Kisruh Haji, Bagaimana Islam Mengaturnya?
Oleh : Sinta Nesti Pratiwi
Sekira 17 ribu calon haji Indonesia diduga
bermasalah administrasi dalam proses registrasi pemberangkatan ke Arab Saudi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhadjir
Effendy mengatakan factor penyebabnya berkaitan
dengan ketentuan vaksinasi COVID-19 yang saat ini disyaratkan Pemerintah
Arab Saudi.
Kementerian Kesehatan mencatat baru sekitar 76
persen calon haji yang akan diberangkatkan tahun ini sudah mendapatkan
vaksinasi COVID-19 dosis lengkap.
Menurut Muhadjir vaksinasi COVID-19 dosis
lengkap menjadi salah satu syarat utama untuk memberangkatkan jamaah calon haji
dari Indonesia. Sehingga calon haji yang belum divaksinasi dosis lengkap
terancam tidak diberangkatkan. (haji.okezone.com/19/5/2022)
Ketidaksiapan pemerintah dalam melayani calon
jamaah haji membuat hati para jamaah dirundung kecewa. Pemerintah dinilai lamban dalam mengatasi hal
tersebut. Semestinya ketika pemerintah Arab Saudi sudah membuka jamaah umroh
bagi seluruh penjuru dunia, pemerintah sudah bisa menyampaikan administrasi apa
saja yang bisa lengkapi para calon jamaah haji.
Sementara di satu sisi, sudah ada calon jamaah
haji yang melunasi pembayaran serta melaksanakan manasik haji, namun ujung-ujungnya batal berangkat dikarenakan
syarat administrasi belum terpenuhi.
Hati siapa yang tidak kecewa mendengar kabar
tersebut. Alangkah baiknya jika dari
awal pemerintahan berkoordinasi dengan pihak pemerintah Arab Saudi. Agar syarat
keberangkatan jamaah bisa dipersiapkan lebih dini sehingga meminimalisir terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan.
Inilah akibat diterapkannya pengaturan ibadah
haji yang bertolak belakang dengan
sistem Islam. Hal itu bisa kita cermati dari beberapa hal berikut ini. Pertama,
dalam teori bisnis syariah, memang ada ketentuan yang melarang adanya 2 akad
dalam 1 obyek. Pada praktik dana talangan haji, terdapat 2 obyek, yakni uang
dan jasa pengurusan seat haji. Jadi diperlukan dua akad pula yakni qard untuk uang
dan ijarah untuk layanan.
Kedua, bank penyelenggara dana talangan haji
memberikan tambahan dalam bentuk ujrah sebagai biaya atas akad qard. Tambahan
biaya dianggap bukan ujrah tapi bunga atas pinjaman dana yang diberikan
sehingga dianggap riba. Jika ujrah, seharusnya fee tersebut digunakan untuk
layanan penyelenggaraan haji seperti jasa layanan bimbingan ibadah manasik haji
buat jamaah sejak di tanah air, jasa pengurusan paspor buat jamaah, jasa
pengurusan visa haji di Kedutaan Besar Saudi Arabia, jasa booking kamar hotel
atau penginapan baik di Mekkah, Madinah ataupun Jeddah, dll.
Sementara, pada praktiknya, tidak ada satupun
jasa layanan tersebut yang diberikan oleh bank pemberi dana talangan selain
hanya sebatas meminjamkan dana sebagai syarat administrasi untuk mendapatkan
porsi haji.
Ketiga, dana talangan haji melanggar ketentuan
syarat haji adalah mampu (istitha’ah). Pendapat ini menganggap orang yang
berutang untuk mendaftar haji adalah orang yang belum mampu secara finansial
sehingga belum wajib haji walaupun pada praktiknya saat ini yang berutang bukan
hanya yang miskin saja, namun orang kaya juga banyak yang melakukannya.
Keempat, dana talangan haji mengajak orang
untuk berhutang. Kadang orang bisa tertib jika berhutang namun susah disiplin
jika menabung. Tergantung keyakinan masing-masing apakah menabung untuk daftar
haji setelah tabungan cukup atau menggunakan dana talangan untuk dapat porsi
haji sekarang dan mengangsurnya kemudian.
Kelima, bank mengenakan biaya/ujrah layanan
pengurusan seat haji yang dikaitkan berdasarkan besarnya dana talangan haji dan
waktu jatuh tempo. Jika ini terjadi maka memang bisa dikategorikan sebagai riba
dan tentu saja semua sependapat untuk menganggapnya sebagai hal yang haram.
Keenam, dana talangan haji termasuk takalluf
dan memberatkan. Pendapat ini menganggap bahwa daftar haji dengan dana talangan
termasuk perbuatan yang memaksakan diri atau takalluf yang bukan pada
tempatnya. Sedangkan salah satu wajib haji adalah mampu dari segi biaya tanpa
perlu menggunakan pinjaman dana.
Seperti inilah potret sistem buatan manusia, di
mana dalam hal untuk memenuhi niat baik, beribadah ketanah suci tidak dilayani
secara total oleh negara. Sangat berbeda dengan sistem Islam yang sumber
hukumnya berdasarkan Al-Qur'an akan betul-betul melayani para jamaah haji sebab
ini persoalan ibadah ketaqwa'an hamba kepada Rabb nya. Wallahu 'alam
bisshawab.
Post a Comment