Rakyat Dilanda Krisis, Dana Parpol Berbiaya Fantastis
Hildayanti,
SE
Dilansir
dari Republika.co.id Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
mengusulkan kenaikan bantuan dana partai politik (parpol) tiga kali lipat.
Jumlahnya naik dari Rp 1.000 per suara menjadi Rp 3.000 per suara.
Mantan
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay namun melihat kenaikan dana bantuan parpol di
saat krisis seperti saat ini dirasa kurang tepat. Alasannya di tengah kondisi
krisis keuangan dan kenaikan BBM, ia melihat seharusnya pemerintah
memprioritaskan terlebih dahulu bagi kebutuhan yang langsung dirasakan rakyat.
Karena itu kenaikan bantuan parpol, apalagi sampai tiga kali lipat, dirasa
kurang pantas.
Akar
Masalah
Sungguh
sangat ironis ditengah kesensaraan masyarakat semakin tinggi pemerintah malah
ingin menaikkan dana sebuah partai, para elit politik hanya memikirkan diri dan
partai yaitu bagaimana memanfaatkan dana
ini untuk kepentingan partai dalam pemilu nanti yang tentu saja akan
membutuhkan banyak dana.
Dalam
sistem demokrasi penggunaan dana untuk suatu parpol dalam mengkampayekannya
dirinya adalah butuh dana yang banyak dan fantastis, tentu saja dana itu
sebagian berasal dari APBN yakni uang rakyat.
Masalahnya,
usulan kenaikan bantuan dana parpol ini disampaikan di tengah kondisi keuangan
negara yang sedang kolaps akibat utang dan defisit anggaran. Sampai-sampai
kondisi ini membuat negara tega menambah kesulitan rakyat dengan menetapkan
berbagai kebijakan zalim seperti perluasan objek pajak, sebako pada naik dan
BBM, dan sebagainya. Prioritas untuk kemaslahatan masyarakat bukan lagi menjadi
suatu prioritas utama.
Untuk
sekarang seharusnnya dana APBN harus dipergunakan dengan bijak Bisa
dibayangkan, jika APBN harus kembali menambah anggaran, negara bisa saja akan
menambah utang lebih dalam. Kalaupun tidak demikian, negara akan mengambil
jalan pintas memotong lagi dana subsidi seperti yang terjadi sekarang, padahal
subsidi sejatinya merupakan hak rakyat yang wajib ditunaikan.
Biaya perpolitikan yang begitu mahal seringkali
tidak bisa ditutup dari sumber-sumber yang legal. Oleh karena itu, dukungan
dana yang terbatas, disertai sistem pengawasan dan sanksi yang tidak jelas,
telah memberi celah lebar bagi parpol untuk melakukan berbagai intrik dan
terjerumus dalam perilaku korup. Termasuk melakukan deal politik dengan
berbagai kekuatan modal (oligarki) yang memiliki kepentingan untuk memengaruhi
keputusan-keputusan politik. Makanya sering kita dapatkan kasus korupsi terjadi
yang dilakukan oleh para pejabab.
Akhirnya
aktivitas politik dan kegiatan even-even politik berubah menjadi ajang perjudian
dan bancakan bagi para pemilik modal yang bisnisnya membutuhkan legitimasi
kekuasaan. Mereka turut bermain, baik secara langsung menjadi bagian dari
partai politik maupun menjadi sponsor bagi parpol atau orang-orang yang
berkeinginan maju dalam kontestasi politik.
Keberadaan
parpol dalam praktik politik demokrasi memang sudah lama dipertanyakan. Secara
teori ada 5 fungsi parpol dalam negara yang menganut demokrasi, yaitu sebagai
berikut: Pertama, sebagai sarana sosialisasi atau pendidikan politik yang
berperan mentransmisikan budaya politik untuk membentuk sikap dan orientasi
anggota masyarakat sebagai warga negara. Kedua, sebagai sarana rekrutmen kader
politik untuk mengisi bursa kepemimpinan negara. Ketiga, sebagai sarana
partisipasi politik yang rakyat menyalurkan aspirasinya untuk memengaruhi
proses politik. Keempat, sebagai sarana komunikasi politik, baik dari
pemerintah kepada rakyat maupun dari rakyat kepada pemerintah. Dan kelima,
sebagai sarana pengatur konflik dengan berusaha mengatasi atau meminimalkan
terjadinya konflik melalui kerjasama di antara elit politik.
Kelima
fungsi ini tampaknya hanya ada di atas kertas, karena faktanya fungsi parpol
tidak lebih dari alat meraih kekuasaan, sekaligus menjadi perpanjangan
kepentingan elit kekuasaan yang berkelinlmang dengan kepentingan para pemilik
modal. Keberadaan parpol bahkan tidak jarang menjadi sumber konflik di tengah
rakyat, sebagaimana lazim terjadi pada masa pemilu/pemilukada yang rakyat
dipaksa terpolarisasi akibat beda pilihan partai.
Selebihnya,
siapa pun parpol yang menang, rakyat selalu ditinggalkan. Aspirasi mereka
nyaris tidak terdengar disuarakan di meja-meja sidang penentuan kebijakan.
Mereka didekati saat ramai pemilihan. Setelah itu, habis manis sepah dibuang.
Menyakitkan.
Ditengah
sekarang menjelang pemilu, banyak sekali parpol yang ingin mendekati rakyat
dengan berbagai macam cara.
Pada
2018, bantuan dana parpol 10 kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada 2019,
Mendagri Tito Karnavian meminta dalam rapat bersama anggota dewan agar dana
bantuan parpol naik lagi.
Pada
2022, kembali muncul wacana untuk menaikkan dana bantuan parpol. Sebelum 2018,
dana yang diberikan sebesar Rp13,5 miliar setiap tahun pada seluruh partai
pemilu. Kemudian pada 2018 hingga sekarang, kucuran dana mencapai Rp111 miliar.
(Detik, 28/11/2019). Semua dana bantuan ini bersumber dari uang rakyat.
Padahal,
apa sih yang telah parpol perbuat setelah pemilu untuk kesejahteraan rakyat?
Tampak jelas bahwa rakyat terus dalam kesulitan karena parpol tidak bekerja untuk
rakyat, melainkan memakmurkan para anggota dan pucuk pimpinan partainya semata.
Politik
memang kotor ketika pijakannya adalah perebutan kepentingan pribadi atau
kelompok. Hal inilah yang terus dipertontonkan pada rakyat dalam politik
demokrasi. Wajar jika parpol dalam demokrasi mengalami kegagalan.
Sebab
pertama, parpol miskin agenda yang berkaitan dengan kebangkitan dan
kesejahteraan rakyat. Tidak mampu menyelamatkan rakyat dari berbagai “bencana”
yang menimpa.
Kedua,
fanatisme pendapat yang diemban masing-masing parpol. Biasanya, parpol berjalan
secara mutlak atas kehendak pemimpin parpol yang berkuasa. Keputusan pimpinan
parpol tidak bisa diganggu gugat.
Ketiga,
parpol terpengaruh dengan opini para penjajah dengan berbagai pemikiran
sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme. Mereka bekerja atas kepentingan cuan
dan kekuasaan, bukan untuk memakmurkan masyarakat.
Fakta
inilah yang terjadi pada setiap parpol, baik yang mengeklaim sebagai partai
Islam ataupun partai nasionalis. Barat berhasil mewarnai pemikiran mereka
dengan pandangan sekuler, liberal, dan kapitalistis. Lahirnya para pemimpin
negeri notabene hasil “didikan” parpol yang ada.
Saatnya
kita menyudahi sistem demokrasi sampai di sini, mengalihkan pandangan hanya
pada Islam, berupaya mengembalikan kehidupan Islam, serta menghadirkan parpol
Islam yang amanah bekerja semata-mata untuk agama dan umat.
Parpol
Dalam Islam
Parpol
dalam sistem Islam (Khilafah) melakukan aktivitas muhasabah al-hukam
(mengoreksi penguasa) sesuai dalil-dalil syariat. Hal ini menandakan parpol
menjalankan tugasnya sebagai “kiyan fikri” (entitas intelektual) yang
memastikan negara dan pemerintah benar-benar berjalan sesuai koridor syariat.
Bentuk
negara yang bisa menerapkan aturan Islam kafah hanyalah Khilafah. Pada
dasarnya, keberadaan parpol Islam dalam Khilafah didirikan untuk melakukan
kontrol dan muhasabah terhadap penguasa, terutama terkait penerapan syariat
Islam di dalam negeri, serta berbagai kebijakan luar negeri.
Jika
penguasa melakukan penyimpangan, parpol Islam akan melakukan koreksi dan
muhasabah terhadap penguasa sembari melakukan tugas-tugas utamanya, yakni
mendidik kesadaran politik umat.
Akan
tetapi, bukan berarti parpol dalam Khilafah memerankan dirinya sebagai kekuatan
oposisi yang akan selalu menentang kebijakan penguasa, atau sebaliknya,
mendukung seluruh kebijakan negara. Tidak demikian.
Pada
prinsipnya, parpol akan melakukan koreksi tatkala terjadi penyimpangan. Namun,
parpol Islam juga harus mendukung kebijakan-kebijakan negara selagi sejalan
dengan syariat Islam. Tidak seperti konsepsi parpol dalam sistem demokrasi yang
terbelah menjadi dua kekuatan, yakni partai penguasa (perpanjangan tangan
pemerintah) dan partai oposisi (senantiasa menyerang kebijakan pemerintah).
Oleh
sebab itu, parpol dalam Khilafah tidak berpihak, baik untuk kepentingan
penguasa maupun kepentingan rakyat. Ia berdiri untuk beramar makruf nahi
mungkar. Jika penguasanya salah, ia akan mengoreksi penguasa. Jika rakyat yang
salah, ia akan mengoreksi dan mendidik rakyatnya.
Politik
Dalam Islam
Politik
dalam Islam bertujuan membimbing manusia dan memakmurkan bumi. Politik juga
merupakan inti dari ajaran Islam. Kekuatan politik Islam lahir dari kekuatan
akidah dan kebenaran hukum-hukumnya dalam menyelesaikan problem manusia. Oleh
karenanya, parpol dalam Khilafah konsisten dengan aktivitas intelektual dan
tidak bergeser menjadi aktivitas fisik (meraih keuntungan materi). Tugas dan
aktivitasnya adalah untuk qawam al-ummah, hissaha wa afkaraha (mengawal
pemikiran umat dan perasaannya). Wallahualam bisshawab
Post a Comment