Pendidikan Sekuler Lahirkan Generasi Hopeless
Teti Ummu Alif (Pemerhati Masalah Umat)
Peristiwa memilukan kembali terjadi. Seorang
pelajar lulusan SMA ditemukan tak bernyawa akibat overdosis alkohol dan
beberapa obat dari psikiater. Diduga pelajar tersebut bunuh diri setelah
mengetahui dirinya tak lolos masuk perguruan tinggi favoritnya. Pasalnya,
sebelumnya ia telah bernazar akan memberikan santunan pada anak yatim jika
lolos di perguruan tinggi tersebut. Namun, akan bunuh diri jika tidak lolos. Berita
ini pertama kali diunggah di akun Twitter @utbkfess dan diceritakan oleh kakak
si korban (suara.com 13/7/2022).
Kasus bunuh diri ini mengingatkan kita pada peristiwa
mahasiswa Kalimantan Timur yang ditemukan tewas gantung diri pada bulan Juli 2020
lalu. Dari hasil penyelidikan polisi terungkap dugaan motif gantung diri dipicu
depresi. Karena, kuliah tujuh tahun tak kunjung lulus dan skripsi yang ditolak dosen
(tribunnews.com).
Menurut WHO dalam Global Burden for Desease 2004,
bunuh diri termasuk dalam 20 penyebab utama kematian untuk semua usia. Penyakit
mental terutama depresi, pelecehan, kekerasan, latar belakang sosial dan budaya
merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan bunuh diri.
Hal ini, sekali lagi menjadi bukti nyata bahwa sistem
kapitalisme yang diterapkan di dunia hari ini sangat tidak manusiawi dalam
mengelola eksistensi orang-orang yang bernaung dengan tata aturannya. Betapa
tidak, dalam sistem kapitalisme setiap individu dibiarkan mencari jalan sendiri
untuk bertahan hidup. Sementara dalam sistem ini berlaku hukum rimba
kapitalisme yang menghamba harta dan materi. Alhasil, bagi pihak yang tak mampu
meraih materi cepat atau lambat akan mengalami depresi dan putus harapan. Sebab,
poros kebahagiaannya hanya dipusatkan pada capaian nominal semata.
Banyaknya kasus bunuh diri pelajar menunjukkan
bahwa pendidikan sekuler kapitalis gagal
membangun kepribadian kuat pada pelajar. Pasalnya, sistem pendidikan ini menjauhkan
peran agama dari kehidupan. Sehingga, sistem ini membentuk generasi berkarakter
materialistik dan liberalis. Standar kehidupan mereka berputar pada persoalan
harta dan materi. Olehnya, mental mereka mudah rapuh hanya karena kekurangan
materi. Disaat yang sama sistem sekuler membangun masyarakat yang penuh tekanan
hidup. Sulit mendapat kebutuhan termasuk sulit mengakses pendidikan, kesehatan
dan lain-lain. Apalagi, jamak dipahami bahwa sistem pendidikan saat ini telah
dijadikan objek komersialisasi. Dimana, pendidikan berkualitas menjadi barang
langka yang hanya bisa diraih oleh orang kaya saja. Adapun, yang berpenghasilan
menengah ke bawah harus bersaing memperebutkan pendidikan berbiaya murah yang
masih sangat sedikit. Sungguh miris.
Berkebalikan dengan sistem Islam yang
menjadikan tujuan pembangunan kepribadian Islam sebagai inti dari sistem
pendidikan. Menjamin akses pendidikan semua warga negara dan menghasilkan masyarakat
yang kokoh nan sejahtera. Asas pendidikan dalam Islam adalah akidah Islam.
Pendidikan Islam bertujuan menguasai tsaqofah Islam, membentuk kepribadian
Islam juga menguasai ilmu kehidupan. Hal ini meniscayakan peserta didik dalam
pendidikan Islam terbentuk menjadi sosok shalih karena menstandarkan kebahagiaannya
pada rida Allah.
Visi pendidikan Islam adalah membangun dan memajukan
peradaban Islam. Negara Khilafah bertanggung jawab penuh dalam mengarahkan
potensi peserta didik dan calon intelektual. Serta mengupayakan agar pendidikan
bisa diperoleh rakyat secara mudah. Dalam politik ekonomi, Khilafah memberikan
perhatian besar terhadap pemenuhan kebutuhan pokok tiap warga negaranya. Hal
ini tertuang dalam muqadimah ad-Dustur bagian ke dua pasal 225 hal 12 "Khilafah
wajib menjamin semua pemenuhan kebutuhan pokok seluruh warga negara, orang
perorang dengan pemenuhan yang sempurna dan menjamin adanya peluang setiap
individu dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap pada tingkat
tertinggi yang mampu dicapai".
Khilafah memiliki mekanisme dalam pemenuhan
kebutuhan pokok rakyatnya berdasarkan nash-nash syariat. Rasulullah bersabda,
"cukuplah seseorang itu dianggap berdosa bila menelantarkan orang yang wajib
ia beri makan". (HR. Abu Dawud). Begitu pula, kebutuhan komunal seperti
pendidikan, kesehatan dan keamanan. Pemenuhan atas semua ini dijamin oleh Khilafah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menjamin pendidikan rakyatnya.
Rasul mewajibkan tawanan perang mengajarkan kaum muslim sebagai tebusan
pembebasan mereka. Dalam Khilafah bisa dipastikan tidak akan ada anak yang
putus sekolah dan putus kuliah. Karena, anak-anak dari semua kelas sosial dapat
mengakses pendidikan formal. Negara yang membayar para pengajarnya seperti yang
terjadi pada masa kegemilangan Islam. Khalifah Alhakam-II pada 965 M membangun
80 sekolah umum di Cordoba dan 27
sekolah khusus bagi anak-anak miskin. Luar biasa bukan?
Inilah gambaran sistem pendidikan Islam yang
hanya bisa terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyah. Buka negara yang menerapkan
sistem kapitalisme. Wallahu a'lam bisshawwab.
Post a Comment