Kacamata Supraverse
Sunarwan Asuhadi*)
Tentu mencari kacamata dengan spesifikasi atau
merek ini “Supraverse”, tidak akan kita temukan di pemilik Ray-Ban
Essilor Luxottica. Kenapa? Memang kacamata ini secara fisik belum ada
yang produksi, baik lewat perusahaan apalagi perseorangan.
Terus,
apa pentingnya ‘kacamata’ supraverse? Ini tentang ‘perspektif’ yang
tentu penting bagi siapa saja yang meyakini kehidupan akhirat.
Kacamata
ini bukanlah antitesa dari kacamata multiverse, yang saat ini
dikembangkan oleh pemilik Facebook, Mark Zuckerberg bekerjasama dengan
pemilik Ray-Ban Essilor Luxottica.
Kacamata multiverse bermerek
Ray-Ban yang dikembangkan oleh Facebook tersebut merupakan salah satu
langkah pertama menciptakan kacamata futuristik yang menambah dunia
nyata dengan data atau grafik dari Internet.
Kacamata pintar yang
disebut kacamata augmented reality ini, merupakan kacamata virtual di
mana pengguna akan dapat ‘berteleportasi’ ke ruang digital menggunakan
teknologi AR dan VR.
Tidak hanya Mark Zuckerberg yang kepincut dengan dunia metaverse, founder Microsoft, Bill Gates turut meramalkan bahwa tahun depan akan banyak orang yang mulai melakukan kegiatan kantor melalui metaverse.
Gates melihat bahwa Pandemi COVID-19 telah merevolusi tempat kerja, dengan lebih banyak perusahaan yang menawarkan fleksibilitas bagi karyawan yang ingin bekerja dari jarak jauh (work from home atau work from anywhere).
Dunia metaverse yang diprediksi akan segera terwujud, pertemuan akan berlangsung secara virtual yang dihadiri secara ‘langsung’ oleh karakter pengguna yang berwujud 3D. Pengguna juga bisa saling berinteraksi dengan avatar kolega kerja mereka.
Bahkan dunia metaverse ini, untuk pertama kalinya telah dimanfaatkan jasanya oleh pasangan dari Amerika Serikat, Traci (52) dan Dave Gagnon (60) untuk melangsungkan pernikahan virtual. Upacara pernikahannya pun disiapkan oleh Virbela, perusahaan yang membangun lingkungan virtual untuk bekerja, belajar maupun membuat acara.
Hanya saja, dunia metaverse akan merubah struktur interaksi manusia, bahkan kepribadian manusia.
Manusia dalam kesendirinnya disiapkan fasilitas untuk berselancar
bebas secara emosi ‘penuh’ yang menyandera kesadarannya untuk
berinteraksi dengan berbagai suasana yang merupakan habitat dan
kebiasaannya. Kenapa? Karena mesin Artificial Intelligence (AI)
memanjakannya dengan pelayanan sesuai kesukaannya.
Bekerjanya
mesin AI tersebut, dampaknya sudah bisa kita bayangkan sejak awal,
bahwasanya mesin-mesin kapitalisme yang dimasukan sebagai salah satu
karakter dasar dunia metaverse yang dikembangkan saat ini, akan
‘menahan’ manusia, khususnya generasi muda dalam jebakan teknologi
mereka.
Efek ‘toksik’ dunia gym akan bertambah konsentransi-nya dalam ‘senyawa’ metaverse ini. Generasi muda muslim kita akan berpotensi kehilangan vitalitasnya sebagai generasi sosial yang berkarakter rabbani. Juga berpotensi akan mengganggu kematangan kepribadian generasi muda kita, jika tangan-tangan kapitalisme menjadi pengendali utamanya.
Oleh karena itu, kita membutuhkan kacamata supraverse, sebuah ‘kacamata’ literasi yang senantiasa menyadarkan manusia akan misi penciptaannya, bahwasanya dunia ini jangan sampai menjadi panggung senda gurau yang melalaikan kita semua akan kehidupan akhirat yang abadi.
Lalu, di mana kacamata supraverse ini bisa dijumpai? kacamata ini adalah perspektif –yang mungkin saja bisa diteknologikan di kemudian hari– menjadi kacamata futuristik yang dapat berfungsi sebagai piranti dakwah, dan berbagai kompetensi amal sholeh.
Adapun substansi kacamata supraverse ini (sebagai perspektif) bisa diinstal di masjid, majelis-majelis ilmu, dsb.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*) Ketua MASIKA ICMI ORDA Wakatobi
Post a Comment