Grusa-Grusu Memburu Bjorka, Ada Apa?
Teti Ummu Alif (Pemerhati Masalah Umat)
Beberapa
waktu belakangan ini, kemunculan Bjorka
sang Hacker cukup membuat para pejabat ketar-ketir. Pasalnya, Bjorka
membocorkan data pribadi dari kalangan pemerintah, data instansi pemerintahan
bahkan, diduga membobol sebuah data rahasia milik salah satu pejabat publik
(detik.com 20/9).
Sontak
saja, aksi sang Hacker ditanggapi secara responsif. Pemerintah langsung memburu
Bjorka dengan menggandeng Mabes Polri dan membentuk tim khusus lintas lembaga
negara. Padahal, disaat yang sama publik merasa geram dengan kasus pembunuhan
seorang Brigadir Polisi dengan tersangka utama eks Kadiv Propam Polri, Irjen Fs
yang sudah berjalan berminggu-minggu. Sayangnya, kasus ini seolah tenggelam
sejak berita kontoversi Bjorka mengemuka.
Tak
ayal, tindakan pemerintah yang terkesan lebih responsif terhadap serangan
Bjorka dibanding kasus Fs menimbulkan spekulasi ditengah masyarakat. Publik
menilai kontroversi Bjorka sebagai pengalihan isu terkait kasus Fs. Menurut
Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI) Saiful
Anam, bisa jadi apa yang dilakukan Bjorka adalah pengalihan isu terkait kasus
Fs. Karena, setelah berhari-hari media disuguhkan dengan kasus Fs tetiba hilang
begitu saja seiring kemunculan Bjorka (RMOL.id 15/9).
Sebenarnya,
spekulasi pengalihan isu wajar mencuat di ruang publik. Sebab, jika dilihat
dari track record penyelesaian kasus Fs penegak hukum terkesan lamban dan
mengulur waktu. Padahal, mereka memiliki semua perangkat untuk membuktikan
kebenarannya. Sementara untuk kasus kontroversi Bjorka para aparat hukum begitu
cepat merespon. Tak tanggung-tanggung, mereka membuat tim khusus hingga mereka
salah menangkap orang demi memburu dan mengusut seorang Bjorka.
Ya,
inilah gambaran ketika hukum diatur oleh kepentingan manusia yang berbentuk
sistem kapitalisme-sekuler. Sistem yang saat ini dijadikan landasan kehidupan
manusia terbukti gagal memberikan keadilan kepada rakyat. Karena, sekuler
kapitalisme adalah sistem yang memarjinalkan keberadaan agama dalam kehidupan.
Sehingga, manusia boleh membuat hukum sendiri sesuai dengan akalnya. Padahal,
akal manusia terbatas.
Olehnya,
dominasi hukum yang dibuat adalah kepentingan semata. Maka, wajar jika pihak
berwenang lebih responsif dengan kontroversi Bjorka dibanding dengan kasus Fs.
Sebab, bila kasus Fs terkuak secara detail ke publik maka, reputasi aparat dan
internal mereka akan dipertaruhkan. Artinya eksistensi kekuasaan mereka akan
terancam. Sementara dalam kasus kontroversi Bjorka aparat penegak hukum
seolah-olah menjadi korban.
Sungguh
berbeda dengan sistem Islam ketika menyelesaikan masalah diantara warga negara.
Sistem Islam yang secara praktis diterapkan dalam institusi Khilafah akan
menghukumi kasus-kasus yang ada sesuai ketentuan Allah Ta'ala. Ketika publik
menuntut keadilan atas kasus Fs maupun Bjorka misalnya, maka kedua urusan ini
akan diberikan kepada peradilan Khushumat. Sebuah peradilan yang dipimpin oleh
Qadhi (hakim) Khushumat. Mereka bertugas menyelesaikan sengketa diantara
masyarakat baik yang berkaitan dengan perkara muamalah atau uqubat (sanksi).
Untuk perkara sengketa bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan muamalah
seperti utang-piutang, jual beli, dll. Sedangkan, untuk perkara uqubat (sanksi)
seperti sanksi bagi pezina, pembunuhan, orang yang murtad, penganut aliran sesat,
penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan dan lain sebagainya. Semuanya bisa
diadili di peradilan Khushumat ini.
Peradilan
Khushumat membutuhkan mahkamah atau majelis. Karena, melibatkan dua pihak yaitu
penuntut dan tertuduh. Semua bukti diajukan dan dibuktikan di mahkamah ini.
Bukti tersebut bisa berupa saksi, sumpah atau dokumen. Qadhi atau hakim akan
membuat keputusan sesuai bukti-bukti yang diajukan dan dibuktikan di peradilan.
Dalam kasus pembunuh Brigadir J yang melibatkan eks Kadiv Propam Polri jika
terbukti sebagai kasus pembunuhan sengaja maka, peradilan Khushumat akan
menerapkan sanksi-sanksi pidananya menurut Islam.
Syaikh
Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzam Al-Uqubat, sanksi bagi pembunuhan
sengaja adalah : pertama, hukuman mati (qishas). Kedua, membayar diyat
(tebusan). Ketiga, memaafkan. Apabila, keluarga korban menuntut qishas maka
pelaku pembunuhan sengaja akan dijatuhi hukuman qishas oleh hakim. Jika,
keluarga korban meminta diyat (tebusan) maka pelaku wajib memberikan 100 ekor unta,
40 ekor diantaranya dalam keadaan bunting (hamil) kepada keluarga korban. Atau
jika pelaku memiliki uang dinar atau dirham, diyat bisa dibayarkan dengan uang
senilai 1.000 dinar atau senilai dengan 12.000 dirham. Bila dikonversikan yang
1.000 dinar dengan harga 1 dinar sekitar Rp.4.294.000 maka jumlah uang yang
harus dibayar sama dengan Rp. 4.294.000.000.
Namun,
jika keluarga korban memaafkan serta tidak menuntut qishas dan diyat maka
pelaku tidak akan dihukum qishas atau membayar diyat. Penerapan uqubat Islam
oleh Khilafah menimbulkan efek jawabir dan zawajir. Jawabir sebagai penebus
dosa pelaku agar tidak mendapat sanksi kelak di akhirat dan membuat pelaku
jera. Sedangkan, efek zawajir (pencegah) akan menimbulkan rasa ngeri ditengah
masyarakat sehingga mereka tidak akan berbuat hal serupa. Alhasil, peradilan
Khilafah akan memberikan keadilan bagi semua kalangan masyarakat baik muslim
maupun non-muslim. Wallahu a'lam bishawwab.
Post a Comment