Jejak Korupsi Intelektual Kampus, Nasib Pendidikan Kita Dipertaruhkan
Drg. Endartini
Kusumastuti
(Pemerhati Masyarakat
Kota Kendari)
Korupsi
kembali menerpa dunia Pendidikan Tinggi. Kali ini Rektor Universitas Lampung
(UNILA) terkena OTT KPK pada Jumat, 19 Agustus 2022 lalu. Ia ditangkap saat
selesai mengikuti acara Character Building di Sari Ater, Lembang Bandung. Hasil
pemeriksaan sementara menyebutkan, sang rektor menerima uang suap total sekitar
Rp5 Miliar. (nasional.kompas.com, 21/08/2022)
Korupsi
di perguruan tinggi sesungguhnya bukan hal baru. Modus korupsi di perguruan
tinggi ini sesungguhnya sangat banyak. Hasil pantauan Indonesia Corruption
Watch (ICW) sejak 2006 ditemukan lebih dari 12 pola korupsi yang terjadi di
lingkungan perguruan tinggi. Mulai dari proses pemilihan rector, proses
pengadaan barang dan jasa, pemotongan dana beasiswa, penyalahgunaan dana riset,
jual beli nilai, suap dalam pemilihan pejabat internal perguruan tinggi,
korupsi dana hibah atau CSR, korupsi dana penjualan aset milik perguruan
tinggi, korupsi dana SPP mahasiswa, suap dalam proses akreditasi, suap dalam
penerimaan mahasiswa baru, dan lain-lain.
Dari
sisi jumlah, kasus korupsi di perguruan tinggi pun terus meningkat, melibatkan
nyaris semua level civitas academica, termasuk mahasiswa. Kuat dugaan bahwa
kasus yang terungkap ke permukaan hanyalah fenomena puncak gunung es. Kondisi
ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Bagaimana bisa, lembaga pendidikan yang
diharapkan mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) unggul dan berintegritas
tinggi, ternyata tidak luput dari kasus tindak korupsi?
Padahal,
pada tahun 2016 Kemenristekdikti menerbitkan Buku Panduan Dosen Pembelajaran
Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi. Karena mulai merebak kasus
korupsi yang menjangkiti kepala daerah dan pejabat tinggi waktu itu. Ternyata,
alih-alih untuk mengeliminasi justru makin menjerat para intelektual kampus. Hal
ini niscaya terjadi karena sistem pendidikan, termasuk di level perguruan
tinggi memang sudah lama dijauhkan dari tuntunan atau aturan Ilahi. Ajaran
agama, termasuk moral, sudah lama dipinggirkan dari kurikulum pendidikan.
Kalaupun masih ada yang dipertahankan, posisinya hanyalah sekadar tempelan yang
tidak berpengaruh pada output pendidikan.
Pendidikan
di negeri ini makin kehilangan arah dan visi bagi pembangunan generasi bangsa
yang diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat. Arah sistem pendidikan
makin terkontaminasi oleh nilai-nilai sekularisme liberalisme, serta
terkooptasi kepentingan untuk mengukuhkan hegemoni kapitalisme global. Output
lulusan terfokus untuk mencetak tenaga kerja siap pakai, bukan lagi menjadi
tenaga ahli yang mampu berkiprah bagi kemajuan bangsa. Pendidikan vokasi makin
masif diaruskan sejalan dengan tuntutan industrialisasi. Sukses pendidikan pun
hanya dinilai dari kontribusinya terhadap proses produksi serta kemampuan
meraih materi. Tidak peduli generasi kian minim akhlak, bahkan jadi pelaku
kriminal. Hingga kejahatan kerah putih dan berbasis intelektualitas pun makin
menjadi-jadi.
Ditambah
pula konsep Negara yang menganut sistem sekuler liberal, dimana meniadakan
nilai ruhiyah dalam setiap aspek kehidupan dan menuntut kebebasan permisif bagi
keberlangsungan social masyarakatnya. Negarapun seolah tidak memiliki konsep
penyelenggaraan pendidikan dengan jelas karena penerapan otonomi kampusnya.
Bahkan menyerahkan kepada mekanisme pasar dan menjadikan pendidikan sebagai
ajang bisnis yang dikapitalisasi habis-habisan.
Oleh
karenanya, sistem pendidikan butuh koreksi mendasar, dengan cara mengubah
asasnya yang sekuler kapitalistik menjadi Islam. Mengapa harus Islam? Ini
karena hanya Islam yang terbukti telah menjadikan sistem pendidikan sukses
menghadirkan sebuah peradaban manusia yang gemilang di atas nilai-nilai
keimanan.
Sistem
pendidikan Islam tegak di atas landasan yang sahih dan lurus. Yakni keimanan
kepada Sang Pencipta sekaligus Pengatur alam semesta. Sistem ini bertujuan
mencetak generasi berkepribadian Islam tinggi, dengan skill yang dibutuhkan
untuk melaksanakan misi penciptaan sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
Dengan sendirinya, pendidikan Islam mampu melahirkan output generasi cemerlang
dan membawa umat Islam dan negaranya menjadi pionir dan bahkan mercusuar
peradaban dalam rentang masa yang sangat panjang.
Dalam
konteks pendidikan, siapa pun dari kalangan muslim boleh turut aktif
menyelenggarakan. Namun, di tangan negaralah landasan, visi, dan misi pendidikan
ditentukan. Setiap penyelewengan dari tujuan pendidikan akan dicegah dengan
penerapan sistem hukum Islam yang tegas dan menjerakan. Soal pendanaan pun akan
di-back up sepenuhnya oleh negara. Penerapan sistem ekonomi dan keuangan Islam
memungkinkan hal ini dilakukan dengan mudah karena negara akan memiliki modal
kekayaan luar biasa untuk melayani dan menyejahterakan rakyatnya. Sistem
politik ekonomi Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah hak publik yang wajib
diselenggarakan oleh negara. Di antaranya mengatur bahwa seluruh sumber daya
alam yang jumlahnya melimpah ruah dan kini dikuasai segelintir pengusaha dan
bahkan asing, sejatinya adalah milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Lalu
manfaatnya wajib dikembalikan kepada umat dalam bentuk layanan publik termasuk
pendidikan yang murah dan bahkan bebas biaya.
Pada
saat yang sama, Islam juga mengatur soal peran serta keluarga dan masyarakat
dalam menyukseskan visi misi pendidikan Islam. Oleh karena itu, negara akan
menerapkan sistem sosial Islam yang memungkinkan pendidikan berjalan secara
simultan dan saling menguatkan. Maka dari sini, bisa dipastikan bahwa tidak ada
kebaikan yang bisa diharapkan dari penerapan sistem pendidikan sekuler. Juga
dari sistem penopangnya yakni sistem politik, ekonomi, sosial, hukum, dan
hankam yang berbasis sekularisme kapitalisme neoliberal. Jika masih berharap
pada sistem saat ini, maka nasib pendidikan generasi negeri ini akan
dipertaruhkan. Akankah kita membiarkan itu terjadi?
Post a Comment