularisme. Mengingat visi politik
Rasulullah adalah upaya membangun dan menerapkan syariat Allah dalam berbangsa
dan bernegara demi menebar rahmat bagi alam semesta. Inilah narasi yang harus
dibangun oleh seorang ulama, apapun risikonya. Visi mulia ini dilakukan semata
karena Allah, bukan karena kedudukan dan materi duniawi. Sebagaimana sikap
tegas Rasulullah menolak kekuasaan rezim Abu Jahal yang menerapkan sistem hukum
jahiliyah. Wallahu a'lam bisshowwab.(*)
Post a Comment