Kepemimpinan Represif, Petani Wadas Menjerit
Oleh: Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik)
Begitu banyak peristiwa pembangunan yang harus jujur diakui meninggalkan luka bagi warga yang terdampak. Terbaru adalah penolakan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang menolak wilayahnya dijadikan pertambangan terbuka batuan andesit untuk pembangunan Waduk Bener di Kabupaten Purworejo.
Warga
menolak rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan
Bendungan Bener. Bendungan yang menjadi salah satu proyek strategis nasional
itu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Jawa Tengah nomor 590/41/2018. Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan
lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit
untuk pembangunan Bendungan Bener.
Persoalan
ini makin memanas dengan puncaknya pada Selasa 8 Februari 2022, terjadi
ketegangan antara warga dan petugas gabungan yang ingin melakukan pengukuran
tanah proyek Bendungan Bener di desa tersebut. Ketegangan terjadi karena
ratusan petugas gabungan dari kepolisian, Satpol PP, dan TNI yang mendampingi
tim Kanwil Badan Pertanahan Nasional Jawa Tengah, dan Dinas Pertanian Provinsi
Jateng, melakukan kegiatan pengukuran tanah dan menghitung tanaman di area yang
telah disepakati oleh sebagian warga untuk menjadi lokasi tambang batu andesit.
Area yang diukur lebih kurang 114 hektare.
Penangkapan terhadap 66 warga yang dianggap menghalangi kegiatan tersebut tak urung menimbulkan isu liar terutama di media-media sosial. Cuma sehari warga menginap di kantor kepolisian setempat, karena Rabu 9 Februari 2022 mereka sudah dipulangkan ke rumah masing-masing. (www.mediaindonesia.com 10/02/2022)
Kepemimpinan Represif, Wajah Asli Demokrasi
Pembangunan
infrastruktur merupakan prioritas nasional di Indonesia. Hal ini sangat penting
untuk meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan dasar dan untuk meningkatkan
produktivitas serta layanan publik maupun daya saing. Namun, kerap kali kita
temukan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak
serta-merta berjalan sesuai harapan masyarakat. Contohnya yang terjadi di Desa
Wadas.
Pemerintah
dalam melaksanakan program Bendungan Bener ini terkesan dipaksakan dan hanya
disetujui oleh beberapa perwakilan, dari 400 kepala keluarga berdampak
pembangunan Bendungan Bener. Konsep ganti rugi yang dijadikan jaminan untuk
mengganti tanah warga, nyatanya tak memberikan efek bagi keberlangsungan
penghasilan para petani Wadas dalam jangka panjang. Penegakan hukum bagi
masyarakat pun sangat lemah, sehingga terkadang tak memihak kepada masyarakat.
Pada akhirnya memaksa masyarakat untuk melakukan pemblokiran, mirisnya
ditanggapi oleh aparat keamanan (Polri) dengan represif, dengan penangkapan 66
warga yang dianggap menghalangi kegiatan pengukuran tanah. Tindakan ini
menunjukan gaya kepemimpinan demokrasi yang meRepresif rakyat dengan
mengatasnamakan kepentingan pembangunan.
Pendekatan
Represif cenderung dilakukan karena banyak keputusan diambil bukan berdasarkan
kepentingan rakyat, tapi kemauan segelintir pihak, hingga adu argumen bukan
menjadi pilihan. Penggunaan kekerasan merupakan pilihan paling murah dan mudah
dalam rangka menangani masalah ini. Aparat di lapangan seringkali menerjemahkan
perintah "amankan” dari atasan dengan melakukan Represif demi mencapai
stabilitas keamanan. Aparat penegak hukum di Indonesia seringkali menafsirkan
perintah undang-undang untuk menciptakan ketertiban umum sebagai landasan untuk
penggunaan kekerasan dalam keamanan publik.
Misalnya, undang-undang melindungi hak masyarakat untuk melakukan
unjuk rasa.
Namun,
polisi seringkali justru membubarkan dan menuduh pelaku demonstrasi melakukan
tindakan melanggar hukum. Dari data yang dirilis kontras menunjukkan Polri
sering menggunakan tindakan kekerasan yang tidak proporsional dalam menangani
masyarakat. Alhasil, tindakan aparat bukan melumpuhkan, tetapi menyebabkan kematian.
Tanpa ada larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan kejam yang tidak
manusiawi. Penggunaan kekerasan oleh polisi dalam menangani ancaman gangguan
keamanan seakan dibolehkan oleh hukum.
Inilah
potret gaya kepemimpinan demokrasi yang Represif, dimana menurut mereka rakyat
adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan dan rakyat
pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah
dibuatnya. Namun, nyatanya itu hanya omong kosong belaka.
Terbukti
sistem kapitalisme yang ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan
(pemerintahan) sehingga mereka hanya tundukkepada para kapitalis (pemilik
modal). Jadi paham demokrasi hanyalah bagian daripada sistem kapitalisme yang
dapat dikatakan bahwa para kapitalis lah menjadi penguasa sebenarnya.
Gaya
Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam
Sebagaimana
hadist yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW yakni: “Setiap manusia adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya kepada
orang-orang yang telah dipimpinnya.”
Dari
hadist di atas, dapat diartikan bahwa semua manusia yang hidup di muka bumi ini
adalah seorang pemimpin. Dimana ia akan dimintai segala pertanggungjawabannya
atas apa yang mereka kerjakan termasuk dalam urusan kepemimpinannya. Hal ini
juga dipertegas akan firman Allah SWT yang berbunyi:
“Kelak
pada hari kiaman nanti, Kami akan menutup mulut-mulut mereka, dan berkatalah
kepada Kami mengenai tangan dan kaki mereka yang akan memberikan kesaksian
tentang apa yang telah mereka perbuat selama hidupnya”. (QS. Yasin: 65).
Dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist menjelaskan bahwasanya sifat kepimpinan dapat dimiliki
bagi setiap insan yang hidup di muka bumi ini.
Dimana
dari kita semua tentu memiliki model dan pola berfikir mengenai gaya-gaya
kepimpinan yang berasal dari dalam hati nurani masing-masing.
Contoh
kepemimpinan yang dapat kita ambil, saking terkenalnya beliau karena
keadilannya ialah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang berlangsung
selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M sampai tahun 23H/644M.
Pada
suatu waktu, datang seorang penduduk Mesir yang mengadukan anak gubernur Mesir,
'Amr bin al-'Ash yang mendzoliminya. Orang itu berkata "Aku meminta
perlindungan padamu dari kedzoliman ". Umar berkata, "Engkau telah
meminta perlindungan pada tempat berlindung". Orang itu melanjutkan,
"Aku berlomba balapan kuda dengan anak gubernur dan aku berhasil
mengalahkannya". Maka ia pun
memukulku dengan cambuk seraya berkata, "Aku adalah anak dua orang
yang mulia ini". Mendengar hal ini Umar pun memanggil 'Amr dan anaknya.
Umar berkata,"Mana orang mesir itu?. Ambillah cambuk dan cambuklah
ia". Maka orang itupun mencambuknya. Anas (perawi hadist) berkata,
"Demi Allah, awalnya kami ingin agar ia dibalas cambuk, tapi selesai ia
dicambuk, kami berharap hukuman itu diangkat atasnya". Setelah itu Umar
memerintahkan orang Mesir tadi, "Cukur gundul kepala 'Amr bin
al-'Ash". Orang Mesir itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang
memukulnya adalah anakku dan ia telah membalasnya dengan puas". Maka Umar
berkata kepada 'Amr, "Sejak kapan engkau memperbudak manusia, padahal
mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka?". 'Amr menjawab,
"Wahai Amirul Mukminin, aku tidak tahu (perkara ini) dan ia tidak datang
padaku". (Kanzu al-Ummal no. 36010).
Maka
dapat diartikan jika seorang pemimpin harus menerapkan hal baik dalam masa
kepemimpinannya. Di samping itu, harus ada pengaruh mabda (Islam) dalam diri
penganutnya, agar pelaksanaan peraturan tersebut dapat terjaga secara normal
dari dalam masyarakat itu sendiri. Bukan berarti jabatan atau kedudukannya
dimanfaatkan untuk hal-hal yang justru merugikan bagi orang lain.
Dari
dalil di atas dapat disimpulkan jika setiap manusia yang terlahir adalah
seorang pemimpin. Dimana mereka telah diberi petunjuk untuk melakukan perintah-perintah
Allah SWT sesuai dengan ajaran islam sebagai agamanya dan ini semua hanya akan
dapat kita temukan dalam sistem pemerintahan Islam yaitu daulah(negara)
khilafah yang mengayomi dan mengedepankan kemaslahatan rakyat. Wallahu alam
bishawab (*)
Post a Comment