Menikah Beda Agama, Buah Sistem Kapitalis Demokrasi
Dewi Sartika (Pemerhati sosial)
Kasus pernikahan beda agama kini menyita
perhatian dan menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat. Menikah
beda agama bukan kali ini saja terjadi, atas “Nama Cinta Toleransi”,
kemanusiaan dan masih banyak lagi dalih yang mereka gunakan untuk melegalkan
perbuatannya.
Ada beberapa kasus pernikahan beda agama yang
terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini. Namun, yang paling menyita perhatian
adalah pernikahan beda agama stafsus presiden Ayu Kartika Dewi yang notabene
adalah pejabat negara. Dilansir dari liputan6.com Stafsus presiden Joko Widodo,
Ayu Kartika Dewi ramai diperbincangkan lantaran pernikahan beda agama. Ayu
Kartika Dewi seorang wanita muslim menikah dengan gerald Bastian yang merupakan
non muslim. Yang menjadi sorotan setelah melakukan akad nikah secara Islam
kedua pasangan juga menjalani Misa pemberkatan di Gereja Katedral, pada hari
Jumat 18/3/2022 untuk menyempurnakan akad pernikahan mereka.
Menuai polemik
Pernikahan beda agama masih menjadi polemik di
tengah-tengah masyarakat. Lalu, bagaimana hukum pasti memandang pernikahan beda
agama? Menurut LBH Pelita umat, chandra purna Irawan. Pernikahan beda agama
tidak sah menurut hukum negara. Pada undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 pasal 2 ayat (1) yang berbunyi
” pernikahan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.”
Dari bunyi pasal tersebut jelas terdapat
frasa“menurut hukum masing-masing agama” sehingga ketika agama islam misalnya
melarang menikah dengan orang yang beda agama maka ketika dipaksakan menjadi
tidak sah (Republika.co.id ahad 20/3/2022).
Hal ini juga diperkuat dengan fatwa MUI yang
menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah yang dimuat dalam fatwa
MUI nomor 4. Munas UU/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama.
Menurut Nahdlatul Ulama menetapkan fatwa
keharaman nikah beda agama dalam Muktamar ke 28 di Yogyakarta pada akhir
November 1989
Hal Senada juga diungkapkan oleh pengurus Pusat
muhammadiyah Abdul Mu'ti. Menegaskan pernikahan beda agama tidak sah menurut
hukum Islam dan undang-undang.
Buah Kapitalisme/Pluralisme
Dalam sistem kapitalis sekuler yang begitu
menjunjung tinggi kebebasan, menjadikan pernikahan beda agama sebagai suatu
yang biasa. Bahkan, mereka tidak malu lagi untuk mengumbar pernikahan mereka di
media sosial. Sekaligus bangga karena seolah-olah dapat mengubah aturan yang
yang telah tegas dalam Alquran dan Syariah Islam.
Semakin maraknya pernikahan beda agama, serta
keberanian mereka menampilkan pernikahan beda agama adalah bagian dari
propaganda ajaran liberalisme kebebasan yang tumbuh subur bak jamur di musim
penghujan di zaman sekularisme demokrasi.
Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama
dari kehidupan di bumbui dengan liberalisme dan feminisme. Sehingga, menjadikan
tatanan kehidupan menjadi rusak, mulai dari ekonomi, politik, pergaulan, hingga
hukum pernikahan. Semua diakibatkan karena dalam menjalani kehidupan manusia
tidak mau di syariat Islam.
Jika melihat lebih saksama, beberapa hal bisa
ditemukan di dalam kasus ini. Pertama adalah liberalisasi ajaran Islam. Inilah
paham yang menganut bahwa ajaran Islam harus dipahami dengan menggunakan akal
bebas manusia, terlebih harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia
sekarang ini. Ajaran Islam harus tunduk pada akal manusia yang memikirkan dan
memahaminya.
Kedua, ada upaya untuk deislamisasi yaitu
adanya upaya untuk merusak ajaran Islam itu sendiri, parahnya hal ini malah
dilakukan oleh sekelompok orang muslim sendiri dengan citra sebagai orang yang
memahami Islam itu sendiri. Nampak jelas dari kasus ini, mana yang sudah jelas
haram dipelintir dengan dalil yang tak tepat menjadi boleh. Dihadirkan golongan
seperti ini untuk memberikan penguatan akan hujjah mereka dihadapan muslimin
yang masih awam dengan pemahaman yang belum menyeluruh. Harapannya memang untuk
memberikan penyesatan terhadap ajaran Islam.
Ketiga adalah upaya legalisasi beda agama di
tanah air. Pembolehan atau pun pembiaran yang dilakukan, bahkan diungkap pula
pelegalan oleh dinas terkait mengarah pada upaya agar Indonesia nantinya
memberikan restu dan ijin pernikahan beda agama. Tak perlu lagi ada larangan
karena bisa dilakukan serta juga untuk menghormati hak asasi anak bangsa dalam
memperoleh hak menikah.
Islam memandang
Menikah adalah bagian dari penyempurna
keimanan, akan banyak kebaikan dan pahala didalamnya jika pernikahan dilakukan
sesuai dengan syariat Islam, maka akan menjadi ibadah terlama dalam kehidupan
namun. Namun sebaliknya, jika pernikahan itu dilakukan tidak sesuai dengan apa
yang disyariatkan oleh Allah seperti menikah beda agama. Maka akan mendatangkan
dosa sebab pernikahannya tidak sah
dimata agama dan hubungan mereka dianggap sebagai perzinahan.
Lalu bagaimana Islam memandang pernikahan beda
agama. Dalam Islam untuk melangsungkan
pernikahan dan memilih pasangan
Rosulullah mensyaratkan empat hal. Rasulullah SAW bersabda, "Nikahilah
seorang wanita itu karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya. Maka utamakan dia yang
beragama (yang menjalankan agama), maka kamu akan beruntung." Hadist ini merupakan hadits sahih yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW sangat
menganjurkan setiap mukmin untuk menikahi seseorang yang paling diutamakan.
Pernah Umar berkata kepada Hudzaifah: "Apabila orang-orang Islam suka
mengawini perempuan kitabiyah (ahli kitab/non- Muslimah), maka siapakah yang
mengawini perempuan Islam? Dan beliau (Rasulullah) melarang pernikahan Muslim
dengan perempuan kitabiyah.''
Demikian pula bagi seorang Muslimah. Sangat
dianjurkan bagi kaum Muslimah mencari laki-laki yang beriman kepada Allah dan
Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat al-Baqarah
ayat 22ا "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman."
Imam Abu Ja'far at-Thabari dalam Tafsir
al-Maraghy menjabarkan, maksud turunnya ayat 221 surat al-Baqarah itu
adalah haramnya seluruh musyrikah untuk para lelaki Muslim, baik itu perempuan
dengan latar belakang agama Yahudi, Nasrani, maupun lainnya. Begitu pula
Muslimah tidak diperkenankan menikahi non-Muslim karena akan menimbulkan
mudarat bagi dirinya.
Dari penjelasan dalil di atas, maka sudah
sangat jelas bahwa wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki non-muslim.
Oleh karena itu, menghalalkan perkara yang sudah jelas keharamannya bisa
menjadi pembatal keimanan.
Ibnu Qodam ah dalam kitabnya Al Mughni
menyatakan“siapa-siapa yang menyukai kehalalan sesuatu dan umat telah
bersepakat dalam keharaman, dan telah jelas hukumnya di tengah kaum muslim,
tidak ada syubhat di dalamnya pada nash-nash yang mencantumkan hal tersebut
seperti keharaman babi, zina, dan yang serupa dengan hal itu ( menikah beda
agama), maka dalam hal ini yang tidak ada perbedaan pandangan maka ia telah
kufur( ibnu qudamah al-mughni 9/11 mutaba'ah Syamilah)
Dengan demikian, dalam hal ini Seharusnya
negara hadir untuk menerapkan aturan yang tegas agar tidak ada lagi pihak-pihak
yang ingin menyiasati aturan ini. Negara diharapkan mampu melindungi rakyatnya
agar terhindar dari melakukan kesalahan yang melanggar aturan agama. Meski akan
sangat sulit di dapatkan dalam sistem hari ini. Sebab negara tidak hadir
sebagai pelindung, pengayom, dan pengurus rakyatnya.
Wallahu A'lam Bishawab
Post a Comment