Digitalisasi Era Kapitalisme, Masalah atau Maslahat?
Jihan (Penggiat Literasi)
Seringkali
kita merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan dengan
peradaban kapitalis. Di satu sisi kita dituntut untuk memegang teguh prinsip
Islam, tetapi di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta)
yang bersumber dari ideologi selain Islam, yang tidak jarang justru
bertentangan dengan Islam.
Dikutip
dari Buton Tengah, telidik.id - Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan
Persandian Kabupaten Buton Tengah menggandeng PT. Telkom Indonesia untuk
mendorong terwujudnya digitalisasi pelaksanaan kerja pemerintah daerah di Buton
Tengah. Rabu, (13/7/2022).
Muncullah
berbagai macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam,
misalnya “Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”,
“Katanya segala sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang
ditemukan orang kafir?”. Atau, "Katanya menentang Cina, tapi kok pakai
produk-produk Cina?".
Pertanyaannya:
Apakah semua hal yang berkaitan dengan ideologi selain Islam harus ditolak?
Jika tidak, mana hal-hal yang harus ditolak dan mana yang boleh untuk diambil?.
Pemahaman
Hadharah dan Madaniyah
Di
kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai
pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh
Taqiyuddin An-Nabhani.
Dalam
kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membedakan antara
hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman,
pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta (realitas) tentang kehidupan.
Sedangkan
madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera (lihat,
dengar, raba) yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki
sifat khas. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi
atau hasil peradaban suatu umat tertentu. Karena itu, madaniyah bersifat 'aam
(umum), walau ada juga madaniyah yang bersifat khas.
Seluruh
hadharah yang berasal dari selain Islam, hukumnya haram untuk diambil. Mengapa
demikian? Sebab, ada perbedaan mendasar antara hadharah Islam dan hadharah
selain Islam. Hadharah Islam berpijak dari Al-quran dan Sunah. Sedangkan
hadharah Barat, berangkat dari selain Al-quran dan Sunah. Artinya, hadharah
selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia; atau semata-mata karena
berangkat akal semata, yang jelas tidak dari Al-quran dan Sunah.
Banyak
orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga
‘diambil’ dari Al-quran dan Sunah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan
musyawarah, maka demokrasi pun halal. Artinya, demokrasi itu sama dengan
musyawarah. Pernyataan ini jelas sangat tidak benar dan serampangan.
Kelihatan
sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan
musyawarah secara menyeluruh. Atau, melihat demokrasi dan musyawarah secara
setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan, QS. Asy Syura:
37-38. Dalam ayat tersebut terdapat penggalan ayat: "Wa amruhum
syuuraa bainahum" (sedangkan urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah di antara mereka). Syura yang dimaksud di sini, mereka samakan
dengan demokrasi.
Jika
ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah. Tetapi
harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme (ide yang memisahkan agama
dari kehidupan). Inilah yang menjadi permasalahannya. Artinya, asas
‘musyawarah’ demokrasi memang sekulerisme.
Jadi,
untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak dilakukan, diputuskan
atau tidak diputuskan, dilegalkan atau tidak dilegalkan; semuanya berdasarkan
akal pikiran manusia, bukan Al-quran dan Sunah. Inilah fakta demokrasi.
Ini
jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidaknya
sebuah kebijakan, tetap harus berdasarkan Al-quran dan Sunah, bukan akal
manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi demokrasi adalah
hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas musyawarah
adalah pada Al-quran dan Sunah, bukan kehendak manusia sendiri.
Satu
contoh, negara Indonesia. Islam telah menyatakan, untuk menentukan apakah riba
itu halal atau haram, jelas tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi
dengan dalil-dalil syariah yang berasal dari Al-quran dan Sunah. Tetapi di
Indonesia, boleh tidaknya riba ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini
jelas tidak benar.
Allah
Swt., telah menegaskan: "Wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa",
(dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda
Rasulullah saw.,: "Ar ribaa tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa
mitslu an yankiha rajulu ummahu", (Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling
ringan dosanya adalah seperti seseorang yang mengawini ibunya), hadis riwayat
Hakim dan Baihaqi. Sesuatu yang telah diharamkan Allah, tidak perlu
dimusyawarahkan lagi.
Contoh
lain, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh mengelola
kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan oleh
kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Berdasarkan pandangan
Islam, ini tidak benar.
Sebab
menurut hukum Islam, kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak
adalah milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga negara bisa dengan
seenaknya menyerahkan ke pihak asing.
Rasulullah
saw., bersabda: "Al muslimuuna syurakaa-u fii tsalaatsin, fil maa-i,
wal kala-i, wannaari", (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air
padang rumput dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat
kepemilikan umum tersebut adalah sesuatu yang besar/banyak (dalam hadis lain
dikatakan seperti sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir).
Berdasarkan
hadis di atas, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum karena dua
aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah yang
besar'. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk
mengambilnya, apalagi menjualnya kepada pihak asing.
Justru
karena dikelola pihak asing itulah kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak
pernah dirasakan oleh rakyat. Ini adalah contoh tentang hadharah, dalam hal ini
adalah pemahaman bahwa demokrasi yang disamakan dengan musyawarah.
Sedangkan
yang kedua, adalah Madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang bersifat umum
dan yang bersifat khas (khusus). Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan
teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan hidup
tertentu yang berlawanan dengan Al-quran dan Sunah. Sebagai contoh komputer.
Pandangan
Islam Tentang Era Digital
Komputer
memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi mengambilnya, diperbolehkan.
Sebab komputer tidak mengandung pemahaman atau pandangan hidup tertentu. Adakah
Anda menemukan komputer memiliki pandangan hidup tertentu?. Demikian pula
mobil, kendaraan, dan handphone. Apakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu
di dalam benda-benda tersebut?.
Hal
ini pernah dilakukan Rasulullah saw., dan para sahabat ketika mengambil hasil
teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan
hidup tertentu. Rasulullah saw., pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq
buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong
berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh.
Rasulullah
saw., juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar ketika
menggempur benteng An-Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah
ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.
Demikian
pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam Perang
Khandaq. Salman Al-Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi
mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia
pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi.
Umar
bin Khathab, juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang
Romawi dan Parsi untuk mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah (negara
Islam). Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain
umat Islam halal untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan
hidup tertentu.
Sedangkan
madaniyah yang bersifat khas, tidak boleh diambil. Maksudnya bagaimana? Yaitu
segala hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan hidup tertentu.
Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimin tidak boleh mengambilnya atau
memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki pandangan hidup tertentu.
Contoh
lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita tidak diperkenankan untuk
mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu. Sebab hal itu mengandung
pandangan hidup tertentu.
Kadang-kadang
benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita yang meletakkan.
Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian, hendaknya kita
mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan kita.
Itu
pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah kita.
Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak mampu,
tentu dengan hati.
Digitalisasi
hanyalah sebuah wasilah untuk mempermudah aktivitas manusia. Namun ketika
teknologi ini berada dalam penerapan sistem kapitalis sekuler dan dipergunakan
untuk sesuatu yang bukannya membantu banyak muslim melainkan memberikan
kerusakan yang lebih parah pada kaum muslim, tidak mendekatkannya dengan Sang
Maha Pencipta dan syariat yang telah Allah Swt., turunkan, maka ia haram bagi
kaum muslim untuk memanfaatkannya. Wallahu'alam bishawab.
Post a Comment