Ketika Asmara Berakhir di Pusara
Oleh: Fitri Suryani (Freelance Writer)
Zaman sekarang aktivitas pacaran bukanlah hal
asing dilakukan oleh kebanyakan anak remaja ataupun orang dewasa. Sebab, hal
itu dianggap lumrah dengan berbagai macam dalih yang disampaikan. Namun, apa jadinya
ketika asmara berakhir di pusara?
Sebagaimana belum lama ini sempat viral kasus
seorang mahasiswi yang berakhir tragis, karena mengakhiri hidupnya di pusara
sang ayah. Seperti yang disampaikan Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet
Hadi Supraptoyo bahwa mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Novia
Widyasari telah melakukan aborsi sebanyak dua kali hingga akhirnya nekat
melakukan bunuh diri.
Hal itu terungkap setelah pihaknya melakukan
pemeriksaan kepada mantan kekasihnya yang merupakan oknum polisi yang bertugas
di Polres Pasuruan. Slamet menerangkan, keduanya melakukan hubungan layaknya
suami istri yang terjadi mulai tahun 2020 hingga 2021, yang dilakukan di
wilayah Malang yang dilakukan di kos maupun di hotel. Slamet pun mengungkapkan
bahwa korban selama pacaran, yang terhitung mulai bulan Oktober 2019 sampai
bulan Desember 2021 melalukan tindakan aborsi bersama yang mana dilakukan pada
bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021 (Okezone.com, 05/12/2021).
Selain itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga bicara mengenai kasus Novia
Widyasari (23) yang menenggak racun karena sang kekasih Bripda Randy Bagus
memaksa melakukan aborsi. Bintang menyebut kasus yang menimpa Novia termasuk
dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence.
Bintang menuturkan perbuatan Bripda Randy bertentangan dengan Pasal 354 KUHP
terdiri dari ayat (1), dan ayat (2). Bintang mengatakan sanksi pidana bagi
pelaku aborsi juga diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp 1 miliar (Detik.com,
05/12/2021).
Kasus yang dialami Novia Widyasari tentu
bukan kasus yang pertama kali terjadi. Sebab, kasus seperti itu tak jarang
didapatkan di tengah-tengah masyarakat yang tentu tidak hanya oknum polisi yang
melakukannya, tapi masyarakat secara umum dengan berbagai latar belakang
profesi yang berbeda-beda. Dari yang berakhir pertanggungjawaban dengan
menikahi, namun ada juga yang berakhir
tragis seperti kasus Novia Widyasari. Hanya saja, kasus sejenis tak semua
terungkap, apalagi sampai viral.
Pun kasus ini tidak cukup dikawal dengan
penangkapan pacar korban. Sebab, sepatutnya hal ini mampu mendorong memperbaiki
tata pergaulan dan menghapus beragamnya nilai liberal, seperti seks bebas yang
seakan lumrah terjadi di luar pernikahan dan telah banyak dilakukan oleh
pasangan muda mudi.
Seperti survei yang dilakukan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kemenkes pada Oktober 2013, menemukan
sebanyak 63% remaja sudah pernah melakukan seks dengan kekasihnya maupun orang
sewaan dan dilakukan dalam hubungan yang belum sah (Kemenkopmk.go.id, 04/11/2020). Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser
Indonesia terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indoensia menemukan, 33
persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi (Liputan6.com, 19/07/2019).
Miris!
Sementara itu, jika menengok dalam Islam,
Allah Swt. jauh sebelumnya telah mengingatkan kepada umatnya, sebagaimana dalam
surah Al-Isra ayat 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh
suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Dari itu, jangankan melakukan zina, mendekati
zina saja Allah dengan tegas melarangnya. Karena aktivitas pacaran merupakan
perbuatan yang mendekati zina, mengingat perbuatan tersebut banyak menabrak
aturan syariat. Di antaranya seperti melakukan khalwat (berduan dengan yang bukan mahram). Hal itu pun sebagaimana
Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan
seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga di antara
mereka berdua.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, At-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Karena itu, dalam Islam sebelum memberikan
hukuman terhadap pelaku zina, syariah telah memberlakukan upaya-upaya preventif
untuk mencegah perbuatan tersebut. Seperti melarang khalwat, tidak mengumbar
aurat, meniadakan media yang berbau porno dan segala jenis yang dapat
menimbulkan rangsangan seksual.
Di samping itu, seyogianya berbagai pihak
dapat berpartisipasi dalam upaya meminimalisir atau menekan tindak pelecehan
seksual, pemerkosaan dan berbagai tindak kriminal sejenisnya dengan menegakkan
tiga pilar, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan tak kalah penting
peran negara dalam mencegah dan mengatasi kasus-kasus tersebut.
Dengan demikian, tidak mudah mencegah dan mengatasi
kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan dan sejenisnya, jika masih banyak hal
yang memberi celah terhadap aksi tersebut. Karena itu, sudah saatnya lingkungan
keluarga, masyarakat dan negara bekerja sama dalam membabat tuntas masalah
tersebut dan kembali pada aturan-Nya. Sebab yang lebih tahu yang terbaik untuk
manusia adalah yang menciptakan manusia, yakni Allah Swt. Wallahu a’lam.(*)
Post a Comment