Perselingkuhan dan KDRT makin marak, Regulasi Negara Cacat
Zulhilda Nurwulan (Mahasiswi Pascasarjana UGM)
Isu perselingkuhan artis RB menghebohkan jagat maya. Isu
ini terungkap setelah adanya laporan KDRT oleh istrinya LK pada Rabu (28/9/2022) malam
ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Kasus KDRT yang dilakukan artis RK kepada istrinya hanyalah satu
dari rentetan kasus KDRT yang mencuat di ranah publik. Kasus KDRT yang dilakukan Riski Billar menjadi menarik
disoroti karena
dilakukan oleh artis terkenal, lantas bagaimana fenomena KDRT di masyarakat
umum? Menurut data dari KemenPPPA, hingga Oktober 2022 sudah ada
18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5% atau 16.745 korban
adalah perempuan.
Selain data tersebut, yang bisa kita soroti
dari data dari KemenPPPA itu adalah KDRT juga menimpa laki-laki sebanyak 2.948
menjadi korban. Jadi, laki-laki dan perempuan tidak boleh abai karena
masing-masing memiliki resiko menjadi korban KDRT.
Kasus KDRT ini dipicu oleh beberapa faktor
seperti ekonomi dan perselingkuhan. Pada akhirnya, dampak dari KDRT ini adalah
perceraian. Seperti dikutip dari Tribunnews (08/09/2022) 546 tenaga kerja
wanita (TKW) Tulungagung mengajukan gugat cerai lantaran suaminya terpergok
selingkuh dan cuma bisa menghabiskan uang kiriman. Jumlah itu perkiraan yang
didapatkan oleh Pengadilan Agama (PA) dari 1.823 perkara atau 30-35% dari
jumlah gugatan cerai yang masuk dan diputus.
KDRT dan Perselingkuhan, Salah Siapa?
KDRT dan perselingkuhan merupakan penyimpangan
sosial dampak penerapan sistem sekuler. KDRT dan perselingkuhan tidak hanya
dialami salah satu pihak, melainkan kedua belah pihak bisa saja menjadi korban.
Terjadinya penyimpangan sosial semacam itu bisa
disebabkan oleh kurangnya edukasi tentang pernikahan dan hilangnya peran
keluarga dalam mempersiapkan pernikahan. Edukasi pernikahan selalu luput dari
perhatian orang tua bahkan pemerintah terhadap para calon pasangan pengantin.
Kehidupan kapitalisme yang hanya menyoroti soal materi akhirnya memberi dampak
yang buruk dalam dunia pernikahan. Disamping itu, banyaknya wanita yang bekerja
di luar rumah yang meninggalkan wilayah domestiknya, pun menjadi penyebab
adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya dengan wanita lain.
Lagi-lagi, alasan materi penghancur keluarga.
Sadar atau tidak, isu
kesetaraan gender mulai masuk dalam ranah keluarga. Kesetaraan gender yang
diusung oleh sekuleris Barat memang bertujuan menghancurkan peran perempuan di
dalam rumah. Iming-iming sejahtera dan mendapatkan keadilan, isu kesetaraan
gender malah membawa masalah baru bagi perempuan. Banyaknya perempuan yang
bekerja di luar wilayah domestiknya atau banyaknya perempuan yang akhirnya buka
suara soal KDRT dan perselingkuhan merupakan dampak dari perjuangan para
visioner kesetaraan gender.
Regulasi pemerintah dalam kasus KDRT dan
perselingkuhan pun tidak jelas sehingga perceraian karena KDRT dan
perselingkuhan melonjak tajam. Adanya pasal terkait penghapusan kekerasan
terhadap perempuan atau KDRT pun hanya menjadi regulasi di atas kertas tanpa
solusi nyata. Faktanya, kasus kekerasan terhadap perempuan dan KDRT malah makin
meningkat. Undang-undang yang ada tidak mampu melindungi perempuan atau bahkan
rumah tangga dari kasus KDRT. UU
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
yang disahkan tanggal 22 September 2004, tampaknya tidak memberi sumbangsih
yang jelas dalam masalah rumah tangga. Faktanya, KDRT seolah menjadi tren dalam
pernikahan, utamanya pada pernikahan pasangan muda. Sehingga, hadirnya
undang-undang tersebut hanyalah solusi tambal sulam sistem kapitalisme sekuler.
Haruskah KDRT dan
Perselingkuhan berujung Perceraian?
Perempuan mana yang
tahan jika terus-menerus mengalami KDRT?
Perempuan mana yang rela pasangannya diambil Jika hanya bermodalkan
perasaan, tentu wanita akan marah. Namun, perlu kritis dalam mencermati kedua
kondisi ini. Isu KDRT dan perselingkuhan menjadi tolak ukur bagi beberapa
kalangan terkait keberhasilan rumah tangga. Tak jarang, kondisi ini
mengantarkan perempuan akhirnya berani untuk menggugat suaminya. Bahkan, para
pegiat feminis sangat mendukung langkah-langkah semacam ini untuk mencapai
tujuan mereka atas nama kesetaraan dengan dalih mencari keadilan.
Islam menempatkan
perempuan pada posisi mulia, bukan dalam posisi tersandera. Islam menghormati
perempuan dengan syariat yang memerintahkan mereka untuk taat pada suami.
Meski demikian, Islam
pun memberi hak bagi perempuan untuk mengeluarkan pendapat dan melakukan amar
makruf nahi mungkar jika suami lalai dan mengabaikan syariat. Dalam kondisi
inilah keduanya saling berlomba dalam ketaatan dan saling mengingatkan jika
salah satu dari mereka lalai dari hukum-hukum Allah.
Dalam hal ini, Islam
memang membolehkan perceraian, namun tidak serta-merta terjadi hanya dilandasi
nafsu dan emosi. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk sampai pada tahap
perceraian. Perceraian adalah pilihan terakhir yang bisa diambil jika memang
tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah SWT yang adalah dalam Al-Quran:
“Dan jika mereka
berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 227).
Berdasarkan hal
tersebut di atas, Islam pun berbeda pandangan terkait hukum perceraian itu
sendiri bergantung pada masalah yang terjadi dalam rumah tangga, hal itu bisa
jadi makruh bahkan haram.
Akan tetapi, kisruh
KDRT dan perselingkuhan dalam rumah tangga tidak harus berakhir dengan
perceraian. Hal yang bisa dilakukan agar tidak terjadi perceraian diantaranya
perlu menanamkan keimanan dalam merespon masalah rumah tangga. Islam telah
mengatur tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan ditempatkan pada
posisi yang mulia sehingga perlu disayangi dan dikasihi sebagaimana sifatnya
yang lemah lembut. Dengan mempelajari agama lebih baik dan berpatokan hanya
pada syariat Islam tentu seorang suami tidak kan gegabah dalam bertindak begitupun sebaliknya. Hubungan yang
didasari atas keimanan kepada Allah akan membawa maslahat yang baik. Wallahu
alam.
Post a Comment