Dugaan Terjadi Nepotisme di STAI YPIQ Baubau, Mahasiswa dalam Cengkraman Kesengsaraan.
Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
Aliansi Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam
Yayasan Pendidikan Islam Qaimuddin (STAI YPIQ) Baubau menduga terdapat
nepotisme dan beberapa mahasiswa ‘siluman’ dari kalangan pejabat kampus STAI.
“Kita menindak lanjuti masalah itu ada nepotisme dan beberapa oknum pejabat
kampus salah satunya Warek ll STAI menjadi mahasiswa ‘siluman’ dimaksud. Mereka
tidak pernah mengikuti proses akademik dari semester satu hingga semester akhir
bahkan KKL, KKN dan ujian proposal tidak diikuti,” ungkap Haris Lewenusa salah
seorang aliansi mahasiswa via pesan whatsapp, Minggu 28/8. Selain Warek ll,
kata dia, terdapat dua orang lainya yang diduga mahasiswa ‘siluman’. Mereka
notabene merupakan pejabat bagian keuangan. “Tiba-tiba mereka langsung masuk
sebagai peserta ujian skripsi,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan beberapa kebijakan kampus
yang dinilai merugikan mahasiswa. Seperti beberapa mahasiswa belum membayar
uang kuliah dikeluarkan saat presentase proposal. Padahal kendalanya hanya di
proposal, sementara proses tahapan akademik diikuti. “Kurang lebih ada sepuluh
mahasiswa dikeluarkan dan salah satunya saya juga kemarin sementara presentase
proposal tiba-tiba saya dikasi keluar,” katanya.
Dengan adanya dugaan mahasiswa ‘siluman’
tersebut, ia mendesak kepada pihak kampus dalam hal ini Ketua STAI dan Ketua
Yayasan agar menindak lanjuti permasalahan itu. Sementara itu, Wakil Rektor
(Warek) ll STAI YPIQ Baubau, Irma Ismail mengatakan yang memiliki kapasitas
menjawab tudingan mahasiswa ‘siluman’ dan nepotisme di kampus adalah Ketua STAI.
Terkait nepotisme, ia tidak membantah bahwa keberadaannya di kampus tersebut
merupakan bagian dari keluarga pemilik sekolah. Demikian juga tuduhan lain
tentang tidak mengikuti proses akademik. Ia membantah tuduhan itu tidaklah
benar (Publiksatu, 28/08/2022).
Hubungan darah dan keluarga masih menjadi
penentu seseorang dalam mendapatkan jabatan tak hanya di negeri berkembang
seperti di Indonesia, negara adidaya seperti di Amerika Serikat pun
melakukannnya. Dalam istilah nepotisme ini mulai melekat di telinga masyarakat
Indonesia setelah Reformasi. Ketika itu masyarakat dan Mahasiswa kerap
mengaitkan rezim Orde Baru dengan tiga kata. Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme
(KKN).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
nepotisme setidaknya memiliki tiga arti. Pertama, perilaku yang memperlihatkan
kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Berikutnya, kecenderungan untuk
mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan atau
pangkat di lingkungan pemerintah. Terakhir tindakan memilih kerabat atau sanak
saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Di dalam bahasa Arab nepotisme
disebut al muhabah. Digunakan untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum
yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu
kesempatan.
Perihal nepotisme yang dilakukan benar atau
tidaknya yang bisa menilai adalah mahasiswa TSAI YPIQ itu sendiri, bukankah
untuk menjadi mahasiswa harus siap dengan konsekuensi yang diberikan. Salah
satunya siap mengikuti proses PBM dan juga praktek lainnya. Tetapi jika suara
sudah menggema tandanya bahwa ada ketidak adilan dalam ruang lingkup kampus
yang memihak. Sudah menjadi rahasia umum praktik semacam ini terjadi dan
menggerogoti badan organisasi kampus. Jika boleh diungkapkan, mereka yang
sampai saat ini masih melenggangkan nepotisme itu termaksud orang-orang
munafik.
Mereka boleh menangkis perbuatan tersebut
seakan tidak mereka lakukan namun salah adalah salah dan bau yang disembunyikan
akan diketahui juga pada akhirnya. Siapa yang tidak merasa terzalimi dengan
kejadian seperti ini. Kampus merupakan tempat membentuk diri, organisasi
sedikit banyak mengambil peran didalamnya. “Jangan jadi mahasiswa kupu-kupu
(kuliah pulang-kuliah pulang) saja!” sudah saatnya mata kita terbuka dengan
adanya praktik ini, bersatulah untuk menyuarakan keadilan.
Praktik nepotisem tak akan hilang begitu saja.
Apalagi ketika yang menjadi model kehidupan pun tak bisa jadi tumpuan untuk
menghentikan praktik nepotisme. Yang tersisa hanyalah kepercayaan moral yang
semakin lama semakin menyusut. Akan sulit menemukan suatu kepercayaan pada
sistem yang tak lagi adil bagi sesama.
Sehingga berharap pada sistem saat ini untuk
menuntaskan nepotisme serasa mustahil dirasa. Sebab perbuatan ini sudah
mendarah daging, terlebih didukung pula dengan sistemnya yaitu kapitalisme yang
mengutamakan keuntungan dan asas manfaat didalamnya. Sebenarnya nepotisme lewat
jalur keluarga tidaklah terlalu dipermasalahkan jika dia mampu adil. Adil dalam
memerintah dan juga adil dalam menerapkan aturannya. Tidak memihak pada siapa
yang lebih berkuasa.
Sehingga sudah saatnya kita melihat cara Islam
menuntaskan masalah nepotisme. Islam membawa keagungan aturan Sang Pencipta.
Pada hakikatnya, dalam Islam tidak ada yang namanya nepotisme. Karena dalam
ajaran Islam setiap manusia itu sama, yang membedakan manusia satu dengan yang
dengan manusia lainnya adalah amal ibadahnya. Sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13. Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Sangat jelas bahwa Allah menciptakan kita
berbeda bangsa dan suku tidak lain agar kita dapat mengenal satu sama lain, dan
dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa yang membedakan umat manusia adalah amal
ibadahnya. Allah berfirman dalam Surah An-nahl ayat 90. Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta memberi bantuan kepada
kaum kerabat; dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan Yang keji dan
mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan laranganNya ini),
supaya kamu mengambil peringatan mematuhiNya”.
Jika kita beranggapan bahwa “kekerabatan”
sebagai acuan berfikir, dalam arti jika seseorang memiliki hubungan saudara
dengan pejabat yang menunjuknya maka itu merupakan nepotisme. Jika ditela’ah
lagi, mungkin sikap ini tampak kurang obyektif. Hanya karena dilandaskan
hubungan saudara, seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang sebenarnya menjadi
hak mereka, padahal dia memiliki kemampuan berkompeten dalam bidang itu, tentu
sikap seperti itu sangat berlebihan. Tidak seharusnya sebagai umat Islam yang
baik kita beranggapan demikian.
Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme tidak
selamanya menjadi sesuatu yang tercela. Yang dilarang dalam islam adalah
menempatkan keluarga yang tidak punya kemampuan atau kopetensi dalam suatu
posisi karena dilandaskan oleh hubungan kekeluargaan. Atau punya kemampuan,
tetapi masih ada orang yang lebih baik dan berhak untuk jabatan itu, namun yang
didahulukan adalah keluarganya. Ini merupakan nepotisme yang dialarang. Karena
ada orang lain yang dizalimi (Haknya diambil oleh orang yang berkemampuan
dibawahnya).
Jadi, dalam hukum islam nepotisme yang dilarang
adalah mendahulukan keluarga padahal dia tidak memiliki kemampuan/kopetensi
dalam bidang itu. Sebaliknya, nepotisme diperbolehkan jika saudara kita
tersebut benar-benar teruji secara kopetensinya dibandingkan dengan orang lain.
Bahkan dalam Islam kita dianjurkan untuk mendahului keluarga dibandingkan orang
lain. Sudah jelas bahwa nepotisme itu tergantung pada layak atau tidaknya
sanak/keluarga kita dalam memegang atau menjalankan sesuatu yang kita amanatkan
kepadanya.
Nepotisme berdampak buruk pada timbulnya suatu
konflik loyalitas dalam organisasi, terutama bila salah seorang keluarga
ditempatkan dalam posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya, sedangkan
terdapat keluarga lain yang mampu, maka hal seperti ini harus dihindari dan
dilarang oleh Islam. Praktik nepotisme tidak diperbolehkan menurut Al-Qur’an
apabila tindakan tersebut sebagai bentuk ketidak adilan, baik terhadap dirinya,
keluarganya dan juga kerabatnya. Hal tersebut disebabkan karena tindakan
nepotisme tidak menempatkan seseorang secara sesuai dengan kapasitasnya. Wallahu’alam
Post a Comment